23 September 2008

SEGERA LAKUKAN REFORMA AGRARIA SEJATI & PENINGKATAN STATUS KELEMBAGAAN PERTANAHAN



Memperingati Hari Tani Nasional, 24 September 2008.

Dalam rangka memperingati hari tani, tanggal 24 September 2004 ini, kita wajib mengingat pidato Presiden RI tanggal 31 Januari 2007, dalam rangka pidato kenegaraan membuka tahun yang baru, tahun 2007, yang biasanya dijadikan panduan bagi departemen, badan dan instansi lain di Pemerintahan RI untuk mendesain perencanaan strtegis dan rancangan program dan kegiatan lain. Pada pidato tersebut Presiden Soesilo Banbang Yudhoyono, lebih akrab dikenal dengan (SBY) sempat mengungkapkan strategi pemerintah dalam urusan tanah (reforma agrarian). Isi dari pidato tersebut antara lain; “Program Reforma Agraria… secara bertahap…akan dilaksanakan mulai tahun 2007 ini. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan kita boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Inilah yang saya sebut sebagai prinsip “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat… (yang) saya anggap mutlak untuk dilakukan”.

Tanah merupakan objek yang sangat penting bagi kehidupan manusia, dimana berbagai macam kebutuhan hidup sangat bergantung pada keberadaan tanah, baik sebagai media tanam maupun sebagai media ruang/tempat. Begitu urgennya tanah sehingga banyak sekali konflik yang berakibat sangat luas dan memakan banyak korban di dunia ini karena berebutan akan penguasaan pengelolaan tanah tersebut. Menurut catatan Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara paling sedikit ada 699 kasus konflik/sengketa tanah yang ada di Sumatera Utara.

UUD 1945, Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi “ir, udara, bumi dan seisinya dikuasai oleh Negara dan digunakan seluas-luasnya untuk kemakmuran rakyat”, UUD 45 ini telah cukup jelas amanatnya yang diberikan untuk kemakmuran rakya dan dibreakdown lagi oleh UUPA.

Sepanjang Orde Baru (1966-1998) politik agraria yang dianut dan diterapkan secara konsisten oleh pemerintah adalah politik agraria yang kapitalistik. Politik agraria semacam ini menjadikan tanah dan kekayaan alam lainnya sebagai komoditi serta objek eksplotasi dan akumulasi modal besar asing maupun domestik yang beroperasi di berbagai sektor. Berbagai peraturan perundang-undangan dan program-program pembangunan di lapangan agraria praktis diabdikan untuk memenuhi orientasi politik agraria yang kapitalistik itu. Sejak Orde Baru berkuasa (1966) pengkhianatan terhadap undang-undang pokok agraria (UUPA) No. 05 tahun 1960, mulai berlangsung. Hal ini tercermin dari orientasi dan praktek politik agraria yang ditopang oleh berbagai produk peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan dengan kekayaan alam kita. Misalnya undang-undangan yang mengatur Kehutanan; Pertambangan; Pertambangan Minyak dan Gas Bumi; Pengairan; Perikanan, dsb. Keseluruhan undang-undang sektoral ini mengandung semangat dan isi yang memfasilitasi modal besar ketimbang memenuhi hak-hak rakyat banyak.

Pantulan orientasi politik agraria Orde Baru jelas tergambar pada banyaknya penyerahan penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria ke tangan pemilik modal besar melalui berbagai ijin usaha. Dengan memegang prinsip Hak Menguasai Negara (Pasal 2 ayat 2 UUPA 1960), dengan mengatasnamakan negara, pemerintah pusat atau daerah telah mengeluarkan hak-hak baru seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai, Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), Kuasa Pertambangan, dan Kontrak Karya Pertambangan. Karena proses pengkhianatan yang berkepanjangan, maka posisi UUPA 1960 dengan sendirinya terpinggirkan secara berkelanjutan. Bahkan UUPA seakan-akan hanya mengatur soal administrasi pertanahan saja, yang kewenangannya hanya mencakup sekitar 30% saja dari luas seluruh daratan Indonesia. Selebihnya diatur lewat undang-undang UU Kehutanan (1967) yang diperbaharui menjadi UU No. 41/1999, dan UU sektoral lainnya.

Lembaga-lembaga penelitian sosial yang gencar meneliti masalah kemiskinan selalu mengungkapkan minimnya keter-aksesan masyarakat petani terhadap tanah menjadi suatu penyebab utama kemiskinan di Indonesia, Peduduk miskin yang ada di Indonesia sampai Juli 2007 adalah 37,17 juta orang atau 16,58 % (Data yang dikeluarkan oleh Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, TKPKRI) dari jumlah tersebut penduduk atau rumah tangga miskin sebagian besar (72%) ada di pedesaan dan berprofesi sebagai petani, yang sudah pasti akan membutuhkan tanah sebagai media tanam pertanian. Mereka adalah umumnya petani yang menggantungkan hidupnya pada lahan yang sangat kecil. Di seluruh Indonesia terdapat 13,253 juta rumah tangga pertanian yang hanya menguasai (dan belum tentu memiliki) luas tanah kurang dari 0,5 hektar, biasa disebut petani gurem. Jumlah rumah tangga petani gurem tidak hanya monopoli petani di pulau Jawa tetapi juga di luar Jawa. 74 dari 100 rumah tangga petani di Jawa adalah petani gurem, sedangkan di luar Jawa 1 diantara 3 petani adalah petani gurem.

Dalam satu acara seminar yang bertajuk “Mewujudkan Keadilan Melalui Kebujakan Agraria Nasional”, di Medan 4 September lalu terungkap, bahwa hanya 1 sampai 2 persen masyarakat menguasai asset, sumberdaya alam, terutama sumber daya agrarian, hanya 56 %. Sementara 98 % masyarakat lainnya yang kurang beruntung hanya menguasainya sebesar 44 %. Ini suatu hal yang sangat ironis dan harus diakhiri keberlanjutannya. Pengelolaan sumber daya yang adil seperti yang dinyatakan SBY dalam pidatinya harus segera diwujutjkan.

Dalam konsep hak pangan (hak masyarakat untuk memperoleh pangan yang sehat) ada 3 hal yang mestinya dipenuhi pemerintah, yakni; to respect, agar pemerintah memberikan tanggapan langsung atas persoalan kelaparan yang terjadi; to protect, agar pemerintah melindungi masyarakatnya dari kemungkinan kelaparan yang dihadapi, dan; to fulfill, agar pemerintah memenuhi kebutuhan-kebutuhan makan yang dibutuhkan rakyatnya. Dari konsep hak pangan ini juga jauh untuk terpenuhi jika masyarakat mayoritas sebagai petani tidak punya media tanam yang mestinya mereka miliki, bahkan seharusnya media tanam tersebut disediakan oleh pemerintah, karena ini juga bagian dari kewajiban negara untuk memenuhinya (to fulfill), istilah ini juga dapat dicari korelasinya dengan makna yang sama pada pasal 1 sampai 13, UUPA.

Carut-marutnya masalah agrarian nasional ini yang coba diperbaiki belakangan oleh negara, seperti apa yang diungkapkan dalam pidato SBY Januari 2007 lalu dan diterbitkannya Ketetapan MPR No.IX/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam. Tap MPR ini memberikan tugas dan mandat kepada pemerintah untuk melaksanakan; “penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia” (pasal 2). Lalu dilansir perencanaan pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang akan dipimpin langsung oleh presiden, dengan perencanaan distribusi tanah seluar 8,15 juta hektar untuk penduduk miskin yang tidak punya tanah. Kedua tonggak ini menjadi pembuka pintu bagi perbaikan kehidupan petani, revitalisasi sektor pertanian dan pembangunan pedesaan. Untuk itu, tak perlu terlalu lama buang waktu untuk memulai reforma agraria. Reforma agraria sejalan dengan amanat sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa. Ini juga cermin dari semua bangsa yang maju. Reforma agraria berguna memenuhi hak sipil-politik, ekonomi, sosial dan budaya bangsa.

Kini Tap MPR dan rencana pelunuran PPAN tersebut sangat ditunggu-tunggu masyarakat wujud dan kedatangannya, namun tidak kunjung tiba juga malah yang terdengar santer hanya gencarnya penyertifikatan tanah di mana-nama. Apakah ini merupakan wujud PPAN, resistensi yang sangat kuat dari pemilik modal yang sangat dominan menguasai sumber-sumber agraria belum terkalahkan. Perrubahan dan kekerpihakan BPN pada masyarakat bukan tidak terjadi, tapi hanya Kanwil-kanwil yang personal berani dan jujur tertentu saja yang melakukan reforma agraria dengan berpihak pada rakyat.

Untuk itu pada hari agraria nasional 24 September 2008 ini kami BITRA Indonesia dan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA Sumut) mendesak agar dilakukan:

1. Reforma agraria sejati
Sebaiknya reforma agraria di daerah disiapkan bersama antara pemerintah daerah dengan rakyatnya --khususnya kalangan petani dan masyarakat di pedesaan yang akan menerima manfaat reforma agraria. Untuk menyambut dan mengawal PPAN, maka berbagai langkah yang harus dipersiapkan oleh pemerintah daerah, organisasi rakyat dan para pendukung gerakan pembaruan agraria, adalah: Pertama, melakukan pendataan objek dan subjek secara lengkap dan akurat. Hal ini diperlukan untuk memastikan objek (tanah) dan subyek (orang) reforma agraria agar dapat diketahui secara tepat. Jenis, luas dan posisi objeknya harus dapat di tentukan dengan pasti. Kategori, identitas dan jumlah subyek penerima manfaat pun mesti diketahui. Pendataan ini, termasuk di dalamnya mengenai objek dan subjek konflik agraria. Kedua, mengambil peran aktif dalam pengembangan model-model pembaruan agraria. Para pelaku dan pendukung gerakan pembaruan agraria mesti terlibar aktif dalam pengembangan model-model pembaruan agraria. Pengembangan model pembaruan agraria (khususnya landreform) akan menentukan jalan yang tepat bagi perombakkan struktur penguasaan, pemilikan dan pengunaan tanah di masa depan. Pilihan-pilihan model pembaruan agraria akan sangat tergantung pada pengawalan dan kordinasi sinergis antara pemerintah, organisasi rakyat dan para pendukungnya. Ketiga, memperkuat dan mengkonsolidasikan organisasi rakyat. Serikat-serikat maupun kelompok-kelompok tani, nelayan, masyarakat adat, buruh dan kaum miskin kota mesti diperkuat dan dikonsolidasikan untuk mengawal program pembaruan agraria nasional. Melalui organisasi rakyat yang kuat (kesadaran, militansi, tertib organisasi, solidaritas, dan kepemimpinan yang bertanggung jawab) inilah, rakyat akan mempunyai posisi tawar yang kuat untuk menghadapi hal-hal yang merugikan mereka. Melalui konsolidasi dan penguatan organisasi rakyat pula, maka rakyat dapat berperan serta secara aktif dalam program pembaruan agraria nasional. Keempat, mendorong dialog agraria secara intensif. Diperlukan dialog intensif di berbagai level (nasional, daerah sampai kampung), yang membicarakan mengenai wacana, agenda dan program pembaruan agraria yang hendak dijalankan oleh pemerintah bersama rakyat. Hendaknya diskusi-diskusi ini melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap agenda pembaruan agraria agar ditemukan kesepahaman dan kesepakatan atas bentuk kongkrit dari pelaksanaan pembaruan agraria di lapangan. Kelima, membuat kebijakan nasional/daerah yang khusus untuk reforma agraria. Agar di lapangan reforma agraria dapat dilaksanakan dalam kerangka kebijakan yang jelas, maka diperlukan penetapan kebijakan nasional/daerah yang khusus untuk reforma agraria. Secara yuridis, di tingkat nasional reforma agraria idealnya diatur oleh UU khusus untuk reforma agraria, dengan tetap mengacu kepada UUPA 1960. Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sangat baik jika ada Peraturan Daerah khusus untuk reforma agraria. Selain perlunya alas yuridis, agenda ini juga harus mendapat sokongan politik penuh dari pemerintah dan parlemen pusat/daerah. Keenam, memasukan anggaran reforma agraria ke dalam APBN/APBD. Salah satu bentuk sokongan politik pemerintah dan parlemen adalah dimasukannya anggaran untuk pelaksanaan reforma agraria ke dalam APBN/APBD. Adanya pembiayaan yang memadai akan menentukan efektifnya pelaksanaan reforma agraria di lapangan. Karena reforma agraria agenda resmi Negara (pemerintah dan rakyat) maka sewajarnya jika seluruh pembiayaannya dialokasikan dari kantongnya Negara, baik di pusat maupun di daerah.

Banyak negara yang telah melakukan reforma agrarian sebagai tonggak utama pembangunan nasionalnya, misalnya Venezueela, Bolivia, Paraguay, Dll

2. Tingkatkan kualitas lembaga pertanahan negara

Perpres No. 10 Tahun 2006 (selanjutnya Perpres 10) menggariskan bahwa Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden (Pasal 1). Garis ini mengakhiri posisi dilematik BPN yang pernah berwujud Kementerian Agraria, lalu di bawah Departemen Dalam Negeri, bahkan nyaris dibubarkan. BPN kini langsung di bawah Presiden

Banyak kalangan menilai bahwa BPN kini tidak punya gigi, menjadi kekhawatiran bahwa hal ini adalah suatu hal yang dikondisikan atau boleh dikatakan by desain agar sumber daya agraria dapat dikuasai dan dikelola oleh segelintir orang atau kelompok kecil yang punya kekuasaan dan uang untuk meperbanyak uangnya.

Oleh karna itu, kembalikan atau tingkatkan kelembagaan BPN kepada Kementrian Agraria Nasional. Lebih baik lagi jika dapat ditingkatkan pada tingkat Menko, karena persialan agraria sangat terkait dengan kementrian yang lain, misaklnya Kementrian BUMN, Kehutanan, Pertanian, Perkebunan Dll. Selama ini dianggap ada masalah, ganjalan dan resistensi untuk melakukan reforma agraria bahwa BPN tidak punya daya dan wewenang koordinasi.

Iswan Kaputra
Ketua Forum Masyarakat Asal Labuhan Batu (FORMAL) di Medan.
Peneliti pada BITRA Indonesia.



Selanjutnya ...

12 September 2008

Fernando Lugo dan Corasom de Amerika


Kesaksian Martin Bishu Sahabat Lugo Asal Bejawa Flores

Setelah Venezuela, Brazil, Bolivia, Argentina, Ekuador, Uruguay, Nikaragua dan Chili kebangkitan neososialisme atau kemenangan gerakan progresif kerakyatan kini bergemuruh pula di Paraguay dengan terpilihnya Fernando Lugo ‘Pastor Si Miskin” sebagai Presiden Paraguay.

Siapakah Fernando Lugo dan atmosfir politik seperti apakah yang berlangsung disana?
Martin Bishu seorang pastor asal Bajawa Flores yang bekerja sebagai misionaris selama belasan tahun di Paraguay melalui feature yang apik dari kawan Ahmad Yunus memberikan kesaksiannya tentang sahabatnya Fernando Lugo dan geliat perjuangan kaum miskin di Paraguay. Beruntung kita punya laporan dari tangan pertama yang terlibat intens dalam perjuangan untuk kaum miskin di Paraguay.

Corasom de America
Seorang pastor dari Flores bicara tentang keterlibatannya dalam gerakan politik di Paraguay. Sebuah pergulatan memerangi kemiskinan dan ketidakadilan.

selain itu berikut kami lampirkan link wawancara dengan Fernando Lugo dan laporan diskusi Kompas oleh wartawan Kompas Rikard Bangun

Wawancara dengan Fernando Lugo
Istana untuk Kaum Miskin

Kaki saya sudah berdiri untuk kaum miskin. Tidak mungkin kaki yang sama berdiri untuk dua tempat berbeda. Kalau saya berada di istana kepresidenan, posisi berdiri saya tetap untuk kaum miskin.

Laporan Diskusi Kompas 1
Dari Teologi Pembebasan ke Sosialisme Baru

Laporan Diskusi Kompas 2
Gemuruh Simfoni Sosialisme

Selanjutnya ...

09 September 2008

Gambaran

Selanjutnya ...

Mempersoalkan Kenaikan BBM ???


Kenaikan BBM sungguh perlu dikaji ulang dengan seksama. Gejolak yang muncul, saat Pemerintah berencana menaikkan BBM merupakan representasi penolakan masyarakat yang mestinya dipandang Pemerintah sebagai konstituen negara, lebih-lebih lagi bagi pimpinan nasional karena Presiden sejak pemilihan umum tahun 2004 lalu adalah Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat.

Seperti Ladang Jagung
Sejak tahun 1997 saat gelombang besar kenaikan BBM mulai terus memanjat, sejalan dengan kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan meluasnya krisis ekonomi di Asia Tenggara, yang berkembang menjadi krisis multi dimensi di Indonesia, setiap berdiskusi saya selalu mengibaratkan bahwa persoalan harga BBM ini sama dengan seorang Kepala Desa yang menanam jagung di kampungnya dengan hamparan lahan 2 hektar. Sang Kepala Desa akan mengeluarkan modal awal yang cukup besar karena harus membeli lahan, membersihkannya dari belukar (land clearing), membeli bibit lalu mungkin juga mengupahkannya untuk menanam dan merawat hingga jagung panen.
Kebetulan di desanya jagung merupakan komponen penting bagi ketahanan pangan rakyat desa, karena rakyat desanya mengkonsumsi jagung sebanyak 20 ton setiap bulan, dihitung dari kebutuhan penduduk, sebagai campuran nasi untuk makanan pokok. Setelah Kepala Desa panen dengan hasil 20 ton jagung, sang Kepala Desa harus menentukan pilihan; 1. Jagung tersebut dijual kepada penduduk desanya dengan harga Rp 200,-/kilogram dengan konsekwensi Kepala Desa hanya mendapatkan untung Rp 100,-/kilogram karena biaya produksinya Rp 100,-/kilogram. Namun penduduk desanya mengalami ketahanan dan kecukupan pangan, plus sang Kepala Desa mendapatkan citra dan sanjungan yang terpuji dari penduduk desanya, karena memenuhi kebutuhan pangan memang merupakan salah satu tanggung-jawab Kepala Desa. 2. Kepala Desa menjual 10 ton jagung hasil panennya kepada rakyatnya dan menjual 10 ton yang lain ke pasar Kecamatan dengan harga Rp 400,-/kilogram, jelas Kepala desa akan lebih untung, namun sebagian rakyatnya akan membeli jagung di pasar Kecamatan dengan harga tinggi untuk dikonsumsi. Kepala Desa juga mulai kehilangan sebahagian citra baiknya di mata rakyatnya. 3. Kepala Desa menjual semua atau sebahagian besar jagung hasil panennya ke pasar Kecamatan, untung yang diperoleh jauh lebih besar, Kepala Desa-pun dapat menyumbangkan sebahagian uangnya untuk rakyat termiskin di desanya, akan tetap hal ini hanya sebagai polesan, bukan menyelesaikan masalah mendasar untuk memenuhi kebutuhan pangan, jelas citra sang Kepala Desa akan jauh lebih pudar, bahkan bisa hilang di mata rakyatnya.
Begitu juga produksi minyak negara, apakah mau di jual ke pasar internasional yang harganya akan jauh lebih mahal dibandingkan hanya dijual pada rakyatnya sendiri dengan harga yang tentunya jauh bisa dimurahkan? Menjual harga yang murah pada rakyatnya sebenarnya negara juga sudah untung meskipun tidak seperti keuntungan ketika dijual ke pasar internasional atau disesuaikan dengan harga internasional. Akan tetapi citra baik pemerintah akan terkikis bahkan bisa hilang di mata rakyat, bahkan BLT-pun tidak terlalu berpengaruh sama sekali, untuk memulihkan citra tersebut.
Menyelenggarakan proses penambangan minyak hanya butuh modal besar di awal, dimana proses, dari mulai; pembebasan lahan, berbagai macam proses administrasi awal (termasuk izin dan kontrak karya), penelitian, pengadaan alat berat Dll. Semuanya hanya butuh modal yang besar di awal. Setelah itu minyak dapat dikatakan akan mengalir seperti air, hanya butuh sedikit sentuhan proses operasional dan pengeluaran rutin yang tak seberapa jika dinbandingkan dengan hasil yang diperoleh. Namun mengapa BBM bisa mahal?
Pemerintah menyedot minyak sebagai kekayaan perut bumi kita dengan biaya 10 sampai 15 USD per-barel, namun harga internasional sekarang telah melebihi 100 USD per-barel. Ini yang dianggap jika dijual untuk digunakan rakyatnya sendiri dengan harga yang murah akan merugikan dibandingkan dengan dijual ke pasar internasional. Selama ini opini publik yang dibangun memaksakan logika subsidi dengan alasan bahwa pemerintah inport untuk kebutuhan BBM dalam negeri, asumsi tersebut tidak terlalu kuat, karena kebutuhan BBM Indonesia 1,2 juta bph, produksi 1 juta bph, kekurangan kebutuhan BBM yang diimpor sekarang hanya 0,2 juta bph.
Pernyataan bahwa Pemerintah rugi 123 triliun menggunakan logika dan asumsi subsidi yang harus dihapuskan, harga BBM sekarang dalam negeri dibandingkan dengan harga internasional, patut dipertanyakan karena jika dikaji menggunakan logika lain, Jika harga minyak Internasional US$ 125/barrel dan biaya produksi US$ 15/barrel dilakukan impor 200 ribu bph maka pemerintah Indonesia dengan harga premium Rp 4.500/liter (US$ 77/brl) masih untung US$ 49,4 juta per-hari atau Rp 165,8 Trilyun dalam setahun (asumsi nilai tukar 1 USD = Rp 9.200,-).
Di dalam perhitungan di atas ada pemaksaan logika harga BBM internasional yang harus disamakan untuk perusahaan pertambangan internasional meraih keuntungan yang sangat tinggi. Dari jaman ke jaman memang perusahaan tambang dikenal sebagai perusahaan yang dapat berbuat apa saja demi memperoleh minyak, baik dari cara yang paling halus hingga cara yang paling kasar, bahkan memerangi suatu negara untuk mendapatkan komoditi migas yang tidak terbarukan dan cadangannya di perut bumi makin lama makin menipis dan pasti akan habis, tersebut. Ini tentunya akan menjadi penyebab konflik yang cukup dominan di muka bumi ini, hingga energi alternatif pengganti migas yang efektif ditemukan, di sisi lain sumber energi alternatif dari nabati akan menimbulkan masalah baru, yakni menggeser posisi bahan baku pangan sehingga menimbulkan krisis pangan dunia yang kini mulai kelihatan tanda-tandanya. Masalah lain yang muncul adalah semakin menurunnya produksi bahan pangan karena perubahan iklim ekstrem dan keterbatasan lahan petani.

Perbandingan Harga
Pernyataan Pemerintah bahwa harga minyak Indonesia termurah di Asia Tenggara. Pernyataan ini juga dipaksakan untuk memberikan pembenaran kenaikan BBM. Jika kita lihat perbandingan harga minyak (premium) dalam negeri negara-negara lain, masih banyak yang dibawah harga Indonesia. Lihat tabel beikut:
Harga di Indonesia: Premium Rp 4.500/liter, Pertamax Rp 8.700/liter

Mengapa negara-negara seperti Venezuela, Turkmenistan, Iran, Nigeria, Bolivia (belum diperoleh datanya) dan yang lain bisa menjual harga minyak jauh dibawah harga pasar internasional pada rakyatnya? Negara-negara tersebut memandirikan dengan kata lain melakukan pengelolaan minyaknya dengan berdaulat. Sehingga dapat mematok harga murah dan menjadi negara yang paling murah harga BBM-nya karena tidak bergantung dan tidak tertarik untuk menyamakan harga minyaknya dengan harga internasional demi melindungi rakyatnya.
Jika rakyat Indonesia dikatakan sebagai sebagai rakyat yang boros BBM? Ternyata juga tidak. Dengan logika jumlah penduduk yang 220 juta jiwa Indonesia menempati urutan/rangking ke 116 sebagai pengguna BBM. Jauh dibawah Malaysia yang jumlah penduduknya hanya 24 juta jiwa, namun menempati rangking 47 sebagai pengguna BBM.
Alasan lain “penghapusan subsidi” dengan menaikkan BBM adalah pengguna BBM (jika bersubsidi/tidak disesuaikan dengan harga internasional), juga kurang berasalan, karena pemilik mobil mewah di Indonesia kurang dari 5% atau kurang dari 10 juta aorang. Pengguna BBM dengan persentase tinggi jelas ditempati oleh masyarakat pengguna kendaraan sepeda motor, supir-supir angkutan umum, kendaraan pengangkutan baran, nelayan, ibu rumah tangga dll. Penumpang angkot jika BBM naik pasti akan lebih menderita, karena ongkos pasti juga akan naik. Beban pengeluaran rumah tangga juga pasti akan meningkat tajam karena harga-harga juga akan naik, karna biaya angkut (mobilitas) barang juga akan naik.
Dikhawatirkan ada tangan-tangan tersembunyi yang memaksakan kehendak agar harga-harga BBM di Indonesia disamakan persis seperti harga internasional karena perusahaan tambang kini telah diizinkan menjadi pengecer (mendirikan pomp bensin) di Indonesia. Logikanya jika harga yang mereka jual mengikuti harga nasional seperti yang diecer oleh Pertamina maka keuntungan yang diperoleh akan tidak maksimal. Sementara sekarang kita lihat di pomp bensin asing yang ada di Indonesia dengan harga yang sedikit saja lebih tinggi, sepi pelanggan. Dugaannya ini merupakan salah satu penyebab Pemerintah ditekan oleh perusahaan multi nasional untuk menyamakan harga minyak Indonesia dengan harga minyak internasional. Jika asumsi ini benar, maka memang Pemerintah kita belum berdaulat dalam banyak hal.
Banyak sumber lain yang bisa digali untuk menutupi kebutuhan anggaran negara yang kurang. Hal itu tergantung kreatifitas Pemerintah melindungi dan memakmurkan rakyatnya. Jadi kenapa harus menaikkan BBM? Yang merupakan suatu tindakan yang tidak populer dan tidak melindungi rakyatnya sendiri? Kini dengan harga minyak internasional turun Pemerintah telah sangat layak meninjau kembali harga kenaikan BBM.

Iswan Kaputra
Pekerja Sosial pada BITRA Indonesia, Medan &
Ketua Forum Masyarakat Asal Labuhan Batu di Medan (FORMAL)

Selanjutnya ...

02 September 2008

Tan Malaka : Bapak Republik, Revolusi, Merdeka 100%


34 artikel menarik seputar Tan Malaka

Majalah Tempo dalam edisi khusus Kemerdekaan mengangkat profil Tan Malaka : Bapak Republik Yang Dilupakan. Tidak tanggung-tanggung edisi Tan Malaka ini terdiri dari 26artikel yang ditulis oleh wartawan Tempo dan 8 kolom/opini yang ditulis oleh pengamat/pakar dari Asvi Warman Adam hingga Ignas Kleden.

Beberapa petikan penting soal Tan Malaka, sehingga terlalu gegabah kalau kita mengabaikan edisi khusus tempo ini, mengabaikan Tan Malaka .....


”Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933)”.

“Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie.”

“Bagi Yamin-yang kemudian bergabung dengan Tan dalam kelompok Persatuan Perjuangan-Tan tak ubahnya Bapak Bangsa Amerika Serikat, Thomas Jefferson dan George Washington: merancangkan Republik sebelum kemerdekaannya tercapai”

"W.R. Supratman sudah membaca seluruh buku Massa Actie itu," kata Hadidjojo. Muhammad Yaminlah yang memaksa Sugondo memberikan waktu bagi Supratman memainkan lagu ciptaannya di situ. Lalu bergemalah lagu Indonesia Raya, lagu yang terinspirasi dari bagian akhir Massa Actie: "Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putra tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah”

“Ia hidup dalam pelarian di 11 negara. Ia memiliki 23 nama palsu. Ia diburu polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris dan Amerika Serikat”.

“Ketika memperingati sewindu hilangnya Tan Malaka pada 19 Februari 1957, Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution mengatakan pikiran Tan dalam Kongres Persatuan Perjuangan dan pada buku Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi) menyuburkan ide perang rakyat semesta. Perang rakyat semesta ini, menurut Nasution, sukses ketika rakyat melawan dua kali agresi Belanda. Terlepas dari pandangan politik, ia berkata, Tan harus dicatat sebagai tokoh ilmu militer Indonesia. “

“....jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka. (testamen Soekarno)”

“Di seputar Proklamasi, Tan menorehkan perannya yang penting. Ia menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan "masih sebatas catatan di atas kertas". Tan menulis aksi itu "uji kekuatan untuk memisahkan kawan dan lawan". Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan gencar”.

Ketua Partai Komunis Indonesia, D.N. Aidit, mengatakan sumber kegagalan pemberontakan 1926 antara lain kurang persiapan dan minim koordinasi. "Tapi, selain itu, ada orang seperti Tan Malaka, yang tidak melakukan apa pun, hanya menyalahkan setelah perlawanan meletus," kata Aidit. Dia juga menyebut Tan sebagai Trotskyite, pengikut Leon Trotsky (lawan politik Stalin), "sang pemecah belah".

”Musso bersumpah menggantung Tan karena pertikaian internal partai”.

"Kongres memberi tepuk tangan yang ramai pada Tan Malaka, seolah-olah telah memberi ovasi padanya," tulis Gerard Vanter untuk harian De Tribune. "Itu merupakan suatu pujian bagi kawan-kawan kita di Hindia yang harus melakukan perjuangan berat terhadap aksi kejam." (Konggres Komintern ke 4)

Tan Malaka adalah Che Guevara Asia – Harry Poeze (penulis gigih Biografi Tan Malaka)
Semoga bermanfaat
Sumber: http://ruangasadirumahkata.blogspot.com. Ditulis oleh; Andreas Iswinarto

Silahkan mengakses link ke seluruh 34 artikel tersebut dibawah ini:
DIA YANG MAHIR DALAM REVOLUSI: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127927.id.html

Jalan Sunyi Tamu dari Bayah: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127930.id.html

Kisruh Ahli Waris Obor Revolusi: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127931.id.html

Si Mata Nyalang di Balai Societeit: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127932.id.html

Gerilya Dua Sekawan: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127936.id.html

Kerani yang Baik Hati: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127939.id.html

Naskah dari Rawajati: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127940.id.html

Bolsyewik yang Terbuang: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127945.id.html

Peniup Suling bagi Anak Kuli: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127949.id.html

Bertemu Para Bolsyewik Tua: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127951.id.html

Dukungan untuk Pan-Islamisme: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127954.id.html

Gerilya di Tanah Sun Man: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127956.id.html

Penggagas Awal Republik Indonesia: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127957.id.html

No Le Toqueis, Jawa!: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127958.id.html

Tumpah Darahku dalam Sebuah Buku: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127959.id.html

Macan dari Lembah Suliki: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127961.id.html

Cita-cita Revolusi dari Tanah Haarlem: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127962.id.html

Sobatmu Selalu, Ibrahim: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127963.id.html

Trio Minang Bersimpang Jalan: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127964.id.html

Perempuan di Hati Macan: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127968.id.html

Wawancara Setelah Mati: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127969.id.html

Persinggahan Terakhir Lelaki dan Bukunya: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127971.id.html

Misteri Mayor Psikopat: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127972.id.html

Kolom Tempo. Tan Malaka, Sejak Agustus Itu. Catatan Pinggir Goenawan Mohamad:
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/CTP/

Tan Malaka: Nasionalisme Seorang Marxis. Ignas Kleden - Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127934.id.html

Tan Vs Pemberontakan 1926-1927. Mestika Zed -Sejarawan Universitas Negeri Padang: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127955.id.html

Republik dalam Mimpi Tan Malaka. Hasan Nasbi A. Program Manager Indonesian Research and Development Institute, penulis buku Filosofi Negara Menurut Tan Malaka (LPPM Tan Malaka, 2004): http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127960.id.html

Pemberontak dari Alam Permai Minangkabau. Zulhasril Nasir - Guru Besar Komunikasi UI dan penulis buku Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau (Ombak, 2007): http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127965.id.html

Madilog: Sebuah Sintesis Perantauan. Rizal Adhitya Hidayat - Bekerja di Universitas Indonusa Esa Unggul: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127967.id.html(

Bukan) Seseorang dalam Arus Utama Revolusi. Bonnie Triyana – Sejarawan-cum-wartawan:
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127970.id.html

Warisan Tan Malaka. Asvi Warman Adam-Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia:
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127973.id.html

Silahkan klik untuk
KARYA/BUKU-BUKU TAN MALAKA ONLINE

Selanjutnya ...

01 September 2008

Pekarangan, Pertahanan Pangan yang Hilang


Lahan yang makin menyempit tak hanya terjadi di sawah, kebun, atau ladang, tetapi juga di pekarangan, lahan yang langsung berdampingan dengan rumah. Fragmentasi lahan menjadikan pekarangan yang merupakan pertahanan pangan terakhir itu nyaris hilang. Kasus kurang gizi sangat boleh jadi akibat dari keadaan ini.

Sekarang kita sulit untuk mendapatkan pekarangan di rumah-rumah di Pulau Jawa. Sampai tahun 1980-an para guru masih mengajarkan bercocok tanam di pekarangan kepada murid-muridnya. Sekarang mungkin hal itu masih diajarkan, tetapi tidak mudah diterapkan. Di depan rumah bukan lagi lahan pekarangan, tetapi sudah menjadi jalan raya. Di belakang rumah lahan makin sedikit dan cenderung berimpitan dengan rumah tetangga.

Meski demikian, jejak pekarangan masih ada. Pekarangan dengan berbagai aneka tanaman dan juga hewan piaraan masih ditemukan di keluarga-keluarga yang umumnya anak-anaknya bekerja di luar kota dan tidak menggantungkan pada lahan milik orangtuanya sehingga lahan itu masih terjaga.

Di sebuah rumah di Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, sebuah keluarga masih bisa memanen berbagai tanaman dan hewan dari pekarangan. Di pekarangan ada ubi, pepaya, lele, sapi, dan lebah madu. Tidak jauh dari rumahnya tersedia sawah yang memasok beras. Setidaknya gambaran seperti ini bisa mewakili profil pekarangan.

Gambaran pekarangan ini memang lebih sederhana dibandingkan dengan pekarangan pada masa lalu yang lebih komplet, yang di dalamnya ada tanaman obat-obatan, pohon bambu, pohon kelapa, pohon jati, dan lain-lain. Tanaman obat-obatan menjadi apotek hidup sehingga bila suatu saat ada anggota keluarga yang sakit, mereka dengan mudah mendapat obatnya.

”Saat ini keanekaragaman hayati pekarangan memang menurun. Peran pekarangan sebagai penopang ekonomi lebih menonjol ketimbang sebagai sumber gizi keluarga. Eksploitasi pekarangan meningkat. Mereka membutuhkan uang untuk kebutuhan sehari-hari,” kata Kepala Pusat Pengembangan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yang juga peneliti pekarangan, Antonius Budisusila.

Pada masa lalu, pekarangan lebih berfungsi sebagai basis pangan rumah tangga dibandingkan sebagai sumber ekonomi. Hasil pekarangan baru dijual ke pasar bila sebuah keluarga membutuhkan pangan lain atau alat-alat rumah tangga yang tidak bisa dibuat sendiri.

Munculnya pekarangan dalam sistem pertanian di Nusantara tidak mudah didapat. Meski demikian, di dalam tulisan The Javanese Homegarden yang termuat di Journal for Farming Systems Research (1992) Otto Soemarwoto dan GR Conway yang mengutip artikel Terra (1954) menyebutkan, berdasarkan sumber tertulis, pekarangan sudah ada pada 860 Masehi. Meski demikian, pekarangan di Nusantara diperkirakan sudah lama ada. Terra menduga Jawa Tengah merupakan tempat asal usul pekarangan.

Akan tetapi, dalam buku Bunga Angin, Portugis di Nusantara (2008) memperlihatkan pelaut-pelaut Portugis yang membuat permukiman di sejumlah tempat juga menanami permukiman atau benteng sekitar dengan berbagai tanaman untuk bertahan hidup. Penulis buku itu, Paramita R Abdurachman, menyebutkan, kedatangan Portugis pada abad ke-16 menjadikan pekarangan penduduk pribumi mulai diolah dan ditanami bunga.

Fakta-fakta di atas sepertinya tidak perlu dipertentangkan, tetapi lebih dilihat sebagai saling melengkapi. Kemungkinan pekarangan memang sudah ada sebelum Portugis datang, tetapi kedatangan Portugis melengkapi tanaman di pekarangan, seperti bunga yang disebut di atas. Kedatangan bangsa lain pun, seperti Belanda, diperkirakan juga melengkapi tanaman dan juga hewan di pekarangan.

Penelitian mengenai pekarangan sudah banyak dilakukan. Sejak zaman kolonial, para peneliti sudah meminati meneliti pekarangan. Dalam History of Java (1817), Raffles menyebutkan, setidaknya terdapat 10 persen pekarangan dari luas areal pertanian yang ada.

Pada tahun 1937 publikasi yang dikeluarkan oleh Ochse memperlihatkan ada hubungan yang kuat antara kualitas pekarangan dan status gizi rumah tangga. Penelitian sebelumnya bersama Terra di Kutowinangun, Kabupaten Purworejo, menunjukkan, sebesar 18 persen asupan kalori dan 14 persen asupan protein penduduk setempat berasal dari pekarangan.

Isi pekarangan juga bermacam-macam hewan dan tanaman. Ada penelitian yang menarik, secara umum ciri pekarangan di Jateng selalu ada tanaman obat. Hal ini terkait dengan kebiasaan orang Jawa yang suka minum jamu. Di Jawa Barat pekarangan dicirikan dengan tanaman sayuran karena orang Sunda suka dengan lalapan.

Ada juga yang meneliti pekarangan dari sisi antropologi. Penny dan Ginting (1984) menyebutkan, secara umum pekarangan diurus oleh perempuan sehingga pekarangan mudah didapat di daerah yang memiliki pola kekerabatan matriarkal di Jawa, Sumatera Barat, dan Aceh. Pekarangan sulit didapat di daerah dengan kekerabatan patriarkal seperti di Sumatera Utara, khususnya masyarakat Batak.

Komoditas pekarangan juga menjadi sarana sosialisasi dengan tetangga. Hasil dari pekarangan tidak sedikit dibagikan kepada tetangga sekitar. Meski demikian, pembagian ini ada juga yang mengandung unsur mistis terkait dengan menghilangkan bahaya atau mengobati penyakit.

Sejumlah penelitian yang dikutip oleh Otto Soemarwoto dan GR Conway itu memperlihatkan perubahan-perubahan stabilitas pekarangan pada masa tertentu. Pada kondisi produksi padi menurun atau terjadi paceklik, makanan pokok sekunder, seperti ubi, diambil dari pekarangan. Penjualan bambu dan kelapa yang dipanen dari pekarangan juga meningkat ketika terjadi paceklik. Pemanenan hasil pekarangan juga menunjukkan peningkatan menjelang Idul Fitri pada saat keluarga membutuhkan uang tunai.

Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Orde Baru mulai bergerak tahun 1969 dengan rencana pembangunan jangka panjang, terdapat sejumlah kelas menengah dan atas yang membutuhkan gizi yang baik. Ini dipenuhi petani dengan memproduksi komoditas-komoditas yang laku di pasar. Akibatnya, terjadi perubahan jenis komoditas yang ditanam di pekarangan secara drastis. Kecenderungan monokultur mengakibatkan masuknya berbagai penyakit. Akibatnya, bisa dilihat hingga sekarang, sejumlah sentra pertanian bertumbangan dan sulit untuk bangkit.

Sementara itu, Budisusila melihat pekarangan muncul ketika pasar dan negara (dan juga kerajaan pada masa lalu) tidak memikirkan pangan rakyat. Rakyat mampu secara mandiri memikirkan ketahanan pangan mereka.

”Pasar dan negara sudah terbukti sejak masa lalu hingga hari ini bukan institusi yang baik yang memikirkan ketahanan pangan rakyat. Rakyat mempunyai inisiatif sendiri yang serius melalui pekarangan,” katanya. Ia juga menyebutkan, pada masa penjajahan Belanda pekarangan mampu menjadi penopang kebutuhan pangan rakyat.

Ideologi kemandirian pangan sebenarnya sudah ada sejak lama di tingkat rakyat. Rakyat mempunyai otoritas untuk memperjuangkan kemandirian pangan, setidaknya melalui pekarangan. Dalam hal ini mestinya negara mendukung, tetapi ada ketidakrelaan negara kalau rakyat mempunyai inisiatif yang kuat sehingga tanpa disadari kemandirian itu terkikis. Di sisi lain ada kepentingan agar kemandirian dirusak karena kalau kemandirian itu kokoh, pelaku pasar alias kekuatan modal tak mampu menawarkan sesuatu kepada masyarakat (konsumen).

Di samping itu, Budisusila melihat pekarangan merupakan cermin kebudayaan rakyat dalam berolah pikir. Pekarangan disusun dengan teknik yang memikirkan aspek ketahanan pangan, ekonomi, artistik, dan mengantisipasi persoalan yang mungkin terjadi dalam jangka menengah dan jangka panjang.


Kompas, 1 September 2008. Ditulis oleh Andreas Maryoto


Selanjutnya ...