13 December 2008

Produk Pertanian Bakal Kena PPN


Kontradiktif dengan Pembangunan Pedesaan
KOMPAS. Sabtu, 13 Desember 2008 | 01:48 WIB
Jakarta, Kompas - Direktorat Jenderal Pajak menawarkan opsi tarif baru Pajak Pertambahan Nilai bagi produk primer pertanian yang diproduksi perusahaan besar dan PPN bagi petani atau penghasil produk pertanian dalam jumlah kecil.
Opsi ini membebankan kembali Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas produk primer pertanian. Langkah ini dinilai akan menguntungkan petani dan pelaku agroindustri.
”Aturan tarif PPN yang ada saat ini membebaskan produk pertanian primer dari PPN. Ini membuat mata rantai pembayaran PPN terputus. Ini akan membuat komplikasi dan masalah. Atas dasar itu, kami berpandangan, produk pertanian harus menjadi BKP (barang kena pajak),” papar Dirjen Pajak Darmin Nasution, Jumat (12/12) di Jakarta.


Menurut Darmin, dalam kebijakan PPN yang baru itu, pemerintah memisahkan antara petani dan produk pertanian. Pemerintah juga menetapkan produk pertanian menjadi BKP.
Sebagai BKP, semua produk primer pertanian kena PPN. Keuntungannya, perusahaan yang memproduksi produk pertanian bisa menyampaikan permohonan restitusi atau pembayaran kembali pajak lebih bayar dari Ditjen Pajak kepada wajib pajak.
Dengan mekanisme ini, perusahaan agroindustri bisa mengajukan restitusi PPN atas alat-alat modal, seperti traktor, atau bahan baku, seperti bibit, pestisida, dan pupuk, yang mereka beli. Restitusi bisa dilakukan saat produk pertanian diekspor atau dijual ke pasar domestik.
Jika produk itu diekspor, perusahaan bisa langsung memohon restitusi. Namun, jika dijual ke pasar domestik, perusahaan bisa mengurangkan PPN yang telah dibayar pada penghasilan kena pajak.
”Maka, jika perusahaan itu membeli alat modal senilai Rp 10 miliar, saat itu dia harus membayar PPN Rp 1 miliar karena tarif PPN adalah 10 persen. Jika produk pertanian yang dijualnya merupakan BKP, perusahaan bisa mengajukan restitusi PPN senilai Rp 1 miliar. Jika statusnya bukan BKP, perusahaan harus menanggung biaya PPN senilai Rp 1 miliar,” tutur Darmin.
Untuk petani yang memproduksi produk pertanian dalam jumlah kecil, Ditjen Pajak mengusulkan dua pilihan kepada Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Amandemen PPN. Pertama, pemerintah menerapkan sistem batas atas. Petani yang beromzet Rp 600 juta per tahun dibebaskan dari pungutan PPN, sedangkan perusahaan beromzet besar di atas Rp 600 juta per tahun kena PPN 10 persen.
Kedua, pemerintah menerapkan tarif PPN khusus bagi petani sebesar 1 persen atau dianggap 1 persen. Dengan mekanisme ini, petani mendapatkan diskon PPN senilai 9 persen. Namun, produk yang diperjualbelikannya tetap dikenai PPN.
Tidak manusiawi
Menanggapi rencana pengenaan PPN terhadap produk pertanian, Ketua Umum Wahana Masyarakat Tani Indonesia Agusdin Pulungan menyatakan, hal itu tidak manusiawi dan kontradiktif terhadap pembangunan pedesaan. Mengingat kemiskinan terutama melekat pada diri petani yang tinggal di desa.
Selain itu, daya beli masyarakat juga menurun akibat pelambatan pertumbuhan ekonomi. ”Belum lagi margin usaha tani rendah, selain kenaikan biaya produksi. Kalau pajak produk pertanian dikenakan, petani yang sudah miskin tambah menderita,” katanya.
Senada dengan Agusdin, Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Siswono Yudo Husodo menyesalkan pemerintah yang masih belum optimal mengembangkan pertanian. Saat harga produk pertanian melemah, pemerintah malah ingin menerapkan kembali PPN.
”Mestinya pemerintah memberi insentif yang mendorong industri pertanian agar sumber gizi dan protein bangsa terpenuhi. Bukan malah menjadikannya sebagai obyek pungutan,” kata Siswono. (OIN/MAS/ham)
Sumber Harian KOMPAS, 13 Des 2008
====================================================
Menyedihkan sekali nasib para saudara tani yang memberi makan kita dibuat para birokrat kita. Kita harus berbuat/bertindak untuk ini !!!
Selanjutnya ...

29 November 2008

Rakyat Merindukannya


Oleh : Suhari Pane

Ibarat pertandingan sepak bola, LABUHANBATU sudah kalah sejak peluit pertama dibunyikan. Tehnik permainan antar Tim yang sudah kuno, membuat pemain LABUHANBATU kalah. Untuk mengejar ke-tertinggalan. Tim Labuhanbatu memerlukan tehnik baru agar dapat bermain lebih taktis dan berlari lebih cepat. Tehnik baru bermain, hanya mungkin lahir jika Labuhanbatu memiliki pemimpin yang visioner. Seperti apa pemimpin visioner itu? Bung Hatta dalam majalah Daulat Rakyat, 10 September 1933, mengambarkan syarat seorang pemimpin visinoner ini dalam satu kalimat yang lugas: iman yang teguh, watak yang kukuh dan urat saraf yang kuat.

Rakyat yang engan diajak bergerak menjemput perubahan adalah pertanda gagalnya kepemimpinan. Di sana tidak muncul pemimpin berkarrakter kuat, punya kredibilitas yang terjaga, sanggup menjadi inspirasi keteladanan dan mampu menumbuhkan harapan

Sementara Rhenald Kasali, pakar manajemen Universitas Indonesia, menganalogikan pemimpin visioner seperti mata. Ia bukan sekadar mata yang bergerak secara acak, melainkan harus menjadi mata yang jeli melihat sesuatu yang belum terlihat atau bahkan sama sekali tidak terlihat rakyatnya. Bukan itu saja, ia pun sanggup meyakinkan dan mengajak rakyatnya untuk memperjuangkan pandangan masa depannya itu.

Untuk menjadi pemimpin bermata jeli (visionary leader), seorang pemimpin harus berkarakter, punya kredibilitas, menjadi inspirasi keteladanan dan mampu menumbuhkan harapan. Mari kita urai serba sedikit soal ini. Pertama, berkarakter. Pemimpin berkarakter sudah barang tentu bukan sosok karbitan atau yang hanya mengandalkan pengalaman jabatan, jam terbang politik, dan deretan panjang aktivitas kemasyarakatan, tanpa catatan prestasi yang jelas dalam semua kiprahnya itu. Pemimpin berkarakter adalah pemimpin yang mampu membuat skenario masa depan bagi rakyat dan memperjuangkan skenario itu dengan melakukan perubahan mendasar dalam pemerintahan dan masyarakatnya dengan bertopang pada nilai-nilai masyarakatnya sendiri.

Kedua, kredibilitas. Ini menyangkut komitmen, integritas, kejujuran, konsistensi dan keberanian seorang pemimpin untuk bertanggung jawab atas pilihannya. Bukan jenis pemimpin dengan mental tempe, selalu ragu-ragu dan serba lambat mengambil keputusan di antara sekian banyak pilihan yang memang mustahil sempurna. Pemimpin yang kredibilitasnya mumpuni, sejak semula berkuasa siap mem-pertanggung-jawabkan kegagalan tanpa mencari kambing belang. Ia lebih suka mencari apa yang keliru untuk diperbaiki ketimbang mencari siapa yang patut disalahkan. Kredibilitas juga mengandung pengertian adanya ketenangan batin seorang pemimpin untuk memberikan reaksi yang tepat terutama dalam kedaaan kritis. Selain tentu saja kredibilitas juga menyangkut aspek kecakapan dan ketrampilan tehnis memimpin.

Ketiga, inspirasi keteladanan. Boleh jadi ini aspek kepemimpinan yang terpenting dan sekaligus teramat sulit untuk kita temukan kini. Banyak pemimpin di negeri ini yang gagal menjadi sumber inspirasi keteladanan. Mereka tidak sanggup berdiri di barisan terdepan dalam memberi teladan dari dirinya dan lingkungan kekuasan-nya yang terdekat. Pemimpin yang inspiratif, semestinya sanggup secara otentik menunjukkan ketulusan satunya ucapan dengan tindakan, satunya seruan dengan pelaksanaan, satunya tekad dengan perbuatan. Orang Jepang menyebut sikap otentik ini dengan istilah makoto, artinya sungguh-sungguh, tanpa kepura-puraan. Nurcholis Madjid menyebut pemimpin seperti ini sebagai lambang harapan bersama, sumber kesadaran arah (sense of direction) dan sumber kesadaran tujuan (sense of purpose).

Keempat, menumbuhkan harapan. Kita tahu tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemerintah kini begitu rendah. Pemerintah seperti bebek lumpuh yang kehilangan daya. Alih-alih mampu menggugah dan mengerakkan rakyatnya, bahkan niat baik pemerintah-pun acapkali disalah-pahami oleh rakyatnya sendiri. Pemimpin yang memberi harapan adalah pemimpin mampu menjadikan harapan rakyatnya sebagai roh kepemimpinannya. Tidak sebaliknya, secara egois menjadikan harapannya seolah-olah sebagai harapan rakyatnya. Dalam Islam ada adagium yang menyangkut soal ini: Kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang dipimpin, haruslah terkait langsung dengan kesejahteraan mereka (Tasharruf al-imam ala ar-raiyyah manutun bi al-maslahah). Jelaslah sudah, dalam Islam seorang pemimpin yang melalaikan kewajibannya mensejahterakan rakyatnya teramat dicela, sebab ia gagal menumbuhkan harapan bagi rakyatnya.

Moving the People
Titik sentral perubahan di Labuhanbatu ada pada kepemimpinan. Carut-marut keadaan ini kian tidak menentu ujung-pangkalnya lantaran daerah ini sedang krisis kepemimpinan. Kita tidak pernah kekurangan penguasa. Buktinya, setiap musim pemilihan tiba, stok calon penguasa berlimpah adanya. Tetapi kita jelas sedang dihantam paceklik panjang kepemimpinan. Apa buah dari paceklik ini? Taruhan terbesarnya ada pada kesinambungan pembangunan. Selama ini, kegagalan kita membangun bukan karena kita gagal membangun, tetapi lebih karena kita gagal mempertahankan kesinambungan pembangunan.

Para penguasa yang datang silih berganti, seperti tidak punya benang merah yang mem-pertautkan mereka. Inilah buah dari cara penguasa mengelola pembangunan yang hampir sepenuhnya memaknai sebagai struggle for power belaka. Pembangunan katanya, adalah urusan politik lima tahunan masa berkuasa. Pandangannya sebagai penguasa begitu terbatas karena sekat politik yang ia buat sendiri. Cara pandang yang terlalu politik dalam melihat pembangunan jelas berdampak destruktif. Pertama, membuat banyak penguasa berfikir dengan cara apapun ia harus kembali berkuasa. Kedua, penguasa baru biasanya akan menumbang-rubuhkan bangunan yang diwariskan dari penguasa lama. Apa yang sudah baik tidak dilanjutkan. Apa yang buruk, tidak jadi pelajaran. Di sini ada semangat tumpas kelor yang mematikan kesinambungan pembangunan.

Dalam konteks pemimpin yang visioner, jelas cara pandang mengelola pembangunan harus diubah. Pembangunan harus dimaknai sebagai isu manajemen. Yakni, bagaimana seorang pemimpin melakukan proses value creation yang berkesinambungan. Apapun alasannya, siapapun yang memerintah dan apapun tantangannya, isu utama seorang pemimpin bukan lagi struggle for power, melainkan bagaimana ia mengoptimalkan aset yang ada untuk menciptakan kontinuitas kemajuan. Ini penting sekali, agar arah pembangunan dalam skala apapun tidak kehilangan visinya.

Pemimpin yang visioner tidak boleh membuat rakyatnya galau, gelisah, lalu bertanya-tanya dengan hati gundah: mau dibawa kemana gerangan kami ini?

Mengapa kita perlu pemimpin yang visioner? Pemimpin yang mengelola pembangunan sebagai proses pembentukan nilai yang berkesinambungan, bukan hanya sekadar berkuasa untuk lima tahunan? Sederhana saja jawabannya, tanpa semua itu pemimpin akan gagal mengajak rakyatnya untuk bergerak (moving the people) mengatasi carut-marut keadaan. Rakyat yang engan diajak bergerak menjemput perubahan adalah pertanda gagalnya kepemimpinan. Di sana tidak muncul pemimpin berkarakter kuat, punya kredibilitas terjaga, sanggup menjadi inspirasi keteladanan dan mampu menumbuhkan harapan.

Dalam carut-marut keadaan kita terus bermimpi datangnya pemimpin yang membawa perubahan. Pemimpin yang punya kerendahan hati, seperti Abu Bakar Ash-Siddik yang berkata menjelang pelantikan dirinya sebagai khalifah pertama: lastu bi khoirikum in roaatumuuni showaaban fai nuuni wa in roaitumuuni wijaajan fa qowwimuuni (Saya bukanlah yang terbaik di antara kalian, maka jika kalian ketahui saya benar, bantulah saya. Dan jika kalian ketahui saya menyeleweng, luruskan saya).

Selanjutnya ...

23 September 2008

SEGERA LAKUKAN REFORMA AGRARIA SEJATI & PENINGKATAN STATUS KELEMBAGAAN PERTANAHAN



Memperingati Hari Tani Nasional, 24 September 2008.

Dalam rangka memperingati hari tani, tanggal 24 September 2004 ini, kita wajib mengingat pidato Presiden RI tanggal 31 Januari 2007, dalam rangka pidato kenegaraan membuka tahun yang baru, tahun 2007, yang biasanya dijadikan panduan bagi departemen, badan dan instansi lain di Pemerintahan RI untuk mendesain perencanaan strtegis dan rancangan program dan kegiatan lain. Pada pidato tersebut Presiden Soesilo Banbang Yudhoyono, lebih akrab dikenal dengan (SBY) sempat mengungkapkan strategi pemerintah dalam urusan tanah (reforma agrarian). Isi dari pidato tersebut antara lain; “Program Reforma Agraria… secara bertahap…akan dilaksanakan mulai tahun 2007 ini. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan kita boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Inilah yang saya sebut sebagai prinsip “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat… (yang) saya anggap mutlak untuk dilakukan”.

Tanah merupakan objek yang sangat penting bagi kehidupan manusia, dimana berbagai macam kebutuhan hidup sangat bergantung pada keberadaan tanah, baik sebagai media tanam maupun sebagai media ruang/tempat. Begitu urgennya tanah sehingga banyak sekali konflik yang berakibat sangat luas dan memakan banyak korban di dunia ini karena berebutan akan penguasaan pengelolaan tanah tersebut. Menurut catatan Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara paling sedikit ada 699 kasus konflik/sengketa tanah yang ada di Sumatera Utara.

UUD 1945, Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi “ir, udara, bumi dan seisinya dikuasai oleh Negara dan digunakan seluas-luasnya untuk kemakmuran rakyat”, UUD 45 ini telah cukup jelas amanatnya yang diberikan untuk kemakmuran rakya dan dibreakdown lagi oleh UUPA.

Sepanjang Orde Baru (1966-1998) politik agraria yang dianut dan diterapkan secara konsisten oleh pemerintah adalah politik agraria yang kapitalistik. Politik agraria semacam ini menjadikan tanah dan kekayaan alam lainnya sebagai komoditi serta objek eksplotasi dan akumulasi modal besar asing maupun domestik yang beroperasi di berbagai sektor. Berbagai peraturan perundang-undangan dan program-program pembangunan di lapangan agraria praktis diabdikan untuk memenuhi orientasi politik agraria yang kapitalistik itu. Sejak Orde Baru berkuasa (1966) pengkhianatan terhadap undang-undang pokok agraria (UUPA) No. 05 tahun 1960, mulai berlangsung. Hal ini tercermin dari orientasi dan praktek politik agraria yang ditopang oleh berbagai produk peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan dengan kekayaan alam kita. Misalnya undang-undangan yang mengatur Kehutanan; Pertambangan; Pertambangan Minyak dan Gas Bumi; Pengairan; Perikanan, dsb. Keseluruhan undang-undang sektoral ini mengandung semangat dan isi yang memfasilitasi modal besar ketimbang memenuhi hak-hak rakyat banyak.

Pantulan orientasi politik agraria Orde Baru jelas tergambar pada banyaknya penyerahan penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria ke tangan pemilik modal besar melalui berbagai ijin usaha. Dengan memegang prinsip Hak Menguasai Negara (Pasal 2 ayat 2 UUPA 1960), dengan mengatasnamakan negara, pemerintah pusat atau daerah telah mengeluarkan hak-hak baru seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai, Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), Kuasa Pertambangan, dan Kontrak Karya Pertambangan. Karena proses pengkhianatan yang berkepanjangan, maka posisi UUPA 1960 dengan sendirinya terpinggirkan secara berkelanjutan. Bahkan UUPA seakan-akan hanya mengatur soal administrasi pertanahan saja, yang kewenangannya hanya mencakup sekitar 30% saja dari luas seluruh daratan Indonesia. Selebihnya diatur lewat undang-undang UU Kehutanan (1967) yang diperbaharui menjadi UU No. 41/1999, dan UU sektoral lainnya.

Lembaga-lembaga penelitian sosial yang gencar meneliti masalah kemiskinan selalu mengungkapkan minimnya keter-aksesan masyarakat petani terhadap tanah menjadi suatu penyebab utama kemiskinan di Indonesia, Peduduk miskin yang ada di Indonesia sampai Juli 2007 adalah 37,17 juta orang atau 16,58 % (Data yang dikeluarkan oleh Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, TKPKRI) dari jumlah tersebut penduduk atau rumah tangga miskin sebagian besar (72%) ada di pedesaan dan berprofesi sebagai petani, yang sudah pasti akan membutuhkan tanah sebagai media tanam pertanian. Mereka adalah umumnya petani yang menggantungkan hidupnya pada lahan yang sangat kecil. Di seluruh Indonesia terdapat 13,253 juta rumah tangga pertanian yang hanya menguasai (dan belum tentu memiliki) luas tanah kurang dari 0,5 hektar, biasa disebut petani gurem. Jumlah rumah tangga petani gurem tidak hanya monopoli petani di pulau Jawa tetapi juga di luar Jawa. 74 dari 100 rumah tangga petani di Jawa adalah petani gurem, sedangkan di luar Jawa 1 diantara 3 petani adalah petani gurem.

Dalam satu acara seminar yang bertajuk “Mewujudkan Keadilan Melalui Kebujakan Agraria Nasional”, di Medan 4 September lalu terungkap, bahwa hanya 1 sampai 2 persen masyarakat menguasai asset, sumberdaya alam, terutama sumber daya agrarian, hanya 56 %. Sementara 98 % masyarakat lainnya yang kurang beruntung hanya menguasainya sebesar 44 %. Ini suatu hal yang sangat ironis dan harus diakhiri keberlanjutannya. Pengelolaan sumber daya yang adil seperti yang dinyatakan SBY dalam pidatinya harus segera diwujutjkan.

Dalam konsep hak pangan (hak masyarakat untuk memperoleh pangan yang sehat) ada 3 hal yang mestinya dipenuhi pemerintah, yakni; to respect, agar pemerintah memberikan tanggapan langsung atas persoalan kelaparan yang terjadi; to protect, agar pemerintah melindungi masyarakatnya dari kemungkinan kelaparan yang dihadapi, dan; to fulfill, agar pemerintah memenuhi kebutuhan-kebutuhan makan yang dibutuhkan rakyatnya. Dari konsep hak pangan ini juga jauh untuk terpenuhi jika masyarakat mayoritas sebagai petani tidak punya media tanam yang mestinya mereka miliki, bahkan seharusnya media tanam tersebut disediakan oleh pemerintah, karena ini juga bagian dari kewajiban negara untuk memenuhinya (to fulfill), istilah ini juga dapat dicari korelasinya dengan makna yang sama pada pasal 1 sampai 13, UUPA.

Carut-marutnya masalah agrarian nasional ini yang coba diperbaiki belakangan oleh negara, seperti apa yang diungkapkan dalam pidato SBY Januari 2007 lalu dan diterbitkannya Ketetapan MPR No.IX/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam. Tap MPR ini memberikan tugas dan mandat kepada pemerintah untuk melaksanakan; “penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia” (pasal 2). Lalu dilansir perencanaan pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang akan dipimpin langsung oleh presiden, dengan perencanaan distribusi tanah seluar 8,15 juta hektar untuk penduduk miskin yang tidak punya tanah. Kedua tonggak ini menjadi pembuka pintu bagi perbaikan kehidupan petani, revitalisasi sektor pertanian dan pembangunan pedesaan. Untuk itu, tak perlu terlalu lama buang waktu untuk memulai reforma agraria. Reforma agraria sejalan dengan amanat sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa. Ini juga cermin dari semua bangsa yang maju. Reforma agraria berguna memenuhi hak sipil-politik, ekonomi, sosial dan budaya bangsa.

Kini Tap MPR dan rencana pelunuran PPAN tersebut sangat ditunggu-tunggu masyarakat wujud dan kedatangannya, namun tidak kunjung tiba juga malah yang terdengar santer hanya gencarnya penyertifikatan tanah di mana-nama. Apakah ini merupakan wujud PPAN, resistensi yang sangat kuat dari pemilik modal yang sangat dominan menguasai sumber-sumber agraria belum terkalahkan. Perrubahan dan kekerpihakan BPN pada masyarakat bukan tidak terjadi, tapi hanya Kanwil-kanwil yang personal berani dan jujur tertentu saja yang melakukan reforma agraria dengan berpihak pada rakyat.

Untuk itu pada hari agraria nasional 24 September 2008 ini kami BITRA Indonesia dan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA Sumut) mendesak agar dilakukan:

1. Reforma agraria sejati
Sebaiknya reforma agraria di daerah disiapkan bersama antara pemerintah daerah dengan rakyatnya --khususnya kalangan petani dan masyarakat di pedesaan yang akan menerima manfaat reforma agraria. Untuk menyambut dan mengawal PPAN, maka berbagai langkah yang harus dipersiapkan oleh pemerintah daerah, organisasi rakyat dan para pendukung gerakan pembaruan agraria, adalah: Pertama, melakukan pendataan objek dan subjek secara lengkap dan akurat. Hal ini diperlukan untuk memastikan objek (tanah) dan subyek (orang) reforma agraria agar dapat diketahui secara tepat. Jenis, luas dan posisi objeknya harus dapat di tentukan dengan pasti. Kategori, identitas dan jumlah subyek penerima manfaat pun mesti diketahui. Pendataan ini, termasuk di dalamnya mengenai objek dan subjek konflik agraria. Kedua, mengambil peran aktif dalam pengembangan model-model pembaruan agraria. Para pelaku dan pendukung gerakan pembaruan agraria mesti terlibar aktif dalam pengembangan model-model pembaruan agraria. Pengembangan model pembaruan agraria (khususnya landreform) akan menentukan jalan yang tepat bagi perombakkan struktur penguasaan, pemilikan dan pengunaan tanah di masa depan. Pilihan-pilihan model pembaruan agraria akan sangat tergantung pada pengawalan dan kordinasi sinergis antara pemerintah, organisasi rakyat dan para pendukungnya. Ketiga, memperkuat dan mengkonsolidasikan organisasi rakyat. Serikat-serikat maupun kelompok-kelompok tani, nelayan, masyarakat adat, buruh dan kaum miskin kota mesti diperkuat dan dikonsolidasikan untuk mengawal program pembaruan agraria nasional. Melalui organisasi rakyat yang kuat (kesadaran, militansi, tertib organisasi, solidaritas, dan kepemimpinan yang bertanggung jawab) inilah, rakyat akan mempunyai posisi tawar yang kuat untuk menghadapi hal-hal yang merugikan mereka. Melalui konsolidasi dan penguatan organisasi rakyat pula, maka rakyat dapat berperan serta secara aktif dalam program pembaruan agraria nasional. Keempat, mendorong dialog agraria secara intensif. Diperlukan dialog intensif di berbagai level (nasional, daerah sampai kampung), yang membicarakan mengenai wacana, agenda dan program pembaruan agraria yang hendak dijalankan oleh pemerintah bersama rakyat. Hendaknya diskusi-diskusi ini melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap agenda pembaruan agraria agar ditemukan kesepahaman dan kesepakatan atas bentuk kongkrit dari pelaksanaan pembaruan agraria di lapangan. Kelima, membuat kebijakan nasional/daerah yang khusus untuk reforma agraria. Agar di lapangan reforma agraria dapat dilaksanakan dalam kerangka kebijakan yang jelas, maka diperlukan penetapan kebijakan nasional/daerah yang khusus untuk reforma agraria. Secara yuridis, di tingkat nasional reforma agraria idealnya diatur oleh UU khusus untuk reforma agraria, dengan tetap mengacu kepada UUPA 1960. Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sangat baik jika ada Peraturan Daerah khusus untuk reforma agraria. Selain perlunya alas yuridis, agenda ini juga harus mendapat sokongan politik penuh dari pemerintah dan parlemen pusat/daerah. Keenam, memasukan anggaran reforma agraria ke dalam APBN/APBD. Salah satu bentuk sokongan politik pemerintah dan parlemen adalah dimasukannya anggaran untuk pelaksanaan reforma agraria ke dalam APBN/APBD. Adanya pembiayaan yang memadai akan menentukan efektifnya pelaksanaan reforma agraria di lapangan. Karena reforma agraria agenda resmi Negara (pemerintah dan rakyat) maka sewajarnya jika seluruh pembiayaannya dialokasikan dari kantongnya Negara, baik di pusat maupun di daerah.

Banyak negara yang telah melakukan reforma agrarian sebagai tonggak utama pembangunan nasionalnya, misalnya Venezueela, Bolivia, Paraguay, Dll

2. Tingkatkan kualitas lembaga pertanahan negara

Perpres No. 10 Tahun 2006 (selanjutnya Perpres 10) menggariskan bahwa Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden (Pasal 1). Garis ini mengakhiri posisi dilematik BPN yang pernah berwujud Kementerian Agraria, lalu di bawah Departemen Dalam Negeri, bahkan nyaris dibubarkan. BPN kini langsung di bawah Presiden

Banyak kalangan menilai bahwa BPN kini tidak punya gigi, menjadi kekhawatiran bahwa hal ini adalah suatu hal yang dikondisikan atau boleh dikatakan by desain agar sumber daya agraria dapat dikuasai dan dikelola oleh segelintir orang atau kelompok kecil yang punya kekuasaan dan uang untuk meperbanyak uangnya.

Oleh karna itu, kembalikan atau tingkatkan kelembagaan BPN kepada Kementrian Agraria Nasional. Lebih baik lagi jika dapat ditingkatkan pada tingkat Menko, karena persialan agraria sangat terkait dengan kementrian yang lain, misaklnya Kementrian BUMN, Kehutanan, Pertanian, Perkebunan Dll. Selama ini dianggap ada masalah, ganjalan dan resistensi untuk melakukan reforma agraria bahwa BPN tidak punya daya dan wewenang koordinasi.

Iswan Kaputra
Ketua Forum Masyarakat Asal Labuhan Batu (FORMAL) di Medan.
Peneliti pada BITRA Indonesia.



Selanjutnya ...

12 September 2008

Fernando Lugo dan Corasom de Amerika


Kesaksian Martin Bishu Sahabat Lugo Asal Bejawa Flores

Setelah Venezuela, Brazil, Bolivia, Argentina, Ekuador, Uruguay, Nikaragua dan Chili kebangkitan neososialisme atau kemenangan gerakan progresif kerakyatan kini bergemuruh pula di Paraguay dengan terpilihnya Fernando Lugo ‘Pastor Si Miskin” sebagai Presiden Paraguay.

Siapakah Fernando Lugo dan atmosfir politik seperti apakah yang berlangsung disana?
Martin Bishu seorang pastor asal Bajawa Flores yang bekerja sebagai misionaris selama belasan tahun di Paraguay melalui feature yang apik dari kawan Ahmad Yunus memberikan kesaksiannya tentang sahabatnya Fernando Lugo dan geliat perjuangan kaum miskin di Paraguay. Beruntung kita punya laporan dari tangan pertama yang terlibat intens dalam perjuangan untuk kaum miskin di Paraguay.

Corasom de America
Seorang pastor dari Flores bicara tentang keterlibatannya dalam gerakan politik di Paraguay. Sebuah pergulatan memerangi kemiskinan dan ketidakadilan.

selain itu berikut kami lampirkan link wawancara dengan Fernando Lugo dan laporan diskusi Kompas oleh wartawan Kompas Rikard Bangun

Wawancara dengan Fernando Lugo
Istana untuk Kaum Miskin

Kaki saya sudah berdiri untuk kaum miskin. Tidak mungkin kaki yang sama berdiri untuk dua tempat berbeda. Kalau saya berada di istana kepresidenan, posisi berdiri saya tetap untuk kaum miskin.

Laporan Diskusi Kompas 1
Dari Teologi Pembebasan ke Sosialisme Baru

Laporan Diskusi Kompas 2
Gemuruh Simfoni Sosialisme

Selanjutnya ...

09 September 2008

Gambaran

Selanjutnya ...

Mempersoalkan Kenaikan BBM ???


Kenaikan BBM sungguh perlu dikaji ulang dengan seksama. Gejolak yang muncul, saat Pemerintah berencana menaikkan BBM merupakan representasi penolakan masyarakat yang mestinya dipandang Pemerintah sebagai konstituen negara, lebih-lebih lagi bagi pimpinan nasional karena Presiden sejak pemilihan umum tahun 2004 lalu adalah Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat.

Seperti Ladang Jagung
Sejak tahun 1997 saat gelombang besar kenaikan BBM mulai terus memanjat, sejalan dengan kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan meluasnya krisis ekonomi di Asia Tenggara, yang berkembang menjadi krisis multi dimensi di Indonesia, setiap berdiskusi saya selalu mengibaratkan bahwa persoalan harga BBM ini sama dengan seorang Kepala Desa yang menanam jagung di kampungnya dengan hamparan lahan 2 hektar. Sang Kepala Desa akan mengeluarkan modal awal yang cukup besar karena harus membeli lahan, membersihkannya dari belukar (land clearing), membeli bibit lalu mungkin juga mengupahkannya untuk menanam dan merawat hingga jagung panen.
Kebetulan di desanya jagung merupakan komponen penting bagi ketahanan pangan rakyat desa, karena rakyat desanya mengkonsumsi jagung sebanyak 20 ton setiap bulan, dihitung dari kebutuhan penduduk, sebagai campuran nasi untuk makanan pokok. Setelah Kepala Desa panen dengan hasil 20 ton jagung, sang Kepala Desa harus menentukan pilihan; 1. Jagung tersebut dijual kepada penduduk desanya dengan harga Rp 200,-/kilogram dengan konsekwensi Kepala Desa hanya mendapatkan untung Rp 100,-/kilogram karena biaya produksinya Rp 100,-/kilogram. Namun penduduk desanya mengalami ketahanan dan kecukupan pangan, plus sang Kepala Desa mendapatkan citra dan sanjungan yang terpuji dari penduduk desanya, karena memenuhi kebutuhan pangan memang merupakan salah satu tanggung-jawab Kepala Desa. 2. Kepala Desa menjual 10 ton jagung hasil panennya kepada rakyatnya dan menjual 10 ton yang lain ke pasar Kecamatan dengan harga Rp 400,-/kilogram, jelas Kepala desa akan lebih untung, namun sebagian rakyatnya akan membeli jagung di pasar Kecamatan dengan harga tinggi untuk dikonsumsi. Kepala Desa juga mulai kehilangan sebahagian citra baiknya di mata rakyatnya. 3. Kepala Desa menjual semua atau sebahagian besar jagung hasil panennya ke pasar Kecamatan, untung yang diperoleh jauh lebih besar, Kepala Desa-pun dapat menyumbangkan sebahagian uangnya untuk rakyat termiskin di desanya, akan tetap hal ini hanya sebagai polesan, bukan menyelesaikan masalah mendasar untuk memenuhi kebutuhan pangan, jelas citra sang Kepala Desa akan jauh lebih pudar, bahkan bisa hilang di mata rakyatnya.
Begitu juga produksi minyak negara, apakah mau di jual ke pasar internasional yang harganya akan jauh lebih mahal dibandingkan hanya dijual pada rakyatnya sendiri dengan harga yang tentunya jauh bisa dimurahkan? Menjual harga yang murah pada rakyatnya sebenarnya negara juga sudah untung meskipun tidak seperti keuntungan ketika dijual ke pasar internasional atau disesuaikan dengan harga internasional. Akan tetapi citra baik pemerintah akan terkikis bahkan bisa hilang di mata rakyat, bahkan BLT-pun tidak terlalu berpengaruh sama sekali, untuk memulihkan citra tersebut.
Menyelenggarakan proses penambangan minyak hanya butuh modal besar di awal, dimana proses, dari mulai; pembebasan lahan, berbagai macam proses administrasi awal (termasuk izin dan kontrak karya), penelitian, pengadaan alat berat Dll. Semuanya hanya butuh modal yang besar di awal. Setelah itu minyak dapat dikatakan akan mengalir seperti air, hanya butuh sedikit sentuhan proses operasional dan pengeluaran rutin yang tak seberapa jika dinbandingkan dengan hasil yang diperoleh. Namun mengapa BBM bisa mahal?
Pemerintah menyedot minyak sebagai kekayaan perut bumi kita dengan biaya 10 sampai 15 USD per-barel, namun harga internasional sekarang telah melebihi 100 USD per-barel. Ini yang dianggap jika dijual untuk digunakan rakyatnya sendiri dengan harga yang murah akan merugikan dibandingkan dengan dijual ke pasar internasional. Selama ini opini publik yang dibangun memaksakan logika subsidi dengan alasan bahwa pemerintah inport untuk kebutuhan BBM dalam negeri, asumsi tersebut tidak terlalu kuat, karena kebutuhan BBM Indonesia 1,2 juta bph, produksi 1 juta bph, kekurangan kebutuhan BBM yang diimpor sekarang hanya 0,2 juta bph.
Pernyataan bahwa Pemerintah rugi 123 triliun menggunakan logika dan asumsi subsidi yang harus dihapuskan, harga BBM sekarang dalam negeri dibandingkan dengan harga internasional, patut dipertanyakan karena jika dikaji menggunakan logika lain, Jika harga minyak Internasional US$ 125/barrel dan biaya produksi US$ 15/barrel dilakukan impor 200 ribu bph maka pemerintah Indonesia dengan harga premium Rp 4.500/liter (US$ 77/brl) masih untung US$ 49,4 juta per-hari atau Rp 165,8 Trilyun dalam setahun (asumsi nilai tukar 1 USD = Rp 9.200,-).
Di dalam perhitungan di atas ada pemaksaan logika harga BBM internasional yang harus disamakan untuk perusahaan pertambangan internasional meraih keuntungan yang sangat tinggi. Dari jaman ke jaman memang perusahaan tambang dikenal sebagai perusahaan yang dapat berbuat apa saja demi memperoleh minyak, baik dari cara yang paling halus hingga cara yang paling kasar, bahkan memerangi suatu negara untuk mendapatkan komoditi migas yang tidak terbarukan dan cadangannya di perut bumi makin lama makin menipis dan pasti akan habis, tersebut. Ini tentunya akan menjadi penyebab konflik yang cukup dominan di muka bumi ini, hingga energi alternatif pengganti migas yang efektif ditemukan, di sisi lain sumber energi alternatif dari nabati akan menimbulkan masalah baru, yakni menggeser posisi bahan baku pangan sehingga menimbulkan krisis pangan dunia yang kini mulai kelihatan tanda-tandanya. Masalah lain yang muncul adalah semakin menurunnya produksi bahan pangan karena perubahan iklim ekstrem dan keterbatasan lahan petani.

Perbandingan Harga
Pernyataan Pemerintah bahwa harga minyak Indonesia termurah di Asia Tenggara. Pernyataan ini juga dipaksakan untuk memberikan pembenaran kenaikan BBM. Jika kita lihat perbandingan harga minyak (premium) dalam negeri negara-negara lain, masih banyak yang dibawah harga Indonesia. Lihat tabel beikut:
Harga di Indonesia: Premium Rp 4.500/liter, Pertamax Rp 8.700/liter

Mengapa negara-negara seperti Venezuela, Turkmenistan, Iran, Nigeria, Bolivia (belum diperoleh datanya) dan yang lain bisa menjual harga minyak jauh dibawah harga pasar internasional pada rakyatnya? Negara-negara tersebut memandirikan dengan kata lain melakukan pengelolaan minyaknya dengan berdaulat. Sehingga dapat mematok harga murah dan menjadi negara yang paling murah harga BBM-nya karena tidak bergantung dan tidak tertarik untuk menyamakan harga minyaknya dengan harga internasional demi melindungi rakyatnya.
Jika rakyat Indonesia dikatakan sebagai sebagai rakyat yang boros BBM? Ternyata juga tidak. Dengan logika jumlah penduduk yang 220 juta jiwa Indonesia menempati urutan/rangking ke 116 sebagai pengguna BBM. Jauh dibawah Malaysia yang jumlah penduduknya hanya 24 juta jiwa, namun menempati rangking 47 sebagai pengguna BBM.
Alasan lain “penghapusan subsidi” dengan menaikkan BBM adalah pengguna BBM (jika bersubsidi/tidak disesuaikan dengan harga internasional), juga kurang berasalan, karena pemilik mobil mewah di Indonesia kurang dari 5% atau kurang dari 10 juta aorang. Pengguna BBM dengan persentase tinggi jelas ditempati oleh masyarakat pengguna kendaraan sepeda motor, supir-supir angkutan umum, kendaraan pengangkutan baran, nelayan, ibu rumah tangga dll. Penumpang angkot jika BBM naik pasti akan lebih menderita, karena ongkos pasti juga akan naik. Beban pengeluaran rumah tangga juga pasti akan meningkat tajam karena harga-harga juga akan naik, karna biaya angkut (mobilitas) barang juga akan naik.
Dikhawatirkan ada tangan-tangan tersembunyi yang memaksakan kehendak agar harga-harga BBM di Indonesia disamakan persis seperti harga internasional karena perusahaan tambang kini telah diizinkan menjadi pengecer (mendirikan pomp bensin) di Indonesia. Logikanya jika harga yang mereka jual mengikuti harga nasional seperti yang diecer oleh Pertamina maka keuntungan yang diperoleh akan tidak maksimal. Sementara sekarang kita lihat di pomp bensin asing yang ada di Indonesia dengan harga yang sedikit saja lebih tinggi, sepi pelanggan. Dugaannya ini merupakan salah satu penyebab Pemerintah ditekan oleh perusahaan multi nasional untuk menyamakan harga minyak Indonesia dengan harga minyak internasional. Jika asumsi ini benar, maka memang Pemerintah kita belum berdaulat dalam banyak hal.
Banyak sumber lain yang bisa digali untuk menutupi kebutuhan anggaran negara yang kurang. Hal itu tergantung kreatifitas Pemerintah melindungi dan memakmurkan rakyatnya. Jadi kenapa harus menaikkan BBM? Yang merupakan suatu tindakan yang tidak populer dan tidak melindungi rakyatnya sendiri? Kini dengan harga minyak internasional turun Pemerintah telah sangat layak meninjau kembali harga kenaikan BBM.

Iswan Kaputra
Pekerja Sosial pada BITRA Indonesia, Medan &
Ketua Forum Masyarakat Asal Labuhan Batu di Medan (FORMAL)

Selanjutnya ...

02 September 2008

Tan Malaka : Bapak Republik, Revolusi, Merdeka 100%


34 artikel menarik seputar Tan Malaka

Majalah Tempo dalam edisi khusus Kemerdekaan mengangkat profil Tan Malaka : Bapak Republik Yang Dilupakan. Tidak tanggung-tanggung edisi Tan Malaka ini terdiri dari 26artikel yang ditulis oleh wartawan Tempo dan 8 kolom/opini yang ditulis oleh pengamat/pakar dari Asvi Warman Adam hingga Ignas Kleden.

Beberapa petikan penting soal Tan Malaka, sehingga terlalu gegabah kalau kita mengabaikan edisi khusus tempo ini, mengabaikan Tan Malaka .....


”Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933)”.

“Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie.”

“Bagi Yamin-yang kemudian bergabung dengan Tan dalam kelompok Persatuan Perjuangan-Tan tak ubahnya Bapak Bangsa Amerika Serikat, Thomas Jefferson dan George Washington: merancangkan Republik sebelum kemerdekaannya tercapai”

"W.R. Supratman sudah membaca seluruh buku Massa Actie itu," kata Hadidjojo. Muhammad Yaminlah yang memaksa Sugondo memberikan waktu bagi Supratman memainkan lagu ciptaannya di situ. Lalu bergemalah lagu Indonesia Raya, lagu yang terinspirasi dari bagian akhir Massa Actie: "Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putra tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah”

“Ia hidup dalam pelarian di 11 negara. Ia memiliki 23 nama palsu. Ia diburu polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris dan Amerika Serikat”.

“Ketika memperingati sewindu hilangnya Tan Malaka pada 19 Februari 1957, Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution mengatakan pikiran Tan dalam Kongres Persatuan Perjuangan dan pada buku Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi) menyuburkan ide perang rakyat semesta. Perang rakyat semesta ini, menurut Nasution, sukses ketika rakyat melawan dua kali agresi Belanda. Terlepas dari pandangan politik, ia berkata, Tan harus dicatat sebagai tokoh ilmu militer Indonesia. “

“....jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka. (testamen Soekarno)”

“Di seputar Proklamasi, Tan menorehkan perannya yang penting. Ia menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan "masih sebatas catatan di atas kertas". Tan menulis aksi itu "uji kekuatan untuk memisahkan kawan dan lawan". Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan gencar”.

Ketua Partai Komunis Indonesia, D.N. Aidit, mengatakan sumber kegagalan pemberontakan 1926 antara lain kurang persiapan dan minim koordinasi. "Tapi, selain itu, ada orang seperti Tan Malaka, yang tidak melakukan apa pun, hanya menyalahkan setelah perlawanan meletus," kata Aidit. Dia juga menyebut Tan sebagai Trotskyite, pengikut Leon Trotsky (lawan politik Stalin), "sang pemecah belah".

”Musso bersumpah menggantung Tan karena pertikaian internal partai”.

"Kongres memberi tepuk tangan yang ramai pada Tan Malaka, seolah-olah telah memberi ovasi padanya," tulis Gerard Vanter untuk harian De Tribune. "Itu merupakan suatu pujian bagi kawan-kawan kita di Hindia yang harus melakukan perjuangan berat terhadap aksi kejam." (Konggres Komintern ke 4)

Tan Malaka adalah Che Guevara Asia – Harry Poeze (penulis gigih Biografi Tan Malaka)
Semoga bermanfaat
Sumber: http://ruangasadirumahkata.blogspot.com. Ditulis oleh; Andreas Iswinarto

Silahkan mengakses link ke seluruh 34 artikel tersebut dibawah ini:
DIA YANG MAHIR DALAM REVOLUSI: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127927.id.html

Jalan Sunyi Tamu dari Bayah: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127930.id.html

Kisruh Ahli Waris Obor Revolusi: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127931.id.html

Si Mata Nyalang di Balai Societeit: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127932.id.html

Gerilya Dua Sekawan: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127936.id.html

Kerani yang Baik Hati: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127939.id.html

Naskah dari Rawajati: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127940.id.html

Bolsyewik yang Terbuang: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127945.id.html

Peniup Suling bagi Anak Kuli: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127949.id.html

Bertemu Para Bolsyewik Tua: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127951.id.html

Dukungan untuk Pan-Islamisme: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127954.id.html

Gerilya di Tanah Sun Man: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127956.id.html

Penggagas Awal Republik Indonesia: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127957.id.html

No Le Toqueis, Jawa!: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127958.id.html

Tumpah Darahku dalam Sebuah Buku: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127959.id.html

Macan dari Lembah Suliki: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127961.id.html

Cita-cita Revolusi dari Tanah Haarlem: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127962.id.html

Sobatmu Selalu, Ibrahim: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127963.id.html

Trio Minang Bersimpang Jalan: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127964.id.html

Perempuan di Hati Macan: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127968.id.html

Wawancara Setelah Mati: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127969.id.html

Persinggahan Terakhir Lelaki dan Bukunya: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127971.id.html

Misteri Mayor Psikopat: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127972.id.html

Kolom Tempo. Tan Malaka, Sejak Agustus Itu. Catatan Pinggir Goenawan Mohamad:
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/CTP/

Tan Malaka: Nasionalisme Seorang Marxis. Ignas Kleden - Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127934.id.html

Tan Vs Pemberontakan 1926-1927. Mestika Zed -Sejarawan Universitas Negeri Padang: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127955.id.html

Republik dalam Mimpi Tan Malaka. Hasan Nasbi A. Program Manager Indonesian Research and Development Institute, penulis buku Filosofi Negara Menurut Tan Malaka (LPPM Tan Malaka, 2004): http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127960.id.html

Pemberontak dari Alam Permai Minangkabau. Zulhasril Nasir - Guru Besar Komunikasi UI dan penulis buku Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau (Ombak, 2007): http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127965.id.html

Madilog: Sebuah Sintesis Perantauan. Rizal Adhitya Hidayat - Bekerja di Universitas Indonusa Esa Unggul: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127967.id.html(

Bukan) Seseorang dalam Arus Utama Revolusi. Bonnie Triyana – Sejarawan-cum-wartawan:
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127970.id.html

Warisan Tan Malaka. Asvi Warman Adam-Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia:
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127973.id.html

Silahkan klik untuk
KARYA/BUKU-BUKU TAN MALAKA ONLINE

Selanjutnya ...

01 September 2008

Pekarangan, Pertahanan Pangan yang Hilang


Lahan yang makin menyempit tak hanya terjadi di sawah, kebun, atau ladang, tetapi juga di pekarangan, lahan yang langsung berdampingan dengan rumah. Fragmentasi lahan menjadikan pekarangan yang merupakan pertahanan pangan terakhir itu nyaris hilang. Kasus kurang gizi sangat boleh jadi akibat dari keadaan ini.

Sekarang kita sulit untuk mendapatkan pekarangan di rumah-rumah di Pulau Jawa. Sampai tahun 1980-an para guru masih mengajarkan bercocok tanam di pekarangan kepada murid-muridnya. Sekarang mungkin hal itu masih diajarkan, tetapi tidak mudah diterapkan. Di depan rumah bukan lagi lahan pekarangan, tetapi sudah menjadi jalan raya. Di belakang rumah lahan makin sedikit dan cenderung berimpitan dengan rumah tetangga.

Meski demikian, jejak pekarangan masih ada. Pekarangan dengan berbagai aneka tanaman dan juga hewan piaraan masih ditemukan di keluarga-keluarga yang umumnya anak-anaknya bekerja di luar kota dan tidak menggantungkan pada lahan milik orangtuanya sehingga lahan itu masih terjaga.

Di sebuah rumah di Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, sebuah keluarga masih bisa memanen berbagai tanaman dan hewan dari pekarangan. Di pekarangan ada ubi, pepaya, lele, sapi, dan lebah madu. Tidak jauh dari rumahnya tersedia sawah yang memasok beras. Setidaknya gambaran seperti ini bisa mewakili profil pekarangan.

Gambaran pekarangan ini memang lebih sederhana dibandingkan dengan pekarangan pada masa lalu yang lebih komplet, yang di dalamnya ada tanaman obat-obatan, pohon bambu, pohon kelapa, pohon jati, dan lain-lain. Tanaman obat-obatan menjadi apotek hidup sehingga bila suatu saat ada anggota keluarga yang sakit, mereka dengan mudah mendapat obatnya.

”Saat ini keanekaragaman hayati pekarangan memang menurun. Peran pekarangan sebagai penopang ekonomi lebih menonjol ketimbang sebagai sumber gizi keluarga. Eksploitasi pekarangan meningkat. Mereka membutuhkan uang untuk kebutuhan sehari-hari,” kata Kepala Pusat Pengembangan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yang juga peneliti pekarangan, Antonius Budisusila.

Pada masa lalu, pekarangan lebih berfungsi sebagai basis pangan rumah tangga dibandingkan sebagai sumber ekonomi. Hasil pekarangan baru dijual ke pasar bila sebuah keluarga membutuhkan pangan lain atau alat-alat rumah tangga yang tidak bisa dibuat sendiri.

Munculnya pekarangan dalam sistem pertanian di Nusantara tidak mudah didapat. Meski demikian, di dalam tulisan The Javanese Homegarden yang termuat di Journal for Farming Systems Research (1992) Otto Soemarwoto dan GR Conway yang mengutip artikel Terra (1954) menyebutkan, berdasarkan sumber tertulis, pekarangan sudah ada pada 860 Masehi. Meski demikian, pekarangan di Nusantara diperkirakan sudah lama ada. Terra menduga Jawa Tengah merupakan tempat asal usul pekarangan.

Akan tetapi, dalam buku Bunga Angin, Portugis di Nusantara (2008) memperlihatkan pelaut-pelaut Portugis yang membuat permukiman di sejumlah tempat juga menanami permukiman atau benteng sekitar dengan berbagai tanaman untuk bertahan hidup. Penulis buku itu, Paramita R Abdurachman, menyebutkan, kedatangan Portugis pada abad ke-16 menjadikan pekarangan penduduk pribumi mulai diolah dan ditanami bunga.

Fakta-fakta di atas sepertinya tidak perlu dipertentangkan, tetapi lebih dilihat sebagai saling melengkapi. Kemungkinan pekarangan memang sudah ada sebelum Portugis datang, tetapi kedatangan Portugis melengkapi tanaman di pekarangan, seperti bunga yang disebut di atas. Kedatangan bangsa lain pun, seperti Belanda, diperkirakan juga melengkapi tanaman dan juga hewan di pekarangan.

Penelitian mengenai pekarangan sudah banyak dilakukan. Sejak zaman kolonial, para peneliti sudah meminati meneliti pekarangan. Dalam History of Java (1817), Raffles menyebutkan, setidaknya terdapat 10 persen pekarangan dari luas areal pertanian yang ada.

Pada tahun 1937 publikasi yang dikeluarkan oleh Ochse memperlihatkan ada hubungan yang kuat antara kualitas pekarangan dan status gizi rumah tangga. Penelitian sebelumnya bersama Terra di Kutowinangun, Kabupaten Purworejo, menunjukkan, sebesar 18 persen asupan kalori dan 14 persen asupan protein penduduk setempat berasal dari pekarangan.

Isi pekarangan juga bermacam-macam hewan dan tanaman. Ada penelitian yang menarik, secara umum ciri pekarangan di Jateng selalu ada tanaman obat. Hal ini terkait dengan kebiasaan orang Jawa yang suka minum jamu. Di Jawa Barat pekarangan dicirikan dengan tanaman sayuran karena orang Sunda suka dengan lalapan.

Ada juga yang meneliti pekarangan dari sisi antropologi. Penny dan Ginting (1984) menyebutkan, secara umum pekarangan diurus oleh perempuan sehingga pekarangan mudah didapat di daerah yang memiliki pola kekerabatan matriarkal di Jawa, Sumatera Barat, dan Aceh. Pekarangan sulit didapat di daerah dengan kekerabatan patriarkal seperti di Sumatera Utara, khususnya masyarakat Batak.

Komoditas pekarangan juga menjadi sarana sosialisasi dengan tetangga. Hasil dari pekarangan tidak sedikit dibagikan kepada tetangga sekitar. Meski demikian, pembagian ini ada juga yang mengandung unsur mistis terkait dengan menghilangkan bahaya atau mengobati penyakit.

Sejumlah penelitian yang dikutip oleh Otto Soemarwoto dan GR Conway itu memperlihatkan perubahan-perubahan stabilitas pekarangan pada masa tertentu. Pada kondisi produksi padi menurun atau terjadi paceklik, makanan pokok sekunder, seperti ubi, diambil dari pekarangan. Penjualan bambu dan kelapa yang dipanen dari pekarangan juga meningkat ketika terjadi paceklik. Pemanenan hasil pekarangan juga menunjukkan peningkatan menjelang Idul Fitri pada saat keluarga membutuhkan uang tunai.

Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Orde Baru mulai bergerak tahun 1969 dengan rencana pembangunan jangka panjang, terdapat sejumlah kelas menengah dan atas yang membutuhkan gizi yang baik. Ini dipenuhi petani dengan memproduksi komoditas-komoditas yang laku di pasar. Akibatnya, terjadi perubahan jenis komoditas yang ditanam di pekarangan secara drastis. Kecenderungan monokultur mengakibatkan masuknya berbagai penyakit. Akibatnya, bisa dilihat hingga sekarang, sejumlah sentra pertanian bertumbangan dan sulit untuk bangkit.

Sementara itu, Budisusila melihat pekarangan muncul ketika pasar dan negara (dan juga kerajaan pada masa lalu) tidak memikirkan pangan rakyat. Rakyat mampu secara mandiri memikirkan ketahanan pangan mereka.

”Pasar dan negara sudah terbukti sejak masa lalu hingga hari ini bukan institusi yang baik yang memikirkan ketahanan pangan rakyat. Rakyat mempunyai inisiatif sendiri yang serius melalui pekarangan,” katanya. Ia juga menyebutkan, pada masa penjajahan Belanda pekarangan mampu menjadi penopang kebutuhan pangan rakyat.

Ideologi kemandirian pangan sebenarnya sudah ada sejak lama di tingkat rakyat. Rakyat mempunyai otoritas untuk memperjuangkan kemandirian pangan, setidaknya melalui pekarangan. Dalam hal ini mestinya negara mendukung, tetapi ada ketidakrelaan negara kalau rakyat mempunyai inisiatif yang kuat sehingga tanpa disadari kemandirian itu terkikis. Di sisi lain ada kepentingan agar kemandirian dirusak karena kalau kemandirian itu kokoh, pelaku pasar alias kekuatan modal tak mampu menawarkan sesuatu kepada masyarakat (konsumen).

Di samping itu, Budisusila melihat pekarangan merupakan cermin kebudayaan rakyat dalam berolah pikir. Pekarangan disusun dengan teknik yang memikirkan aspek ketahanan pangan, ekonomi, artistik, dan mengantisipasi persoalan yang mungkin terjadi dalam jangka menengah dan jangka panjang.


Kompas, 1 September 2008. Ditulis oleh Andreas Maryoto


Selanjutnya ...

26 July 2008

Tuanku Rao


"Sepak terjang Harimau Nan Salapan juga dikenal di Daerah Tapanuli Selatan. Masyarakat Tapsel yang pada masa itu mayoritas masih menganut Pagan (semacam animisme), berhasil diislamkan oleh Pongkinangolngolan Sinambela yang bergelar Tuanku Rao, Hamonangan Harahap bergelar Tuanku Tambusai, Mansur Marpaung bergelar Tuanku Asahan, Jatenggar Siregar bergelar Tuanku Ali Sakti dan sejumlah pemuda lain yang belajar agama Islam serta taktik perang dengan Tuangku Nan Renceh di Kamang, Luhak Agam, Minangkabau. "

Disebut sebagai Harimau Nan Salapan karena jumlah anggotanya delapan orang, yaitu : Tuangku Nan Renceh, Tuangku Kubu Sanang, Tuangku Ladang Laweh, Tuangku Padang Lua, Tuangku Galuang, Tuangku Koto Ambalau, Tuangku Pamansingan dan Tuangku Haji Miskin.

Menurut DP Asral, seorang pengamat sejarah Minangkabau asal Bukittinggi, gelar tuangku mereka sandang bukan semata karena mereka paham dan mengerti serta mengamalkan ajaran Islam dengan baik. Tetapi lebih disebabkan mereka berani berjauang memimpin pasukan menyerang kaum penjajah. Artinya merekalah orang-orang terkemuka, atau disebut saja sarjana masa itu.

Kata Onggang Parlindungan dalam buku Tuangku Rao, Harimau Nan Salapan, juga dikenal sebagai Presedium Negara Darul Islam Minangkabau pada masanya. Tuangku Nan Renceh mereka tunjuk sebagai Ketua Presedium. Cita-cita Nan Renceh sangat besar. Dia ingin membebaskan Tanah Jawi (Nusantara) ini dari kegelapan Islam dan cengkraman penjajah.

Sebagai langkah awal, Kelompok Delapan ini membuka selimut hitam yang mengatapi Minangkabau. Masyarakat Minang yang pada masa itu terlena dengan kebiasaan bersuka ria, menikmati hidup dengan keramaian judi dan sabung ayam, menjadi sasaran utama untuk dibersihkan.

Sejarah mencatat, usaha pembersihan ini tidak semudah membalik telapak tangan. Sebab, kaum adat yang suka menikmati hidup duniawi, merasa kesenangannya terusik. Karena itu mereka pun mengadakan perlawanan terhadap gerakan kaum putih yang dipimpin Nan Renceh. Berkat ketegasan dan kematangan rencana dari kaum putih ini pula, akhirnya Ranah Minang bisa juga dikuasai kaum ulama.

Selanjutnya, perjuangan Harimau Nan Salapan menghasilkan perdamaian antara kaum adat dan kaum agama di Minangkabau pada tahun 1834. Perdamaian ini pula yang dikenal sebagai Kesepakatan Bukit Marapalam yang membuahkan istilah ABS-SBK (Adat Basandi Syarak – Syarak Basandi Kitabbullah).

Tuangku Nan Renceh sendiri tidak hadir dalam upaya perdamaian ini karena dia gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Bukittinggi, 1826.

Sepak terjang Harimau Nan Salapan juga dikenal di Daerah Tapanuli Selatan. Masyarakat Tapsel yang pada masa itu mayoritas masih menganut Pagan (semacam animisme), berhasil diislamkan oleh Pongkinangolngolan Sinambela yang bergelar Tuanku Rao, Hamonangan Harahap bergelar Tuanku Tambusai, Mansur Marpaung bergelar Tuanku Asahan, Jatenggar Siregar bergelar Tuanku Ali Sakti dan sejumlah pemuda lain yang belajar agama Islam serta taktik perang dengan Tuangku Nan Renceh di Kamang, Luhak Agam, Minangkabau.

Jika dicermati, apa yang dilakukan Tuangku Nan Renceh selama perjuangannya, sebagaimana sejarah juga mencatat, tentulah tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Trio Haji yang pulang dari Mekah di akhir abad ke 18. Mereka adalah Haji Piobang, Haji Sumanik dan Haji Miskin. Ketiga orang ini memiliki keahlian masing-masing dalam menanamkan paham wahabi di Ranah Minang.

Beberapa catatan menyebutkan, Piobang adalah seorang lulusan Universitas Al-Azhar yang sempat menjadi tentara Mesir kemudian bergabung dengan tentara Turki melawan Napoleon. Terakhir Piobang berpangkat kolonel. Haji Sumanik berpanglat mayor, dia kawan Piobang di Al-Azhar yang juga ikut melawan tentara Napoleon. Sedangkan Haji Miskin merupakan seorang berpengetahuan luas tentang Islam lama mengambara di Jazirah Arab.

Trio Haji inilah yang sejak kepualngan mereka ke kampung halaman, mendampingi Nan Renceh dalam berjuang menegakkan syariat Islam di Ranah Minang. Mereka pula yang membina angkatan perang, serta meletakkan fondasi perjuangan melawan kaum penjajah.

Tentara padri bentukan Haji Piobang, bukannya tentara kampungan. Tetapi sudah terstruktur rapi hingga ke desa (nagari-nagari). Kepala Nagari merupakan komandan tentara di pedesaan.

Beberapa litelatur mencatat, dalam menegakkan syariat Islam di Minangkabau masa itu, masing-masing Tuangku di daerah kekuasaannya menerapkan sistem lihat batu tapakan (batu yang menjadi injakan terakhir ketika naik ke atas rumah).

Apa bila dalam pemeriksaan di pagi hari batu ini tidak basah oleh air wuduk shalat subuh, maka orang yang ada di atas rumah itu dianggap tidak Islam. Eksekusi pun dijalankan di tempat. Hukumannya beragam, mulai dari cambukan sampai hukum pancung.

Untuk daerah Luhak Tanah Data, masa itu dikenal ketegasan Taungku Lintau (atau disebut juga Tuangku Alim Tahu). Beliau ini terkenal dengan parajuritnya yang sangat aktif memeriksa batu tapakan setiap pagi di setiap rumah-rumah penduduk. Derap langkah kaki kuda prajurit ini sangat di takuti oleh orang-orang pelanggar syariat agama.

Tapi, semua ini adalah cerita masa lalu. Kini hanya tinggal kenangan. Soal basah atau tidaknya batu tapakan di rumah-rumah penduduk menjelang sembahyang subuh, tidak ada lagi yang akan memeriksa dan mengingatkannya, keculai diri mereka masing-masing.

*A.S. Patimarajo

Sumber Lain: Mangaradja Onggang Parlindungan Siregar, “Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao, Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak”, Penerbit Tanjung Pengharapan, Jakarta, 1964.

Pongkinagolngolan lahir dari keluarga Dinasti SM Raja. Akibat konflik keluarga dan ganasnya kehidupan animisme saat itu, membuatnya menjadi korban, terdampar sebagai yatim piatu dan menjadi pengembara di berbagai daerah.

Ibu dari Pongkinangolngolan adalah Gana Sinambela, putri dari Singamangaraja IX sedangkan ayahnya adalah Pangeran Gindoporang Sinambela adik dari Singamangaraja IX. Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra-putra Singamangaraja VIII. Dengan demikian, Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Putri Gana Sinambela dengan Pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela.

Gana Sinambela sendiri adalah kakak dari Singamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan memanjakan keponakannya. Untuk memberikan nama marga, tidak mungkin diberikan marga Sinambela, karena ibunya bermarga Sinambela. Namun nama marga sangat penting bagi orang Batak, sehingga Singamangaraja X mencari jalan keluar untuk masalah ini. Singamangaraja X mempunyai adik perempuan lain, Putri Sere Sinambela, yang menikah dengan Jongga Simorangkir, seorang hulubalang. Dalam suatu upacara adat, secara pro forma Pongkinangolngolan “dijual” kepada Jongga Simorangkir, dan Pongkinangolngolan kini bermarga Simorangkir.

Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh 3 orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin oleh Datu Amantagor Manurung. Mereka meramalkan, bahwa Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh pamannya, Singamangaraja X. Oleh karena itu, Pongkinangolngolan harus dibunuh.

Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati atas keponakan yang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya, melainkan akan ditenggelamkan di Danau Toba. Dia diikat pada sebatang kayu dan badannya dibebani dengan batu-batu supaya tenggelam.

Di tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan terakhir, namun dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan satu kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaian Pongkinangolngola. Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datu, karena selain tertutup tubuhnya, juga tertutup tubuh Putri Gana Sinambela yang memeluk dan menangisi putra kesayangannya.

Tubuh Pongkonangolngolan yang terikat kayu dibawa dengan rakit ke tengah Danau dan kemudian di buang ke air. Setelah berhasil melepaskan batu-batu dari tubuhnya, dengan berpegangan pada kayu Pongkinangolngolan berhasil mencapai sungai Asahan, di mana kemudian di dekat Narumonda, ia ditolong oleh seorang nelayan, Lintong Marpaung.
Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena selalu kuatir suatu hari akan dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.

Sumber: http://bakkara.blogspot.com


Selanjutnya ...

RESENSI BUKU TUANKU RAO


RESENSI BUKU TUANKU RAO: “PRAHARA DI TANAH BATAK”
Judul Buku: Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab Hambali Di Tanah Batak.
Penulis: Mangaradja Onggang Parlindungan
Editor: Ahmad Fikri A.F.
Penerbit: LKiS, Jogjakarta
Cetakan I, Juni 2007
Isi buku: iv + 691 halaman-Hardcover
Harga: Rp 135.000
“Tak ada fakta, yang ada hanyalah tafsir,” begitu kata Nietzsche berkenaan dengan masalah kebenaran dan pengetahuan. Katakata itu tampaknya berlaku juga untuk sejarah, sebab sejarah erat kaitannya dengan serpihan-serpihan kebenaran dan pengetahuan, yang supaya bermakna perlu ditata dan ditafsir kembali. Karena itu, sejarah juga merupakan tafsir, dan sebuah tafsir bukanlah segumpal kebenaran mutlak. Ia baru merupakan upaya untuk mendekati kebenaran.
Buku Tuanku Rao karya M.O. Parlindungan ini merupakan salah satu upaya menggali dan menafsirkan kembali serpihan-serpihan pengalaman masa lalu itu, terutama yang terkait dengan Perang Paderi. Melalui buku ini, penulis mengajak kita mengunjungi kembali ke masa lalu Tanah Batak secara gamblang dengan berupaya memahami proses-proses yang terjadi di balik teror kekerasan penyebaran agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak pada 1816-1833.

Berbeda dengan sejarawan lain, penulis memilih untuk menuliskan sejarah Batak dengan gaya bertutur (story telling style), yang semula memang ditujukan kepada anak-anaknya. Di sinilah sesungguhnya letak daya tarik buku ini. Ia muncul orisinal karena fokusnya lebih diletakkan pada praktik penciptaan sejarah Batak itu sendiri ketimbang menjajarkan peristiwa-peristiwa kesejarahan naratif seperti praktik sejarawan konvensional selama ini.
Menurut penulis, setidaknya ada dua alasan mengapa penyerbuan ke Tanah Batak tersebut dilakukan dengan kekerasan. Selain menyebarkan Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, penyerbuan itu juga dipicu oleh dendam keturunan marga Siregar terhadap Raja Oloan Sorba Dibanua, dinasti Singamangaraja, yang pernah mengusirnya dari Tanah Batak. Togar Natigor Siregar, pemimpin marga Siregar, pun sampai mengucapkan sumpah yang diikuti seluruh marga Siregar, akan kembali ke Batak untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.
Agama Islam Mazhab Hambali yang masuk ke Mandailing dinamakan penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol, meski dipimpin orang-orang Batak sendiri, seperti Pongkinangolngolan Sinambela (Tuanku Rao), Idris Nasution (Tuanku Nelo), dan Jatengger Siregar (Tuanku Ali Sakti). Dalam silsilah yang terlampir di buku ini, disebutkan bahwa Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Gana Sinambela (putri Singamangaraja IX) dengan pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela (adik Singamangaraja IX). Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra Singamangaraja VIII, sedangkan Gana Sinambela adalah kakak Singamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan memanjakan keponakannya (hlm. 355).
Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh tiga orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin Datu Amantagor Manurung. Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati kepada keponakan yang disayanginya dengan menenggelamkandi Danau Toba. Tapi, bukannya mati tenggelam, Pongkinangolngolan terselamatkan arus hingga mencapai Sungai Asahan dan ditolong seorang nelayan bernama Lintong Marpaung. Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan pergi ke Minangkabau karena takut dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.
Di Minangkabau, pada 1804, Pongkinangolngolan diislamkan oleh Tuanku Nan Renceh, lalu dikirim ke Makkah dan Syria serta sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleri Janitsar Turki. Sekembalinya, pada 1815, Pongkinangolngolan diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan mendapat gelar Tuanku Rao.
Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah Batak. Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadan 1231 H (1816 M) terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan Marga Lubis. Muarasipongi berhasil diluluhlantakkan dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorang pun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukan guna penyebaran agama Islam Mazhab Hambali.
Setelah itu, penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara dilaksanakan 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang untuk memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding satu lawan satu. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26 generasi.
Penyerbuan pasukan Paderi terhenti pada 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak pada 1818, hanya tersisa sekitar 30.000orang. Sebagian terbesar bukan tewas di medan pertempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit. Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, pada 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengislaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Sementara itu, Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Akhirnya, Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air Bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo tewas dipenggal kepalanya, sedangkan tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.
Akhirnya, buku yang terbagi dalam tiga bagian besar dan berisi 34 lampiran ini jelas memiliki tempat khusus di dalam penulisan sejarah berdasarkan fakta dan representasi historiografi sebagai interpretasi yang tidak mutlak.
Penulis telah menunjukkan adanya kekuatan pada naskah tertulis dalam merekonstruksi visi sejarah Batak bagi perkembangan politik, sosial, dan budaya. Tak dapat disangkal, kontribusi utama buku ini terletak pada temuannya atas faktor lain di luar domain historiografi konvensional. Hal itu jelas akan berdampak luas dalam perdebatan mengenai historiografi Indonesia. (*)

Oleh: TASYRIQ HIFZHILLAH Peminat sejarah asal Probolinggo, bergiat di Lembaga Studi Pembebasan (LSP), Jogjakarta.
Sumber: Kiriman dari AHMAD ALI AFANDI (DI JAWA POS, MINGGU, 24 JUNI 2007)


Selanjutnya ...

11 July 2008

Negara Bangkrut Dibuat Lembaga Keuangan Internasional Rakyat Jadi Tumbal


Munculnya kecenderungan baru bahwa lembaga keungan dunia seperti IMF, World Bank, ADB, dan lembaga perdagangan internasional seperti WTO, AFTA dll. Yang menjadi perpanjangan tangannya kapitalisme internasional, telah mempermainkan moneter yang cenderung merusak bisnis fisik (non moneter), mengeksploitasi negara-negara berkembang yang fundamen ekonomi dan moneternya belum kuat, dan membuat beberapa negara di Asia terpuruk karena permainan moneter yang mereka lakukan.

Salah satu negara yang menanggung akibat terburuk dari permainan ini adalah Indonesia yang sampai kini (sudah 3 tahun lebih) belum dapat bangkit dari keterpurukannya. Ekonomi Indonesia yang dibangun oleh rezim Orde Baru ternyata hanya sebuah bangunan yang pondasinya keropos sehingga ketika terterpa badai bangunan tersebut roboh dan rata dengan tanah. Berbeda dengan negara tetangganya (Malaysia dan Singapura) yang sejak 2 tahun lalu sudah mulai merangkak bangkit kembali karena pondasi ekonomi yang dibangun cukup kuat sehingga ketika terterpa badai hanya atapnya saja yang terbang dan tidak memakan waktu yang lama dan tenaga yang banyak untuk memasang atap yang baru. Sedang Indonesia mesti mendirikan bangunan tersebut dari nol lagi.

Ketika masa krisis berteman akrab dengan negara-negara korban permainan moneter tersebut maka lembaga keuangan internasional dan lembaga perdagangan dunia tersebut mulai memasukkan agenda-agendanya untuk dipatuhi oleh negara-negara yang sedang jatuh, bahkan dalam bentuk kebijakan negara sekalipun, contohnya beberapa RUU sedang digodok di DPR RI dan bahkan ada yang sudah lahir menjadi produk UU karena desakan IMF, misalnya.

Longgena Ginting, seorang penggiat lingkungan dan pengamat ekonomi, dalam bulettin Akar mengatakan bahwan ada 5 akibat dari kehadiran IMF dan Bank Dunia di Indonesia;

1. Hancurnya perekonomian. IMF mulai interpensi di Indonesia saat bisnis minyak mengalamai kebangkrutan di tahun 1980. Beberapa paket IMF dari tahun ke tahun adalah untuk program penyesuaian struktur ekonomi pada bidang industri, tata niaga perdagangan, pertambangan dan kehutanan, otomotif dan tekstil. Akan tetapi di tingkat implementasi hal-hal yang disebut diatas tidak dilakukan malahan pinjaman digunakan untuk membangun lapangan golf, industri turis, perumahan mewah dan industri-industri berat yang tidak berhubungan dengan masyarakat banyak seperti IPTN. Akibatnya kas negara menjadi anjlok sehingga pembangunan IPTN harus meminjam dana reboisasi sebesar 3 juta dollar AS, tahun 1996.

2. Besarnya jumlah pengangguran. Sejak program penyesuaian yang dititipkan oleh paket IMF diimplementasikan, pengangguran semakin banyak akibat dari PHK perusahaan-perusahaan konstruksi secara besar-besaran karena berhentinya pembangunan/proyek-proyek fisik. Biro Pusat Statistik (BPS) memperkirakan sampai tengah tahu 1999 ada 39 juta orang korban PHK. Untuk mencegah terjadinya gejolak maka Bank Dunia dan Bappenas menyelenggarakan program Jaring Pengaman Sosial (JPS).

3. Tingginya pajak yang harus dibayar rakyat. Akibat kebangkrutan ekonomi tersebut rakyat dibebani pajak dan kutipan-kutipan restribusi dari segala sisi kehidupannya untuk menutupi operasional negara dan hutang.

4. Pendidikan hanya untuk kelas menengah. Program perbaikan struktur ekonomi ini berusaha mereformasi pendidikan publik, pemerintah melalui Depdiknas memberikan kapling-kapling pada modal asing untuk mengelola pendidikan, sehingga dimasa datang diperkirakan seorang mahasiswa harus membayar uang kuliahnya 5 juta rupiah pertahun.

5. Ketidak adilan. IMF akan mengorganisir perusahaan-perusaan untuk mengeluarkan jutaan dollar AS agar dapat menalangi hutang-hutang petinggi Indonesia dengan jaminan sumberdaya alan, menghapus subsidi kesehatan, pendidikan dan mempercayai modal asing untuk investasi di dunia perbankkan, media massa dan kebudayaan. Penghapusan subsidi sekarang sudah mulai dilakukan secara bertahap, seperti yang dilakukan pada bahan bakar minyak (BBM) dan Listrik.

Patuhnya negara-negara korban tersebut karena kondisi kas negara yang semakin sangat mengurus sehingga biaya operasional penyelenggaraan kegiatan negara harus menghutang kembali pada lembaga keuangan internasional tersebut, padahal uang yang dipinjamnya juga dapat dikatakan dari hasil eksploitasi (dalam berbagai bentuk, termasuk permainan moneter) negara yang kini meminjamnya kembali. Lihat saja pengemisan kita pada sidang CGI di Tokyo, Jepang.

Konon khabar para ahli ekonomi, pada tahun 2001 sampai 2009 adalah masa jatuh tempo hutang-hutang luar negeri Indonesia yangberjumlah lebih kurang 150 Milyar Dollar AS dan harus segera dibayar atau direscedulling. Disaat itu kita sedang galak-galaknya melakukan otonomi daerah. Ahirnya yang akan terjadi adalah daerah-daerah tingkat II akan menggenjot PAD yang sebesar-besarnya melalui pengutipan pajak dan restribusi daerah, sehingga apapun cara baik itu halal atau haram (hal-hal yang sifatnya destruktif bagi lingkungan, sosial maupun budaya) akan dilakukan oleh pemerintahan kabupaten & kota.

Bagi dunia usaha tentunya ini akan sangat merugikan karena lembaga keuangan/ pelaku-pelaku kapitalis melalui tangan-tangan lembaga keuangan internasioanal dan lembaga perdagangan dunia melakukan aksi beli saham dengan tekanan yang sistematis, dan konstitusional sifatnya (ikuti saja aksi pembelian saham PT. Bentoel 75% oleh Soros) dengan jargon globalisasi ekonomi dan penyerahan perdagangan pada pasar bebas, sehingga tidak ada lagi batas-batas State (negara). Hal ini pasti juga akan berimbas dan merugikan usaha kecil dan menengah tentunya.

Imperium bisnis Asia yang kepemilikan sahamnya dimiliki oleh ras Asia (kulit berwarna) perlu ekstra hati-hati karena perusahaan yang sexsi (prospeknya kedepan bagus) pasti akan dilirik dan dipelintir sedemikian rupa sehingga sahamnya dapat dimiliki oleh pelaku kapitalisme internasional tersebut.


Kebangkrutan & Otonomi

Bahwa dengan permainan yang sangat rumit dan membingungkan pelaku dan tokoh dalam lembaga keuangan internasional berhasil mengacak-acak keuangan dan perekonomian Indonesia dengan berbagai macam cara dan institusi jaringan mafia internasional yang rapi dan mereka menggunakan organisasi/lembaga keuangan internasional legal sebagai alat dalam permainan mereka untuk menghacurkan negara target seperti apa yang terjadi pada negara-negara Asia Tenggara, akan tetapi negara lain sudah menampakkan kebangkitannya dari keterpurukan sedang Indonesia yang disusul dengan kompleksitas multi krisis justru menampakkan kecenderungan kearah ancaman kebangkrutan, karena hutang sebanyak-banyaknya yang dibuat oleh pemerintahan Orde Baru (yang fundamental ekonominya ternyata sangat rapuh) harus dutanggung oleh pemerintahan selanjutnya, dimana pada tahun 2001 – 2009 (seperti yang diungkap diatas) adalah masa-masa jatuh tempo-nya hutang-hutang luar negeri. Dari mana kita akan membayarnya ? Menjadi suatu pertanyaan besar bagi kita semua.

Akan tetapi Otonomi akan menjadi senjata pamungkas atau alat yang sangat bagus untuk pemerintah berkilah dari kesalahan dan ketidakmampuan menyelesaikan lingkaran setan yang sangat kusut ini.

Penggenjotan PAD merupakan bentuk manifestasi yang sangat efektif untuk hal ini, khabarnya beberapa daerah di Jawa Timur telah menaikkan pajak bumi dan bangunan 5 sampai 7 kali lipat dan masing-masing daerah tingkat kabupaten dan kota sudah membuat banyak Perda untuk menterjemahkan UU No. 22 & 25 1999 tentang Otonomi daerah. Akan tetapi Perda-perda tersebut sebahagian besar adalah Perda untuk menggenjot PAD dengan bentuk pengutipan pajak dan restribusi daerah sebesar-besarnya.

Untuk membuktikan apakah benar asumsi diatas mari kita lihat Perda-perda yang dibuat beberapa Pemerintah Kabupaten dan kota yang ada di Sumatera Utara. DPRD Deli Serdang sudah engesyahkan 45 Perda yang diajukan oleh Pemkab Deli Serdang, dari 45 Perda yang sudah disyahkan tersebut 27 Perda adalah mengatur tentang bagaimana pajak dan restribusi daerah harus dikutip. Pada Pemkab. Langkat dari 59 Perda yang sudah disyahkan ada 19 Perda tentang pajak dan restribusi.

Rakyat (Pecundang yang Baik Hati)


Ironis sekali memang bahwa hutang negara yang implementasi penggunaannya untuk membangun negara dan rakyat terjadi kebocoran di sana sini dengan suatu system (tidak tertulis dalam lembaran negara, hanya dengan kesepakatan tau sama tau) yang dijalankan yang belakangan dinamai KKN (kolusi, korupsi & nepotisme) harus dibayar oleh rakyat yang dicekek lehernya untuk mengeluarkan pajak dan restribusi-restribusi dari banyak segi kehidupannya untuk pendapatan asli daearah (PAD), sebagai contoh ada daerah yang sudah merancang penerimaan restribusi dari kremasi (pembakaran jenazah bagi ummat Budha dan Hindu) dan akan bakal muncul Perda-perda yang aneh-aneh dan tidak dapat diterima akal bahwa hal tersebut harus dikenakan restribusi atau pajak, hal ini dilakukan hanya karena untuk mengenjot PAD sebesar-besarnya.

Daerah akan membangun wilayahnya sendiri sementara Jakarta konsentrasi mengumpulkan uang dari sector pertambangan minyak bumi (85 % pusat dan 15 % daerah), gas alam (70 % pusat dan 30 % daerah), perkebunan dll. Pendapatan daerah yang diambil oleh pusat untuk membayar hutang luar negeri dan operasional kegiatan negara. Ini bentuk lain bahwa rakyatlah yang membayar hutang-hutang negara dimana relatif rakyat sangat sedikit menggunakan atau menerima manfatnya dimasa lalu, ketika hutang tersebut dibuat.

Di sisi lain kita melihat hutang beberapa perusahaan besar yang kini namanya sedang nongkrong di BPPN dan sebagai obligornya, sekurang-kurangnya ada 144,5 triliun rupiah yang dikucurkan oleh BLBI untuk penyehatan perbankan yang konon khabarnya hal ini dilakukan untuk menghempang kepemilikan asing (agar perusahaan besar dan prospektif milik dalam negeri tidak dikuasai oleh perusahaan asing).

Begitu juga BUMN seperti PLN yang pada satu hal kita sebagai rakyat telah membayar secara proporsional bahkan cenderung relatif mahal untuk mengkonsumsi energi yang diproduksi oleh PLN berupa listrik tersebut, akan tetapi karena KKN dan manajemen yang tidak baik didalamnya PLN merugi, sehingga PLN berhutang 133,5 milyar Dollar AS (setara dengan 1,170 triliun rupiah, senilai 4 kali APBN) kembali rakyat –melalui pajak dan berbagai restribusi yang dipungut negara—harus menangung kerugian dan hutang tersebut. Yang lain juga tidak mahu kalah dalam ikut serta menghisap rakyat melalui berbagai macam cara. Kita lihat contohnya Pertamina melalui monopolinya dalam penjualan minyak dan gas (elpiji), yang paling ahir kita dengan adalah naiknya harga gas dengan persentase yang sangat besar hanya karena kesalahan dan kebobrokan manajemen di dalam Pertamina sendiri. Lagi-lagi mesti rakyat, dalam hal ini sebagai konsumen, yang harus menanggung deritanya.

Ancaman kebangkrutan Indonesia ini tidak direspon dengan baik oleg pemerintahan Gusdur yang katanya pemerintahan transisi ke zaman yang reformis, demokratis dan melangkah pada perwujutan masyarakat sipil. Para elit politik bukannya sibuk memikirkan permasalahan bangsa ini ditambah dengan permasalahan disintegrasi dan multi krisis akan tetapi mereka malah sibuk saling sikut dan saling alasan untuk memperebutkan singgasana politik dan kekuasaan.

Frustasi melihat konsisi inilah mungkin yang membuat Sahrir menyarankan revolusi sosial untuk memutihkan/menghapus semua hutang kita dari negara/lembaga keuangan internasional pemberi hutang dan memulai hidup dan ekonomi yang lebih baru dari nol kembali.

Memang jika para elit politik dan pemimpin bangsa tidak secepatnya melakukan tindakan agresif akan persoalan krisis multi dimensi yang kita hadapi ini bukan tidak mungkin apa yang dianjurkan sahrir akan terjadi. Karena saat ini saja telah kita lihat gejala pembangkangan sosial yang telah terjadi di masyarakat. Sudah mulai merosotnya solidaritas nasionalisme masyarakat, terbukti dengan ketidak perdulian masyarakat akan apapun yang terjadi dan sedang berlangsung pada negara ini. Menurunnya rasa keprihatinan tentang pertikaian antar daerah dan SARA yang terjadi. Minimnya uluran tangan dan bantuan masyarakat terhadap korban bencana alam.

Lalu apatisme ini telah meningkat pada gejala pembangkangan sosial dengan tanda-tanda kecil; tidak mengindahkan lagi lampu merah, dijalanan. Tidak perduli dan tidak mahu membayar pajak-pajak yang dikenakan dengan lasan yang salah kaprah, ini zaman reformasi – selain itu dinas pendapatan juga tidak kondusif untuk memfasilitasi pendaftar NPWP yang malah dimintai uang sogokan ada yang mencapai ratusan ribu rupiah - dan banyak contoh lain yang kecil-kecil yang telah mengindikasikan langkah awal pembangkangan sosial terjadi.

Iswan Kaputra, Pekerja Sosial pada BITRA Indonesia, Medan dan Ketua Forum Masyarakat Asal Labuhan Batu (FORMAL)

Selanjutnya ...

Bunga-Bunga Sandaran Hidup Rakyat Bangun Sari


“Jika kamu sulit mengatakan sesuatu kepada seseorang maka ungkapkanlah dengan bunga sebagai ungkapan. Bunga mawar merah adalah tanda cinta yang sedang menggelora.” Ungkapan klasik ini selalu kita dengar.

Untuk menuju sebuah kota yang metropolitan kota Medan kini sedang pesat membangun terutama dalam 2 hal, yakni pusat perbelanjaan dan taman kota yang dihiasi lampu-lampu dan berbagai macam be-bunga-an pada hampir seluruh sudut kota. Tapi tahukah kita dari mana bunga-bunga tersebut berasal ?

Jika kita melintas dari Medan menuju Lubuk Pakam di sekitar perbatasan antara kota Medan dengan kabupaten Deli Serdang pada jarak 14 KM dari pusat kota Medan di kanan kiri jalan kita akan melihat deretan penjual pohon bunga sepanjang lebih kurang 2 KM rentang jalan. Lebih seru lagi apabila kita masuk ke lorong gang di sisi kiri jalan, yakni gang Darmo, Madirsan dan Sumber yang terletak di desa Bangun Sari, kecamatan Tanjung Morawa kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. “Biasanya ibu-ibu jika datang ke sini langsung histeris, setelah itu selalu cekcok mulut dengan suaminya karena tidak mau pulang – karena tidak ingin meninggalkan tempat ini – saat mereka berbelanja atau sekedar melihat-lihat bunga” Kata Edianto Sihite (33) yang telah memulai usaha bunga sejak 10 Maret 1980 bersama dengan orang tuanya dengan nama usaha Hotma’s.

Begitulah animo masyarakat terhadap bunga sebagai lambang keindahan, kecintaan, ke-elokan warna-warni dll.

Pada 3 Gang tersebut terdapat lebih kurang 400 KK penduduk yang menggantungkan hidupnya dari budidaya dan menjual pohon bunga, dengan jumlah pekerja minimal 4 orang per-KK pengusaha bunga. Ribuan jenis dan spesies tumbuhan bunga dapat dibeli disini, antara lain bunga Rose/Mawar, Asoka, Ekorbia, Cemara, Cikloka, Palm, Tanjung, Akasia, Tripayung, Bambu hias, Batavia, Molina, Tricolor, Bougainville, Beringin, Melati, pakis, Sikas, Serut, Dll. Dengan harga yang sangat beragam pula, dari mulai yang harga seribu perak sampai seharga sepuluh juta rupiah. Harga tertinggi dipegang oleh Cemara Udang dan pohon Serut, yang sudah jadi (sudah berumur dan dibentuk sesuai dengan keindahan yang dikehendaki) harganya mencapai 10 juta rupiah.

Tidak hanya orang berjalan kaki yang datang untuk membeli bunga, orang yang bermobil mewah-pun berderet di pinggir jalan untuk memilih bunga yang paling disukai dan didiamkan, bahkan, menurut Edi, bunga dari sini juga dikirim ke Berastagi (yang dikenal sebagai kota asal bunga di Sumut), Kota Medan, Dumai, Rantau Perapat, Kota Pinang, Pekan Baru, Jambi, Batam, Padang, Aceh, dan dieksport ke Thailand, Singapura, Malaysia, Jepang dan China. “Setiap hari tidak kurang dari 2 truck bunga yang keluar dari sini, belum lagi orang yang ambil bunga dengan menggunakan mobil pick up.” Sambung Edi.

“Putaran uang per-harinya mencapai ratusan juta rupiah.” Sambut Wagiran, Sekretaris Desa Bangun Sari. Akan tetapi tidak ada data yang dimiliki oleh pemerintahan desa tentang jumlah detail berapa banyak tanaman hias bunga yang keluar dari desanya dan berapa jumlah uang yang yang masuk ke desanya tiap bulan. “Biasanya para pembeli atau pemesan kontrak pengerjaan taman datang langsung kepada para pengusaha bunga, sehingga kita tidak dapat mencatat berapa rata-rata keluar masuknya unit bunga dan jumlah uang.” Tambah Wagiran.

Untuk lokal Sumatera Utara permintaan dalam partai besar biasanya digunakan untuk taman hotel, plaza, rumah mewah, kantor instansi pemerintah, swasta dan yang paling besar pada 2 tahun terakhir ini adalah untuk taman kota Medan. Para pengusaha bunga di sini selain menyediakan berbagai macam jenis bunga juga memiliki keahlian desain taman yang sebagian kecil didapat dari pelatihan yang diselenggarakan pemerintah, sebagian besar belajar autodidact atau berbagi pengalaman antar pengusaha bunga. Budidaya bunga di desa ini dimulai oleh seseorang yang bermarga Sihombing pada tahun 1980-an.

“Tahun 90-an saya pernah dapat pelatihan 3 hari dari Dinas Pertanian kabupaten Deli Serdang dengan materi administrasi & pembukuan usaha, motivasi, teknis budidaya bunga yang meliputi cloning, pemupukan, penyambungan & penanggulangan hama, lalu materi pemasaran & cara menentukan harga.” Kata Anton Sihombing (40), yang telah menggeluti budidaya bunga sejak 1990-an dengan modal 25 juta rupiah yang ditabungnya dari bekerja sebagai staff perkebunan di Pekan Baru, sebelum dia terjun ke dunia bunga.

“Kami sangat berharap pada pemerintah agar jika ada tender untuk pengerjaan proyek taman yang besar-besar bisa terdistribusi dengan baik. Maksudnya kami pengusaha bunga yang kecil-kecil ini juga dapat borongan yang lumayan. Sekarang kami tidak pernah mendapatkan borongan proyek, hanya mengharapkan dari pembeli satuan untuk konsumsi hiasan rumah tangga.” Anton berharap sekalian mengeluh. “Pengerjaan proyek tersebut sangat membantu kami karena jika ada pengerjaan proyek taman harga pengerjaan dan penyediaan bunganya permeter mencapai Rp 150,000,-. Bayangkan jika saya dapat borongan taman kota sepanjang 1 kilometer?” Tambah Anton.

Macam-macam metode promosi yang digunakan, ada yang ikut serta dalam pameran-pameran bunga, baik di lokal Sumatera Utara maupun di tingkat nasional, ada pula yang telah mempulikasikan-nya lewat website.

“Tapi pada 3 minggu belakangan ini konsumen agak sepi, mungkin karena banyak uang masyarakat yang disumbangkan kepada Bencana Tsunami di Aceh, jadi sementara mereka tidak terfikir untuk beli bunga. Tapi kira-kira 2 tahun lagi jika rakyat Aceh mulai membangun pasti butuh bunga untuk taman rumahnya.” Tambah Edi sambil berkelakar.

Edi bersaudara ada 8 orang, 6 orang diantaranya telah menyelesaikan sarjananya pada perguruan tinggi di berbagai tempat di Indonesia, dan 2 orang saudaranya yang lain sedang menjalani kuliah. Sarjana ekonomi dari salah satu perguruan tinggi di Medan ini pernah merantau untuk bekerja sebagai staff Perkebunan di Bengkulu, namun selain alasan pendapatan, dia juga merasa bakatnya sejak duduk di bangku SMP, ada pada budidaya bunga. Sehingga ia terpanggil untuk pulang mengurus kebun bunga keluarganya, meskipun ia sempat membuka sebuah showroom sepeda motor di kota Medan, akan tetapi dia kembali pada bisnis bunga.

Tak pelak lagi, di sini usaha kecil juga memperlihatkan kebiasaannya. Usaha lain-pun muncul, yakni usaha pembuatan pot atau pas bunga yang terbuat dari semen dan terbuat dari tanah (semacam gerabah). “Ada lebih dari 30 industri rumahan pembuat pot bunga yang tumbuh di desa ini dengan pekerja minimal 6 orang setiap 1 industri rumahan dan beberapa diantaranya mendatangkan tenaga ahli dari Jawa Tengah.” Kata pak Wagiran.

Selain industri rumahan pot bunga juga muncul lebih dari 10 bengkel las pembuat rak pot dari baja bulat yang dibentuk bertingkat-tingkat untuk menyusun pot bunga. Bengkel las ini juga menyerap tenaga kerja 2 sampai 4 orang per-bengkelnya.


Siapa Produsen Bunga ?

Dari 3 gang yang disebut, jika kita mau masuk ke dalam lebih jauh lagi, masih di desa yang sama, terdapat lebih kurang 80 KK petani yang bisa disebut produsen bunga-bunga ini.

“Kamilah pemasok utama bunga-bunga yang dijual oleh para pedagang bunga yang ada di gang Darmo, Madirsan, Sumber dan pedagang yang ada di pinggir jalan Medan – Tanjung Morawa.” Kata Udin Saragih (32), sarjana ekonomi jebolan Universitas Sisingamangaraja (USI) XII, Medan.

Bersama istrinya, Udin mengelola 1,600 M tanah yang disewanya seharga Rp 200,000,- pertahun khusus untuk mengembangkan bunga mawar (rose). Di atas tanah ini Udin membangun 5 sungkup (rumah plastik – pengganti rumah kaca – yang berukuran, lebar 2 M panjang 7 M dan tinggi 1,5 M) yang mampu menampung 5,000 polybek (semacam palstik berdiameter 5 cm berisi tanah humus yang siap ditanami stek batang mawar).

Dengan tingkat kegagalan 10 %, dalam waktu 2 minggu batang mawar yang telah tumbuh sudah bisa dijual pada pedagang pengumpul dengan harga yang bervariasi tergantung jenis; Mawar Merah Medan dan Mawar Putih Rp 100/pohon, Mawar Baby dengan bunga kecil warna merah jambu Rp 175/pohon, Mawar Merah Hati (asal budidaya dari Bogor) Rp 225/pohon, Mawar Kuning Gading Rp 350/pohon, Mawar Malaysia (warna kuning, asal budidaya dari Malaysia) Rp 500/pohon, Mawar Holand dan Mawar Batik (warna-warni seperti batik) Rp 1000/pohon.

Biasanya mawar yang harganya tinggi selain karena asal budidayanya yang jauh juga karena tingkat kesulitan mengurusnya. “Jika musim hujan malah banyak mawar yang tidak tumbuh, sedangkan jika musim panas malah tumbuh bagus dan tingkat kegagalannya lebih rendah.” Kata Udin.

Meskipun di tingkat produsen harga begitu murah namun jangan heran jika kita ingin membelinya di pinggir jalan Medan – Tanjung Morawa harganya bisa naik 10 kali lipat, bahkan mawar Holand dan Batik harganya bisa mencapai Rp 25,000,- sampai 35,000,-. Hal ini dikarenakan tempat para produsen ini sangat tersembunyi, ditutupi oleh perkebunan kelapa sawit dan terpisah oleh lembah yang digunakan petani untuk bertanam padi, sampai-sampai orang disekitar kota Medan jarang yang mengetahuinya.

Meskipun demikian, dari 5 sungkup yang udin punya setiap rotasi 2 minggu ia dapat menghasilkan Rp 5,625,000,- dengan pengeluaran modal, diluar tenaga, lebih kurang Rp 500,000,- yang terdiri dari; upah pengisian polybek Rp 8,-/satuan, pupuk, vitamin, penyegar dan anti hama.

Iswan Kaputra
Pekerja Sosial pada BITRA Indonesia, Medan &
Ketua Umum Forum Masyarakat Labuhan Batu (FORMAL).


Selanjutnya ...