10 July 2008

Sekampung Jadi Maling (Sebuah Studi Kasus Upaya Penyelesaian Potensi Kriminal dengan Inisiatif Masyarakat Berternak Kambing)


Sekitar 60 km ke selatan kota Medan, ada sebuah desa kecil bernama Tambak Cekur, persisnya di kecamatan Galang, kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara. Menurut observasi dan cerita masyarakat setempat, tahun 1970 – 1980 desa ini sejahtera. Bahkan, beberapa desa di sekeling perhatiannya terpusat ke desa Tambak Cekur tersebut. Sejahteranya desa tersebut juga dapat dibuktikan dengan adanya “pekan” (pasar tradisional sepekan sekali) yang dikunjungi oleh konsumen dari beberapa desa sekelilingnya.

Desa itu sejahtera karena menjadi pelopor budidaya tanaman karet (keahlian masyarakat berkebun karet diturunkan oleh nenek moyang mereka yang dididik cara berkebun karet oleh pemerintahan penjajah Belanda). Pada masa sekarang (setelah perkebunan Belanda di nasionalisasi tahun 1960-an), perbatasan desa itu memang langsung ada lahan perkebunan besar milik negara, PTP Nusantara III (PTPN). PTPN ini pada lahannya dominan menanam karet, sehingga turut memberi kontribusi pada rakyat desa tentang ilmu bertani karet.

Masyarakat yang berbaur di desa ini terdiri dari bermacam-ragam suku, seperti; Melayu, Jawa, Batak Simalungun dan Banjar. Belakangan masyarakat desa terlena dengan hasil produksi karet yang dapat memberiakan kehidupan yang cukup tersebut. Warga yang rata-rata punya lahan satu hingga dua hektar setiap kepala keluarga itu terbiasa santai. Sebab tanaman karet itu setiap pagi mereka sadap dan siangnya sudah bisa dipungut (mengutip karet setengah kering) lalu dijual dan menjadi uang. Kemudian sore harinya mereka sudah duduk-duduk santai di warung kopi, kampung.

Di awal 1990-an, mulailah warga merasakan pendapatannya menurun. Sebab, pohon karet sudah mulai tua atau bahkan banyak yang tumbang dan mati. Sementara, hasil mereka selama sepuluh tahun lebih itu tidak terbiasa ditabung sehingga tidak memungkinkan mereka untuk melakukan penanaman ulang (replanting).

Singkatnya, sekira 150 kepala keluarga itu mulai kesulitan ekonomi, ditambah lagi dengan perekonomian negara yang semakin memburuk terterpa krisis sejak pertengahan 1997. Sementara kebiasan kerja santai tak bisa diubah, begitu juga kebiasan duduk-duduk di warung sambil makan-minum.

Di tengah krisis itu, warga juga dihadapkan dengan budaya konsumtif yang menjalar kemana-mana. Barang-barang kebutuhan semakin menggiurkan seperti sepedamotor, furniture, peralatan elektronik dll yang sudah masuk ke desa-desa dan menjadi impian masyarakat desa meskipun terkadang mereka tidak membutuhkannya, akan tetapi karena doktrin dari iklan yang dipatrikan ke kepala mereka sehingga hal tersebut jadi seolah-olah menjadi kebutuhan dan mendesak. Sedangkan harganya semakin melambung. Sementara di sisi lain pendapatan mereka terus merosot.

Ironisnya, pada saat yang sama sejumlah oknum dari luar desa datang memberi “jaminan keamanan” kepada beberapa warga untuk ikut melakukan aksi pencurian di lahan-lahan perkebunan pemerintah seperti PTPN. Maka, mulailah mereka bergabung dengan kelompok yang dijuluki NINJA (Ninting Janjangan, mencuri kelapa sawit) dan MACO (maling coklat), KENCOL (kelompok colong lom/karet kering).

Mulanya warga yang menghargai adab dan etika menentang keluarga yang terlibat aksi kejahatan itu. Tetapi belakangan jadi permisif. Mereka maklum karena sadar beratnya beban ekonomi. Bahkan, belakangan pengikut kelompok ini semakin besar karena alasan tadi.

Puncaknya, beberapa warga yang memegang teguh agama dan tidak mau mencuri, semakin lama semakin terkikis. Mengapa? Soalnya, ada beberapa pencuri itu yang belakangan mulai beraksi di rumah atau kebun penduduk setempat. Ini disebabkan oleh semakin ketatnya penjagaan di areal perkebunan pemerintah, membuat beberapa pencuri takut sehingga memilih menjadi maling di kampung sendiri.

Aksi ini-pun akhirnya dimaklumi secara keliru dengan alasan ekonomi tadi. Malah, beberapa warga yang biasa dimalingi-pun ikut jadi maling dengan alasan: “biar imbang”. Sampai di sini terlihat fenomena yang sangat dramatis dan ironis.

Dampak dari sikap permisif aksi pencurian ini, membuat anak-anak muda di sana menganggap hal biasa dengan perbuatan yang melanggar hukum itu. Pagi sekolah dan malam-nya jadi maling, sudah biasa bagi anak-anak muda. Bahkan, beberapa ibu-ibu pun banyak yang terlibat kelompok ini, secara kecil-kecilan. Misalnya, mencuri brondolan (buah kelapa sawit yang sudah lepas dari tandanya) atau beberapa buah coklat dengan modus pura-pura mencari rumput atau sejenisnya.

Ternyata, kebiasaan mencuri itu tidak bisa melepaskan warga dari jerat kemiskinan. Bahkan mereka sering terpaksa menjual tanah karena ada yang tertangkap karena mencuri, dan tidak bisa dibela kelompok itu (termasuk oknum Militer yang memberi jaminan keamanan tadi), sementara yang tertangkap harus segera dikeluarkan dari penjara.

Hasil curian yang mereka kerjakan itu tidak cukup membuat mereka kaya. Apalagi kebiasaan konsumtif semakin parah. Kalau-pun ada warga yang perekonomian-nya bagus, itu karena punya usaha lain seperti berdagang atau pegawai.

Di tengah terbiasanya mereka mencuri, usaha tani karet atau perkebunan rakyat lainnya semakin suram. Bukan lagi karena produktifitas yang melorot tetapi karena terlalu banyak yang dicuri tetangganya sendiri.

Bahkan, belakangan ini para pedagang-pun mengeluh. Pertama, karena penduduk semakin sedikit yang belanja akibat pendapatan rendah. Kedua, karena kios mereka pun disatroni maling dari kampung sendiri. Sebagian ada yang frustasi dan tak mau meneruskan usahanya, malah memilih ikut jadi pencuri!

Tak jarang terjadi berbagai perkelahian antara pencuri dan yang kecurian, pencuri dengan pencuri maupun antar kelompok dan antar desa, benar-benar bibit kekacauan dan kerusuhan sudah mulai mewujud bentuknya.

Hal diatas tidak hanya terjadi pada desa Tambak Cekur, Galang saja akan tetapi hal ini terjadi secara merata di setiap desa (di Sumut disebut Kampung) yang letaknya di pinggiran perkebunan (di Sumut disebut Kebun) besar milik negara.

Alhasil, derajat desa semakin rusak. Beberapa warga yang ingin keluarganya selamat dan tidak ikut jadi pencuri, ahirnya kesulitan. Memang ada juga yang bisa menyekolahkan anaknya ke kota agar tidak “tertular” jadi pencuri. Tapi umumnya warga di sana sulit keluar dari masalah yang mengerikan ini.


8 Warga Berusaha Keluar

Di saat sebagian besar warga menyerah dan memilih ikut dengan kebiasaan mencuri, sebanyak delapan orang kepala keluarga mencoba mencari solusi. Masukan dari seorang pemuda desa yang sudah sepuluh tahun mengecap pendidikan dan bergaul dengan tokoh-tokoh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di Medan, akhirnya muncul ide untuk membentuk sebuah lembaga.

Awal tahun 2002, mencuatlah ide untuk menggalakkan peternakan kambing. Inspirasinya sederhana di sebelah timur desa itu ada sekitar 100 Ha. lahan tidur yang hanya berisi semak dan rumput yang bisa dijadikan pakan. Lima tahun sebelumnya, sawah tersebut masih produktif dengan panen padi, tetapi kemudian mengering akibat di hulu irigasi ditanami kelapa sawit oleh PTPN. Itu pula yang membuat warga bertambah kehilangan lahan cari nafkah.

Selain tersediannya rumput di lahan tidur itu, di sekeliling desa juga banyak tanaman ubi kayu (singkong) milik rakyat. Tanaman ini satu-satunya yang dianggap paling aman ditanam, karena relatif kurang diminati pencuri. Nah, batang dan daun ubi tersebut sangat diminati ternak kambing.

Warga juga bisa mengandalkan sebagian rumput yang ada di bawah tanaman karet milik PTPN III. Jauh-jauh waktu sebelum maraknya pencuri, sebagain penduduk sering menggembalakan kambing di sana.

Kendati demikian, masalah yang dihadapi 8 warga ini adalah kurangnya percaya diri akibat banyaknya pencuri. “Bagaimana kita mau berternak kalau pencuri terus merajalela?” pertanyaan seperti itu mencuat.


Solusi dan Garansi

Akhirnya, muncul satu pemikiran untuk membuat kandang ternak yang berkelompok. Dengan cara ini, warga jadi lebih mudah melakukan ronda pengamanan. Sebab, mereka bisa berjaga secara bergantian. Lagipula, dengan kandang bersama ini, seorang anggota yang cuma punya dana Rp 300,000,- hingga Rp 500,000,-, bisa membeli seekor induk kambing dan tidak perlu lagi memikirkan dana untuk membangun kandang.

Intinya, manfaat kandang bersama ini adalah: (1) menjamin keamanan ternak; (2) meringankan modal awal peternak.

Sistem & peraturan yang diterapkan oleh kelompok adalah:
1. Anggota kelompok mendapat giliran mengarit rumput/cari makanan kambing (1 orang anggota dapat giliran sekali dalam satu minggu).
2. Anggota kelompok mendapat giliran membersihkan kandang
3. Anggota kelompok mendapat giliran jaga malam
4. Penyadaran kepada warga desa lain dilakukan dari rumah ke rumah berdasarkan kedekatan dan kekerabatan dengan bertamu dan model penyadara non formal, santai dan bersahabat.

Ada putra desa yang dianggap telah berhasil di Medan dengan posisinya wakil pemimpin redaksi di satu surat khabar di Medan sangat dipercaya dan didengar warga kata-katanya. Orang ini yang mendirikan kandang dengan uangnya sendiri, orang ini berfungsi sebagai konseptor kelompok dan garansi kepercayaan.

Melihat 8 warga tersebut “berani” memelihara kambing dan terbukti hingga setengah tahun tidak terjadi kemalingan, akhirnya warga lain jadi ikut satu persatu. Hingga awal 2003, kelompok jadi berkembang dengan 24 anggota tetap. Ada juga warga yang berani membuka kandang sendiri dan berternak sendiri karena ronda yang diciptakan kelompok itu sudah membuatnya lebih aman.

Hingga pertengahan 2003, hampir semua warga sudah memiliki kadang kambing sendiri. Meningkatnya pendapatan beberapa warga yang lebih dahulu berternak kambing, membuat yang lainnya jadi berminat mengikuti.

Sedangkan kelompok pertama tersebut yang kini bernama Kelompok Tani SETIA KAWAN, sudah lebih maju dengan membuat anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) yang terbilang baik.

Dalam salah satu aturan kelompok tersebut dijelaskan, bahwa setiap anggota wajib membeli daging kambing anggota lain apabila ada ternak yang sakit dan harus disembelih. Harga daging tersebut dibeli dengan harga pasaran. Dengan begitu, anggota yang kehilangan ternak tersebut masih bisa membeli ternak baru dari uang penjualan daging tersebut. Ini menjadi garansi bagi anggota untuk menghindari kerugian fatal akibat kesehatan ternak.


Investor Kampung

Dalam kalkulasi warga desa, modal lima ekor kambing atau setara Rp 2 juta hingga Rp 2,5 juta, berarti sudah menyelamatkan seorang anak dari putus sekolah. Logikanya, lima calon induk tersebut dalam setahun akan berbiak minimal menjadi 10 – 20 ekor. Berarti, pendapatan tambahan mereka mencapai Rp 2 juta hingga Rp 4 juta per tahun. Uang sebanyak itu, berdasarkan pengalaman warga desa, sudah bisa menyelamatkan biaya sekolah si anak beserta kebutuhan lainnya.

Masalahnya, sedikit sekali warga yang punya modal untuk dapat membeli induk kambing sebanyak itu. Rata-rata uang tabungan warga yang belum keluar dari krisis tersebut hanya di bawah Rp 500 ribu yang berarti cuma bisa membeli 1- 2 ekor kambing berkualitas baik (jenis ersip atau etawa).

Maka, beberapa warga sempat frustasi karena tidak mampu mencari modal. Sampai akhirnya ada pemikiran untuk mencari investor kecil-kecilan dari luar desa.

Lagi-lagi pemuda desa yang sudah punya akses di kota dijadikan andalan mencari modal tambahan. Maka digalakkanlah sistem “belah pinang”. Warga disiapkan menjadi peternak yang akan berbagi hasil fifty – fifty dengan si pemodal. Ini memang sudah sejak lama diberlakukan oleh peternak.

Dengan berbagai cara, akhirnya ada beberapa pemodal yang mereka sebut “investor kampung” yang berani menanamkan modal sebesar Rp 2 juta hingga Rp 5 juta. Ada yang melakukannya dilengkapi dengan surat perjanjian hitam di atas putih, namun ada juga yang mengandalkan rasa saling percaya. Kendati demikian, dengan semakin tingginya minat warga ikut berternak kambing, akhirnya kelompok kesulitan mencari investor.

Kendati demikian, hasil yang sudah terlihat nyata di desa ini adalah tertekannya komunitas pencuri. Malah, saat ini boleh di katakan tidak ada lagi warga yang melakukan tindakan tersebut. Mereka umumnya sudah kembali menekuni usaha masing-masing dengan pendapatan tambahan dari ternak kambing tersebut.

Pemuda desa yang sebelumnya lebih memilih ikut dalam kelompok Ninja, Maco, dan Kencol, kini sudah terlihat dengan riang mencari rumput atau daun ubi untuk makanan ternaknya. Apalagi, saat ini kotoran kambing sangat bernilai tinggi untuk pupuk kandang, membuat pendapatan mereka membaik dan semangat berternak semakin tinggi.

Tinggal bagaimana investasi terhadap mereka menjadi perhatian banyak pihak. Sebab, hingga kini kualitas ternak mereka masih perlu perbaikan karena bibit yang sanggup mereka beli belum maksimal.

Iswan Kaputra & Aris Sumampin Damanik (Alm)

No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah mengisi komentar untuk kemajuan blog ini.