10 July 2008

Masyarakat Adat & Konservasi SDA


Pada tahun 1993, sejumlah orang yang terdiri dari akademisi, peneliti masyarakat adat & tokoh masyarakat adat dan organisasi non pemerintah (Ornop) yang konsern dan aktif pada pembelaan hak-hak masyarakat adat membentuk sebuah wadah Jaringan Pembela Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA). Dalam pertemuan dan pembentukan JAPHAMA para peserta bersepakat menyematkan istilah masyarakat adat sebagai pengganti sebutan bagi kelompok masyarakat adat yang ada dan eksis di seluruh persada Indonesia, terutama mereka yang hidup di pedalaman dan pelosok tanah air dengan pola hidup dari belas kasih alam (sub sistem).

Sebelum disatukan dalam satu kesepakatan istilah sebutan masyarakat adat berbagai pihak di tanah air menyebut eksistensi mereka sebagai masyarakat terasing, suku terpencil, masyarakat hukum adat, orang asli, peladang berpindah, peladang liar dan pemerintahan Orde Baru lebih ekstrim lagi, terkadang menyebut mereka sebagai sebagai ”penghambat pembangunan”. Untuk sebutan yang diberikan Orde Baru ini ada alasan tersendiri, untuk memuluskan perampasan sumber daya alam (SDA) yang dilakukan oleh pihak suasta asing, suasta nasional maupun oknum pejabat tertentu untuk memuluskan berbagai bisnisnya dan ”bisnis hitam”, pada saat itu terutama tambang, illegal logging dan perkebunan besar. Sedangkan masyarakat adat sendiri dan komunitas masyarakat disekitarnya menggunakan istilah penyebutan masyarakat adat berdasarkan asal suku mereka masing-masing.

Organisasi terbesar masyarakat adat yang ada di Indonesia saat ini adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). AMAN melakukan konres pertama pada bulan Maret 1999, mengambil tempat di Jakarta. Terbentuk kesepakatan pada kongres AMAN ini bahwa masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri.

Pada negara-negara lain banyak istilah yang digunakan untuk menyebutkan istilah masyarakat adat ini, misalnya ”first peoples” di kalangan antropolog dan pembela hak-hak masyarakat adat, ”first nation” di Amerika Serikat dan Kanada, ”indigenous cultural communities” di Filipina, ”bangsa asal” dan ”orang asli” di Malaysia. Pada tingkat badan dunia, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) disepakati penggunaan istilah ”indigenous peoples” sebagaimana tertuang dalam seluruh dokumen yang membahas salah satu rancangan deklarasi PBB, yaitu draft of the UN Declaration on the Rights of the Indigenous Peoples.

Maka yang menjadi landasan konstitusi bergeraknya organisasi masyarakat adat ini adalah hak-hak dari indigenous peoples yang berlaku secara universal, di tingkat internasional dan pada tingkat konstitusi nasional dengan dicabutnya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, kemudian diganti dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang lalu diperbaharui dengan UU No 32 tentang Pemerintahan Daerah tahun 2004, dimana di dalamnya memberikan ruang bagi exercise otonomi-otonomi asli. Sifat otonomi asli komunitas-komunitas masyarakat adat adalah menjaga kelangsungan ruang hidup komunitas.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah dirumuskan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat 5). Jelas bahwa otonomi di sini diletakkan sebagai sebuah kondisi yang diberikan oleh Negara kepada sebuah Daerah Otonom. Mengenai daerah otonom, UU yang sama menyebutkan: Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 ayat 6).

Realitas sosial terbentuknya sebuah komunitas masyarakat adat menunjukkan bahwa terbentuknya teritori masyarakat adat adalah konsekuensi lanjutan dari terbentuknya komunitas. Artinya adanya masyarakat hukum yang kemudian membentuk batas-batas wilayah hukum berasal mula dari eksisnya sebuah komunitas sosial sebelumnya yang dalam kekinian disebut sebagai masyarakat adat.

Aspek terpenting yang harus diketahui dan disadari oleh pihak-pihak yang ingin memahami permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat adalah kenyataan tentang keragaman mereka. Keragaman ini dapat dilihat dari segi budaya, agama dan atau kepercayaan, serta organisasi ekonomi dan sosial.

Di Indonesia, kita seharusnya merasa beruntung dengan adanya masyarakat-masyarakat adat yang barangkali berjumlah ribuan kelompok. Keberadaan mereka merupakan suatu kekayaan bangsa karena artinya ada lebih dari seribu ragam ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan. Ada lebih dari seribu bahasa yang telah dimanfaatkan dan dapat membantu pengembangan khasanah bahasa Indonesia dan masih banyak lagi hal lain yang bisa mereka sumbangkan.

Masyarakat Adat & Konservasi Alam
Dalam kaitannya dengan permasalahan lingkungan hidup, sebagian kelompok masyarakat adat biasanya memposisikan diri mereka sebagai kelompok yang diidealkan dalam berhubungan dengan alam dengan menekankan pada realita akan adanya hubungan spiritualitas dari masyarakat-masyarakat adat dengan alam.

Kita ambil contoh yang lebih kecil dan lebih dekat, di Sumatera Utara ada berbagai kelompok sosial yang dapat dikategorikan sebagai masyarakat adat, yakni beberapa kelompok suku Melayu yang tersebar di Medan, Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi, Batu Bara, Asahan, Tanjung Balai & Labuhan Batu. Kelompok masyarakat adat yang lain; Karo, Simalungun, Batak Toba, Dairi/Pak Pak dan Mandailing di Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal.

Dalam sebuah buku “Dari Hutan Rarangan ke Taman Nasional, Potret Komunitas Lokal di Sekitar Taman Nasional Batang Gadis” yang ditulis oleh tim BITRA Konsorsium, terdiri dari 4 lembaga, BITRA Indonesia, PUSAKA Indonesia, Walhi Sumatera Utara & Samudera. Sangat menarik pengungkapan tentang bagaimana secara tradisional masyarakat adat mempunyai konsep konservasi alam yang berkaitan erat dengan kepercayaan supranatural, dimana contoh ini sangat terkait dengan tulisan ini. Beberapa petikannya seperti disebutkan berikut ini.

Konsep melindungi sumber daya alam agar tetap terpelihara dengan baik, bukan hal baru bagi orang Mandailing. Mereka sejak dahulu mengenal istilah yang pas tentang hal itu, yaitu “rarangan”, yang secara harfiah bermakna “larangan”. Khusus untuk kawasan hutan ada yang disebut “harangan rarangan”, yaitu “hutan larangan”. Hutan larangan dalam konsepsi tradisional adalah bagian dari suatu kawasan hutan milik suatu kampung (huta) yang tidak boleh dibuka untuk lahan pertanian atau kayunya tidak boleh diambil untuk keperluan perabot rumah. Kawasan demikian biasa juga dipercaya sebagai tempat yang dihuni oleh mahluk-mahluk halus dan disebut “Naborgo-borgo”, artinya adalah “yang lembab-lembab”. Ada kepercayaan bahwa melanggar tabu untuk memasuki tempat-tempat demikian akan menyebabkan petaka bagi pelakunya.

Selain pada lingkungan hutan, konsep rarangan tersebut juga berlaku untuk suatu kawasan tertentu di kawasan bagian aliran sungai. Bagian-bagian yang biasa dipantangkan bagi penduduk untuk menangkap ikan di dalam sungai adalah di lubuk-lubuk yang dalam dan diatasnya terdapat pohon-pohon besar yang berdaun rimbun. Tempat demikian juga dipercaya sebagai tempat naborgo-borgo dan terlarang untuk melakukan aktivitas yang bisa mengganggu keberadaan mahluk-mahluk gaib yang mendiaminya.

Keberadaan hutan larangan dan lubuk larangan yang dilembagakan melalui mekanisme tabu dan kepercayaan akan kekuatan-kekuatan supranatural yang ada di sekitarnya, dalam kenyataannya berada pada tempat-tempat yang signifikasinya tinggi bagi kelestarian lingkungan. Bagi kawasan hutan yang disebut harangan rarangan tadi biasanya berasosiasi dengan sumber-sumber mata air atau daerah resapan air (water catchments area) yang amat vital bagi pemeliharaan dan kesinambungan penataan pasokan air bagi penduduk yang bermukim disekitarnya atau penduduk yang berada di hilir aliran sungai. Demikian juga bagi aliran sungai yang disebut lubuk larangan, merupakan tempat-tempat dimana proses pembiakan ikan berlangsung. Oleh karena itu, konsep rangrangan di Mandailing yang diselimuti suatu kepercayaan akan kekuatan supranatural yang tidak boleh terganggu, pada hakekatnya adalah mekanisme budaya yang mengatur praktek-praktek konservasi sumber daya alam secara tradisional.

Keberadaan hutan larangan di masa lalu juga terkait dengan penataan kawasan yang menjadi wilayah dari suatu kampung (huta). Huta adalah suatu pemukiman penduduk sekaligus satuan pemerintahan yang bersifat otonomi, pada masa lalu dipimpin oleh seorang raja (Hato Bangon (raja dalam lingkup teritorial kampung). Konfederasi dari sejumlah huta yang memiliki ikatan sosio-historis dan genealogis disebut Janjian di Mandailing Natal dan Luat di Tapanuli Selatan yang membentuk satu kesatuan hukum adat.

Satu sisi kita ketahui bahwa masyarakat adat sebahagian besar hidup dari belas kasih alam, sangat mesra hubungan cinta kasih dengan alam dengan berbagai tradisi yang dimiliki dengan kearifan lokal masing-masing. Dengan cara yang berbeda dan keberagaman yang sangat indah dan arif. Jauh dari hal-hal yang bersifat ekploitatif atau penghancuran alam secara massal.

Di sisi lain untuk alasan pembangunan dan kemakmuran segelintir orang yang hidup di kota-kota besar dengan beragam gaya hidup hedonisme-nya selalu mengekploitir kekayaan alam di pedalaman secara massal yang cenderung sangat merusak kondisi keaslian dan keseimbangan alam dan lingkungan hidup. Biasa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tambang, illegal logging dan perkebunan skala besar dan akan meningglkan kerusakan yang parah pada daerah yang sedang diusahai maupun yang telah ditinggalkan.

Untuk menjaga keseimbangan pembangunan dan eksploitasi terhadap alam maka perlu dikuatkan posisi masyarakat adat yang solid, baik kelembagaan maupun kesadaran personal dalam rangka membentengi SDA dari perampasan dan penghancuran yang terjadi.

Selamat melaksanakan kongres ke-3 bagi AMAN (Pontianak, 17 – 21 Maret 2007). Semoga menghasilkan kesepakatan tingkat nasional yang dapat memakmurkan masyarakat adat sebagai pemangku ulayat.

Iswan Kaputra
Deputi Direktur BITRA Indonesia
Ketua Forum Masyarakat Asal Labuhan Batu (FORMAL)


No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah mengisi komentar untuk kemajuan blog ini.