11 July 2008

Bunga-Bunga Sandaran Hidup Rakyat Bangun Sari


“Jika kamu sulit mengatakan sesuatu kepada seseorang maka ungkapkanlah dengan bunga sebagai ungkapan. Bunga mawar merah adalah tanda cinta yang sedang menggelora.” Ungkapan klasik ini selalu kita dengar.

Untuk menuju sebuah kota yang metropolitan kota Medan kini sedang pesat membangun terutama dalam 2 hal, yakni pusat perbelanjaan dan taman kota yang dihiasi lampu-lampu dan berbagai macam be-bunga-an pada hampir seluruh sudut kota. Tapi tahukah kita dari mana bunga-bunga tersebut berasal ?

Jika kita melintas dari Medan menuju Lubuk Pakam di sekitar perbatasan antara kota Medan dengan kabupaten Deli Serdang pada jarak 14 KM dari pusat kota Medan di kanan kiri jalan kita akan melihat deretan penjual pohon bunga sepanjang lebih kurang 2 KM rentang jalan. Lebih seru lagi apabila kita masuk ke lorong gang di sisi kiri jalan, yakni gang Darmo, Madirsan dan Sumber yang terletak di desa Bangun Sari, kecamatan Tanjung Morawa kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. “Biasanya ibu-ibu jika datang ke sini langsung histeris, setelah itu selalu cekcok mulut dengan suaminya karena tidak mau pulang – karena tidak ingin meninggalkan tempat ini – saat mereka berbelanja atau sekedar melihat-lihat bunga” Kata Edianto Sihite (33) yang telah memulai usaha bunga sejak 10 Maret 1980 bersama dengan orang tuanya dengan nama usaha Hotma’s.

Begitulah animo masyarakat terhadap bunga sebagai lambang keindahan, kecintaan, ke-elokan warna-warni dll.

Pada 3 Gang tersebut terdapat lebih kurang 400 KK penduduk yang menggantungkan hidupnya dari budidaya dan menjual pohon bunga, dengan jumlah pekerja minimal 4 orang per-KK pengusaha bunga. Ribuan jenis dan spesies tumbuhan bunga dapat dibeli disini, antara lain bunga Rose/Mawar, Asoka, Ekorbia, Cemara, Cikloka, Palm, Tanjung, Akasia, Tripayung, Bambu hias, Batavia, Molina, Tricolor, Bougainville, Beringin, Melati, pakis, Sikas, Serut, Dll. Dengan harga yang sangat beragam pula, dari mulai yang harga seribu perak sampai seharga sepuluh juta rupiah. Harga tertinggi dipegang oleh Cemara Udang dan pohon Serut, yang sudah jadi (sudah berumur dan dibentuk sesuai dengan keindahan yang dikehendaki) harganya mencapai 10 juta rupiah.

Tidak hanya orang berjalan kaki yang datang untuk membeli bunga, orang yang bermobil mewah-pun berderet di pinggir jalan untuk memilih bunga yang paling disukai dan didiamkan, bahkan, menurut Edi, bunga dari sini juga dikirim ke Berastagi (yang dikenal sebagai kota asal bunga di Sumut), Kota Medan, Dumai, Rantau Perapat, Kota Pinang, Pekan Baru, Jambi, Batam, Padang, Aceh, dan dieksport ke Thailand, Singapura, Malaysia, Jepang dan China. “Setiap hari tidak kurang dari 2 truck bunga yang keluar dari sini, belum lagi orang yang ambil bunga dengan menggunakan mobil pick up.” Sambung Edi.

“Putaran uang per-harinya mencapai ratusan juta rupiah.” Sambut Wagiran, Sekretaris Desa Bangun Sari. Akan tetapi tidak ada data yang dimiliki oleh pemerintahan desa tentang jumlah detail berapa banyak tanaman hias bunga yang keluar dari desanya dan berapa jumlah uang yang yang masuk ke desanya tiap bulan. “Biasanya para pembeli atau pemesan kontrak pengerjaan taman datang langsung kepada para pengusaha bunga, sehingga kita tidak dapat mencatat berapa rata-rata keluar masuknya unit bunga dan jumlah uang.” Tambah Wagiran.

Untuk lokal Sumatera Utara permintaan dalam partai besar biasanya digunakan untuk taman hotel, plaza, rumah mewah, kantor instansi pemerintah, swasta dan yang paling besar pada 2 tahun terakhir ini adalah untuk taman kota Medan. Para pengusaha bunga di sini selain menyediakan berbagai macam jenis bunga juga memiliki keahlian desain taman yang sebagian kecil didapat dari pelatihan yang diselenggarakan pemerintah, sebagian besar belajar autodidact atau berbagi pengalaman antar pengusaha bunga. Budidaya bunga di desa ini dimulai oleh seseorang yang bermarga Sihombing pada tahun 1980-an.

“Tahun 90-an saya pernah dapat pelatihan 3 hari dari Dinas Pertanian kabupaten Deli Serdang dengan materi administrasi & pembukuan usaha, motivasi, teknis budidaya bunga yang meliputi cloning, pemupukan, penyambungan & penanggulangan hama, lalu materi pemasaran & cara menentukan harga.” Kata Anton Sihombing (40), yang telah menggeluti budidaya bunga sejak 1990-an dengan modal 25 juta rupiah yang ditabungnya dari bekerja sebagai staff perkebunan di Pekan Baru, sebelum dia terjun ke dunia bunga.

“Kami sangat berharap pada pemerintah agar jika ada tender untuk pengerjaan proyek taman yang besar-besar bisa terdistribusi dengan baik. Maksudnya kami pengusaha bunga yang kecil-kecil ini juga dapat borongan yang lumayan. Sekarang kami tidak pernah mendapatkan borongan proyek, hanya mengharapkan dari pembeli satuan untuk konsumsi hiasan rumah tangga.” Anton berharap sekalian mengeluh. “Pengerjaan proyek tersebut sangat membantu kami karena jika ada pengerjaan proyek taman harga pengerjaan dan penyediaan bunganya permeter mencapai Rp 150,000,-. Bayangkan jika saya dapat borongan taman kota sepanjang 1 kilometer?” Tambah Anton.

Macam-macam metode promosi yang digunakan, ada yang ikut serta dalam pameran-pameran bunga, baik di lokal Sumatera Utara maupun di tingkat nasional, ada pula yang telah mempulikasikan-nya lewat website.

“Tapi pada 3 minggu belakangan ini konsumen agak sepi, mungkin karena banyak uang masyarakat yang disumbangkan kepada Bencana Tsunami di Aceh, jadi sementara mereka tidak terfikir untuk beli bunga. Tapi kira-kira 2 tahun lagi jika rakyat Aceh mulai membangun pasti butuh bunga untuk taman rumahnya.” Tambah Edi sambil berkelakar.

Edi bersaudara ada 8 orang, 6 orang diantaranya telah menyelesaikan sarjananya pada perguruan tinggi di berbagai tempat di Indonesia, dan 2 orang saudaranya yang lain sedang menjalani kuliah. Sarjana ekonomi dari salah satu perguruan tinggi di Medan ini pernah merantau untuk bekerja sebagai staff Perkebunan di Bengkulu, namun selain alasan pendapatan, dia juga merasa bakatnya sejak duduk di bangku SMP, ada pada budidaya bunga. Sehingga ia terpanggil untuk pulang mengurus kebun bunga keluarganya, meskipun ia sempat membuka sebuah showroom sepeda motor di kota Medan, akan tetapi dia kembali pada bisnis bunga.

Tak pelak lagi, di sini usaha kecil juga memperlihatkan kebiasaannya. Usaha lain-pun muncul, yakni usaha pembuatan pot atau pas bunga yang terbuat dari semen dan terbuat dari tanah (semacam gerabah). “Ada lebih dari 30 industri rumahan pembuat pot bunga yang tumbuh di desa ini dengan pekerja minimal 6 orang setiap 1 industri rumahan dan beberapa diantaranya mendatangkan tenaga ahli dari Jawa Tengah.” Kata pak Wagiran.

Selain industri rumahan pot bunga juga muncul lebih dari 10 bengkel las pembuat rak pot dari baja bulat yang dibentuk bertingkat-tingkat untuk menyusun pot bunga. Bengkel las ini juga menyerap tenaga kerja 2 sampai 4 orang per-bengkelnya.


Siapa Produsen Bunga ?

Dari 3 gang yang disebut, jika kita mau masuk ke dalam lebih jauh lagi, masih di desa yang sama, terdapat lebih kurang 80 KK petani yang bisa disebut produsen bunga-bunga ini.

“Kamilah pemasok utama bunga-bunga yang dijual oleh para pedagang bunga yang ada di gang Darmo, Madirsan, Sumber dan pedagang yang ada di pinggir jalan Medan – Tanjung Morawa.” Kata Udin Saragih (32), sarjana ekonomi jebolan Universitas Sisingamangaraja (USI) XII, Medan.

Bersama istrinya, Udin mengelola 1,600 M tanah yang disewanya seharga Rp 200,000,- pertahun khusus untuk mengembangkan bunga mawar (rose). Di atas tanah ini Udin membangun 5 sungkup (rumah plastik – pengganti rumah kaca – yang berukuran, lebar 2 M panjang 7 M dan tinggi 1,5 M) yang mampu menampung 5,000 polybek (semacam palstik berdiameter 5 cm berisi tanah humus yang siap ditanami stek batang mawar).

Dengan tingkat kegagalan 10 %, dalam waktu 2 minggu batang mawar yang telah tumbuh sudah bisa dijual pada pedagang pengumpul dengan harga yang bervariasi tergantung jenis; Mawar Merah Medan dan Mawar Putih Rp 100/pohon, Mawar Baby dengan bunga kecil warna merah jambu Rp 175/pohon, Mawar Merah Hati (asal budidaya dari Bogor) Rp 225/pohon, Mawar Kuning Gading Rp 350/pohon, Mawar Malaysia (warna kuning, asal budidaya dari Malaysia) Rp 500/pohon, Mawar Holand dan Mawar Batik (warna-warni seperti batik) Rp 1000/pohon.

Biasanya mawar yang harganya tinggi selain karena asal budidayanya yang jauh juga karena tingkat kesulitan mengurusnya. “Jika musim hujan malah banyak mawar yang tidak tumbuh, sedangkan jika musim panas malah tumbuh bagus dan tingkat kegagalannya lebih rendah.” Kata Udin.

Meskipun di tingkat produsen harga begitu murah namun jangan heran jika kita ingin membelinya di pinggir jalan Medan – Tanjung Morawa harganya bisa naik 10 kali lipat, bahkan mawar Holand dan Batik harganya bisa mencapai Rp 25,000,- sampai 35,000,-. Hal ini dikarenakan tempat para produsen ini sangat tersembunyi, ditutupi oleh perkebunan kelapa sawit dan terpisah oleh lembah yang digunakan petani untuk bertanam padi, sampai-sampai orang disekitar kota Medan jarang yang mengetahuinya.

Meskipun demikian, dari 5 sungkup yang udin punya setiap rotasi 2 minggu ia dapat menghasilkan Rp 5,625,000,- dengan pengeluaran modal, diluar tenaga, lebih kurang Rp 500,000,- yang terdiri dari; upah pengisian polybek Rp 8,-/satuan, pupuk, vitamin, penyegar dan anti hama.

Iswan Kaputra
Pekerja Sosial pada BITRA Indonesia, Medan &
Ketua Umum Forum Masyarakat Labuhan Batu (FORMAL).


2 comments:

  1. Dengan tanaman berarti kita berpartisipasi dalam mencegah terjadinya krisis global warming yang tengah melanda dunia saat ini.. krisis ini menjadi tanggung jawab bagi kita semua, mari kita galakkan reboisasi kembali demi kelangsungan hidup dan bekal untuk anak cucu kita nanti

    ReplyDelete
  2. Betul saudaraku. Aku setuju sekali pendapatmu itu.

    ReplyDelete

Terimakasih telah mengisi komentar untuk kemajuan blog ini.