10 July 2008

Reformasi Birokrasi Melalui Penyadaran Sumber Pendapatan Negara


Kita pantas bersyukur bahwa pada beberapa bidang pelayanan publik sudah mengalami sedikit perubahan. Hal ini dapat dilihat dari mulai bangkitnya daerah-daerah yang berinisiatif mereformasi birokrasi dengan cara meningkatnya pelayanan publik. Hal ini tentu tak lepas dari dorongan UU yang baru dan sistem yang terus diperbaiki.

Meskipun begitu tentu banyak kalangan yang kurang puas karena reformasi birokrasi menuju good governance masih dirasa lamban. Hal ini juga dikuatkan oleh pengakuan presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri (tahun lalu) bahwa birokrasi kita masih bekerja seperti yang dulu, belum berubah secara signifikan, lamban bertindak, lamban mengambil keputusan masih lamban memproses sesuatu. Boros waktu dan tidak efisien (Kompas, 26/5/2006).

Meskipun reformasi telah berjalan selama sewindu, dan masa transisi sudah dilalui, namun untuk mencapai maksimalitas begitu sulit mengubah kondisi pelayanan pemerintah atau birokrasi yang lebih baik kepada masyarakat, terutama pada sektor pelayanan publik. Hal ini tentu bukan hanya dilihat dari satu atau dua sisi faktor saja, akan tetapi paling tidak ada 4 faktor yang mesti diperbaiki. Faktor-faktor tersebut adalah; faktor sistem, peraturan per-undangan-undangan, kecakapan sumberdaya manusia dan moral atau mentalitas birokrat itu sendiri.

Dalam tulisan ini kita hanya akan mengulas faktor yang terakhir, yakni faktor moral atau mentalitas para birokrasi dan pejabat negara sebagai “pelayan rakyat”. Sebelum merdeka, setelah 3,5 abat kita dijajah, ditambah 32 tahun dipimpin oleh rezim yang menimbulkan kesan bahwa “pejabat adalah raja yang perlu dilayanai” ditambah kesan lain yang muncul, yakni pameo “jika bisa dipersulit mengapa harus dipermudah”. Tentu hal ini sangat mempersulit reformasi birokrasi mengalami percepatan.

Masa penjajahan dimana rakyat ditindas secara fisik, psikologi dan mental pasti menimbulkan bekas secara psikologis pula, yakni dendam yang ter-tranformasi dari generasi yang mengalami penindasan langsung ke generasi berikutnya, yang tidak mengalami penindasan langsung. Kini dendam tersebut diterjemahkan dalam bentuk bila mana si tertindas mengalami perubahan posisi sosial (si tertindas yang menjadi amtenar atau birokrat) maka dia akan melakukan “penindasan” yang sama terhadap orang “dibawahnya”. Belum lagi, secara teknis, cara-cara licik yang ditularkan para penjajah untuk menangani rakyat, waktu itu.



Siapa Biayai Negara

Kita tahu salah satu sumber terbesar negara membiayai operasionalnya dari pajak. Penerimaan pajak tahun 2005 sebesar Rp 304,1 triliun, target penerimaan tahun 2006 sebesar Rp 416,6 triliun dan penargetan tahun 2007 sebesar Rp 456,1 triliun yang terdiri dari pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), pajak bumi dan bangunan (PPB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dan pajak lainnya, termasuk pendapatan cukai, bea masuk dan pendapatan pungutan ekspor.

Dari tahun ke tahun target penerimaan negara dari pajak ini terus akan ditingkatkan. Pajak ini tentu diambil dari kantong rakyat, meskipun jika dihitung dari seluruh pajak yang masuk tentu akan menunjukkan perbandingan jumlah yang sangat besar dari angka-angka yang tertera diatas, karena sudah menjadi rahasia umum kebocoran yang terjadi pada kantor pajak sangat besar jumlahnya.

Ada beberapa jenis pajak dari rakyat yang, kita istilahkan, tidak langsung. Salah satu contoh yang dapat kita urai adalah, cukai tembakau (mohon maaf karena cukai tembakau ini yang gampang dihitung karena tercantum nilai pada pita cukainya). Cukai tembakau yang tertera dalam pita cukai tembakau rata-rata 40 %. Mengapa cukai tembakau begitu tinggi ? Karena rokok dianggap barang khusus. Mengapa dianggap barang khusus ? Karena dianggap dapat merusak kesehatan. Jadi jika kita hitung dengan harga rokok perbungkus rata-rata Rp 7,000,- maka cukai yang ditarik dari 1 bungkus rokok adalah Rp 2,800,-. Jika setiap perokok di Indonesia menghabiskan 1 bungkus per-hari, per-orang dan kita perkirakan ada 100 juta penghisap rokok dari 220 juta jumlah penduduk maka angka yang akan muncul dari cukai barang khusus ini sangat fantastis, yakni Rp 280 milyar per-hari, alias Rp 8,4 triliun per-bulan atau Rp 102,2 triliun per-tahun.

Ini baru dari 1 jenis barang konsumtif yang di gunakan oleh rakyat. Belum dari barang lain (bukan barang khusus), yang kita konsumsi, pajaknya biasanya dibawah 5 %. Tentu bukan rakyat (konsumen) yang langsung menyerahkan uang tersebut pada pemerintah akan tetapi perusahaan yang membeli pita cukai yang menyerahkannya. Akan tetapi bila tidak ada nilai cukai tembakau yang 40 % tentu harga rokok tidak Rp 7,000,- per-bungkus di tangan konsumen (mungkin harganya hanya Rp 4,200,-), karena perusahaan tidak mau rugi sehingga membebankan biaya cukai tersebut kepada konsumen melalui harga jual.

Uraian di atas hanya salah satu contoh dimana negara dibiayai oleh rakyat dari berbagai macam pajak, kutipan, restribusi, cukai, pendapatan dll.


Penataran Penyadaran

Lalu apa kaitannya dengan reformasi birokrasi ? Perlu disosialisasikan dengan baik kepada seluruh birokrasi, di dalamnya pegawai negeri sipil (PNS) Polisi dan TNI bahwa mereka dihidupi dari uang yang disetor oleh rakyat pada negara. Hal ini merupakan unsur penyadaran yang sangat penting pada birokrasi untuk membongkar faham dan cara kerja lama birokrasi.

Jika pada masa yang lalu ada penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Sudah saatnya sekarang dilakukannya penataran penyadaran kepada birokrasi dan PNS dengan muatan; dari mana didapat sumber-sumber pebiayaan negara termasuk yang digunakan untuk menggaji dan biaya oprasional kantor-kantor institusi birokrat bekerja. Juga untuk siapa pekerjaan dilakukan.

Dalam orientasi pra-jabatan PNS juga mestinya muatan ini menjadi muatan utama yang diberikan pada calon PNS agar ketika mereka menjalankan tugas PNS-nya dalam kondisi yang sadar betul bahwa mereka dibayar oleh rakyat dan karenanya bekerja bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan diri sendiri maupun pengusaha atau investor.

Dengan begitu kemungkinan besar akan tercipta birokrasi yang baik dalam kerangka percepatan reformasi birokrasi menuju good gouvernance seperti yang telah terjadi pada negara maju yang menjadi cita-cita bersama tujuan sebuah negara.

Iswan Kaputra, Pekerja Sosial pada BITRA Indonesia, Medan dan Ketua Forum Masyarakat Asal Labuhan Batu (FORMAL).

2 comments:

  1. wah.. bagus ya webnya. hmm.. belajar di mana? salam.

    ReplyDelete
  2. Kan... Guru, Gurunya... Kok nanya lagi...???

    ReplyDelete

Terimakasih telah mengisi komentar untuk kemajuan blog ini.