10 July 2008

Jurus Ampuh Mengatasi Kelaparan


Thema pada peringatan hari HAM se-dunia pada 10 Desember 2006 hingga 10 Desember 2007 yang akan datang adalah ”Perangi Kemiskinan”. Jauh sebelum itu di internasional telah dibahas dalam berbagai konferensi tingkat tinggi dunia mengenai pengurangan kemiskinan. Hingga pada KTT Pangan Dunia PBB (World Food Summit) tahun 2002 di Roma, meyakini bahwa pencapaian tujuan pembangunan milenium (Millennium Development Goals), untuk mengurangi separuh dari penduduk miskin dunia pada tahun 2015 tidak akan tercapai.

Indikasi utama kemiskinan dapat terkurangi adalah terbebasnya penduduk bumi dari kelaparan atau ketersediaan pangan sehat dan bergizi yang memadai. Lebih dari 800 juta manusia saat ini kekurangan pangan dan lebih dari 1 milyar orang hidup dengan penghasilan kurang dari 1 Dollar sehari.

Di Indonesia, menjelang akhir tahun 2006 hingga awal Februari 2007, berita mengenai kekurangan pangan dan kenaikan harga beras – sebagai makanan pokok yang mengakibatkan rakyat miskin tidak dapat membelinya – sampai harus makan nasi aking (nasi sisa yang dikeringkan untuk dimasak kembali), seolah terkubur oleh santernya berita mengenai bencana alam dan kecelakaan. Padahal ancaman kelaparan juga menjadi salah satu faktor utama kematian yang tidak kalah penting dengan bencana, seperti busung lapar yang terjadi NTB awal 2006 lalu, padahal daerah ini termasuk daerah utama penghasil pangan (lumbung beras) di Indonesia.


Hak Atas Pangan

Hak atas pangan sejak lama dideklarasikan sebagai hak asasi manusia (HAM) melalui berbagai perjanjian internasional. Di antaranya; Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia (DUHAM) atau UDHR, 1948, berbunyi “Everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family, including food ...” Article 25 (1)

Pembukaan Konstitusi FAO, Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya (ECOSOC Right) atau ICESCR, 1966, bunyinya “The States Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to an adequate standard of living ... including adequate food ...” and agree to take appropriate steps to realize this right. Article 11 (1) Dan RDWFS, 1996, bunyinya “We, the Heads of State and Government ... reaffirm the right of everyone to have access to safe and nutritious food, consistent with the right to adequate food and the fundamental right of everyone to be free from hunger.” Semua kesepakatan internasional tersebut intinya menjamin bahwa setiap orang berhak mendapatkan pangan yang layak dan sehat.

Kesepakatan-kesepakatan internasional tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia terutama ICESCR (ECOSOC Right) yang menjadi landasan utama terpenuhinya hak pangan, karena di dalamnya ada right to food. Namun apa yang terjadi? Kelihatannya ratifikasi tinggal ratifikasi sebagai monumental yang tercatat diatas lembaran internasional saja. Kenyataan di lapangan sangat jauh tertinggal dari niat baik kesepakatan yang ditanda-tangani di tingkat internasional tersebut. Bisa jadi hal tersebut dijadikan pemanis agar Indonesia dianggap telah menghormati hak asasi manusia di mata dunia dengan meratifikasi berbagai konvenan HAM yang dideklarasikan, karena ini akan menguntungkan dan menjadi syarat ketika Indonesia melakukan peran negosiasi-negoisasi tingkat internasional dalam berbagai kepentingan.

Kondisi belum diterapkannya berbagai konvenan HAM di Indonesia meskipun sudah diratifikasi dapat dibuktikan dengan masih carut-marutnya kondisi ketahanan pangan di Indonesia. Masih sangat sering kita dengan dalam berbagai pemberitaan media massa bahwa masyarakat tidak terpebuhi keputuhan paling dasarnya, yaitu makanan.

Ratifikasi konvenan-konvenan internasional HAM di Indonesia diterjemahkan dalam peraturan perundang-undangan; UU No 7, tahun 1996, Tentang Pangan, bunyinya “Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.” (Pasal 1 angka 17). Dibentuknya Dewan Ketahanan Pangan Nasional dengan Kepres No. 132 pada tahun 2001 dan diterbitkannya PP No. 68, Tahun 2002, tentang Ketahanan Pangan, bunyinya “Untuk mewujudkan ketahanan pangan dilakukan perumusan kebijakan, evaluasi dan pengendalian ketahanan pangan” (Pasal 17).

Setiap bentuk HAM selalu diiringi dengan kewajiban atau tanggung jawab negara dalam tiga level, yaitu untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhinya (to fulfill). Demikian juga dengan hak atas pangan. Itu artinya ketika suatu negara telah meratifikasi konvenan HAM yang dideklarasikan di internasional maka pemerintahan suatu negara tersebut wajib memenuhi apa yang dimaksudkan dalam diktum-diktum internasional tersebut yang dimaksudkan untuk melindungi dan mengamankan kondisi manusia untuk terlindungi hak dasarnya atau hak asasinya.

Meskipun telah begitu banyak kesepakatan di tingkat internasional maupun nasional yang mengatur tentang hal ini, namun hak atas pangan terus-menerus disangkal keberadaannya oleh berbagai pihak yang merasa dirugikan oleh keberadaan kesepakatan dan peraturan tersebut, terutama perusahaan multinasional seperti trans national corporations dan multi national corporation (TNCs/MNCs) melalui berbagai konferensi dan forum-forum internasional. Lebih memprihatinkan lagi, pangan saat ini lebih dianggap sebagai komoditas perdagangan semata, bukan dianggap sebagai komoditas sosial sebagai syarat utama penopang hidup manusia. Begitu juga objek atau komoditas sosial yang menjadi pendukung utama tersedianya bahan baku pangan, yaitu tanah, dimana semua makanan nabati berasal tumbuhan yang ditanam pada tanah yang subur. Objek sosial tanah ini juga sedang disetir oleh kaum perancang perdagangan global agar tanah bisa dijadikan objek dagangan internasional, untuk itu kita wajib bertanya-tanya program sertifikasi tanah biaya murah dengan program Prona yang dibiayai oleh Bank Dunia. Meskipun program ini sangat membantu bagi kalangan miskin yang tidak mampu menyertifikasi tanahnya, namun disisi lain semakin bersertifikat tanah kita makan semakin gampang pula kita menjualnya.

Menjual tanah yang dimaksud diatas bukan hanya arti harfiah menjual saja, akan tetapi banyak aspek yang disebut menjual, bisa mengagunkan surat tanah kita ke bank sebagai jaminan ketika kita meminjam uang di bank, lalu ketika kita tidak mampu membayarnya tanah akan disita. Dari asumsi tersebut juga akhirnya kita wajib bertanya-tanya mengapa rakyat miskin juga kini dipaksa memiliki kartu kredit? Satu sisi memang ada kewajiban bank asing untuk mengucurkan kredit pada masyarakat, namun yang dimaksud kewajiban yang diatur oleh negara tersebut adalah untuk usaha kecil mikro, bukan untuk konsumtif.

Tarik-menarik pada perundingan perdagangan internasional yang dikomandoi oleh World Trade Organization (WTO) mengenai kesepakatan bidang pertanian (Agrement on Agriculture – AoA) dan hak ke-pemilikan intelektual terkait perdagangan (TRIPs) banyak ditentang oleh kalangan masyarakat sipil internasional, karena akan memperkuat kontrol TNCs/MNCs dan menjauhkan petani dan nelayan atas kedaulatan mereka terhadap sumberdaya genetik.

Betapa tercuranginya nasib petani negara berkembang dan negara miskin karena tidak mendapat subsidi biaya produksi pertanian, tidak mendapat perlindungan dari negara, tidak mendapat perhatian utama dan keberpihakan dari kebijakan-kebijakan negara yang dilahirkan. Disisi lain, pasar negara-negara maju juga tidak mendukung untuk produk pertanian negara berkembang dan negara miskin masuk menjadi komoditas yang ikut meramaikan pasar mereka karena proteksi dari negaranya yang tidak mengijinkan masuk dengan alasan mutu, kualitas dan keberlanjutan kuantitas. Padahal produk pertanian negara maju kini sangat membanjiri pasar negara berkembang dan miskin. Lebih ironis lagi negara-negara maju yang tidak mengkonsumsi beras kini mereka memproduksi beras dan surplus, hanya untuk kepentingan perdagangan yang bermuara pada keuntungan semata. Petaninya juga mendapat subsidi dan insentif-insentif yang berlebihan dari negaranya. Ini yang ditentang oleh organisasi petani dan masyarakat sipil dunia untuk mengeluarkan urusan pertanian dari agenda WTO dan akhirnya WTO gagal untuk menyepakati aturan internasional bidang pertanian (AoA) meskipun sudah dibicarakan sejak lebih 5 tahun lalu, sejak putaran Doha.


Faktor Penyebab

Penyebab substansial kekurangan pangan terjadi karena; 1). Ketersediaan lahan bagi petani yang terus-menerus semakin menyempit karena konversi lahan pertanian ke lahan perkebunan besar, pembangunan perluasan kota, pemukiman dan perampasan lahan pada masa lampau. 2). Regenerasi petani, profesi petani bukan lagi suatu hal yang mulia dan membanggakan karena dapat memberi pangan banyak orang, akan tetapi petani dianggap sebagai profesi yang kotor belepotan lumpur dan tidak menjajikan untuk menjadi sejahtera, apalagi kaya. 3). Penyeragaman pangan pokok, padahal dahulu kala, secara tradisional Indonesia mengenal berbagai jenis pangan pokok, seperti salah satu daerah di Sulawesi makan sagu, salah satu daerah di Jawa makan garut dan salah satu daerah di Papua makan umbi-umbian. 4). Hancurnya kearifan lokal sistem pangan tradisional, seperti lumbung desa yang pernah eksis pada masa lalu, di berbagai belahan wilayah Indonesia. 5). Kebijakan yang tidak berpihak pada petani. 6). Proteksi dan subsidi pertanian bukan jadi prioritas utama pemerintah Indonesia, sebagai negara agraris. 7). Harga alat dan bahan sarana produksi yang tidak seimbang dengan nilai jual produk pertanian.


Jurus Ampuh dalam Jangka Panjang

Langkah-langkah yang perlu dilakukan bersama, (tentunya) terutama pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan adalah; 1). Segera dilakukan reforma agraria, seperti yang telah direncanakan pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan me-redistrbusi 8,15 juta hektar lahan, dengan syarat tidak lagi membabat hutan yang telah sangat menipis. 2). Pencitraan yang baik terhadap profesi petani melalui berbagai macam kampanye media dan pendidikan–pendidikan formal maupun non formal. 3). Menghidupkan kembali keberagaman makanan pokok untuk etnis/daerah yang punya histori makanan pokok non beras. 4). Menghidupkan kembali sistem kedaulatan pangan tradisional seperti lumbung beras desa. 5). Ciptakan kebijakan yang berpihak pada petani dan revisi kenijakan-kebijakan yang tidak berpihak. 6). Lakukan pengutamaan proteksi dan subsidi pada bidang pertanian, khususnya pada tanaman pangan. 7). Lakukan perdagangan yang adil dengan menyeimbangkan harga sarana produksi dengan harga produksi pertanian dengan tetap menjaga rentang margin, atau harus ada keuntungan yang cukup memadai diperoleh petani.

Tentunya hal di atas dilakukan secara bertahap dan akan memakan waktu yang cukup panjang. Akan tetapi jika diterapkan dengan konsisten, niscaya kelaparan akan dapat diatasi.

Iswan Kaputra
Deputi Direktur BITRA Indonesia
Anggota Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Nasional


No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah mengisi komentar untuk kemajuan blog ini.