29 November 2008

Rakyat Merindukannya


Oleh : Suhari Pane

Ibarat pertandingan sepak bola, LABUHANBATU sudah kalah sejak peluit pertama dibunyikan. Tehnik permainan antar Tim yang sudah kuno, membuat pemain LABUHANBATU kalah. Untuk mengejar ke-tertinggalan. Tim Labuhanbatu memerlukan tehnik baru agar dapat bermain lebih taktis dan berlari lebih cepat. Tehnik baru bermain, hanya mungkin lahir jika Labuhanbatu memiliki pemimpin yang visioner. Seperti apa pemimpin visioner itu? Bung Hatta dalam majalah Daulat Rakyat, 10 September 1933, mengambarkan syarat seorang pemimpin visinoner ini dalam satu kalimat yang lugas: iman yang teguh, watak yang kukuh dan urat saraf yang kuat.

Rakyat yang engan diajak bergerak menjemput perubahan adalah pertanda gagalnya kepemimpinan. Di sana tidak muncul pemimpin berkarrakter kuat, punya kredibilitas yang terjaga, sanggup menjadi inspirasi keteladanan dan mampu menumbuhkan harapan

Sementara Rhenald Kasali, pakar manajemen Universitas Indonesia, menganalogikan pemimpin visioner seperti mata. Ia bukan sekadar mata yang bergerak secara acak, melainkan harus menjadi mata yang jeli melihat sesuatu yang belum terlihat atau bahkan sama sekali tidak terlihat rakyatnya. Bukan itu saja, ia pun sanggup meyakinkan dan mengajak rakyatnya untuk memperjuangkan pandangan masa depannya itu.

Untuk menjadi pemimpin bermata jeli (visionary leader), seorang pemimpin harus berkarakter, punya kredibilitas, menjadi inspirasi keteladanan dan mampu menumbuhkan harapan. Mari kita urai serba sedikit soal ini. Pertama, berkarakter. Pemimpin berkarakter sudah barang tentu bukan sosok karbitan atau yang hanya mengandalkan pengalaman jabatan, jam terbang politik, dan deretan panjang aktivitas kemasyarakatan, tanpa catatan prestasi yang jelas dalam semua kiprahnya itu. Pemimpin berkarakter adalah pemimpin yang mampu membuat skenario masa depan bagi rakyat dan memperjuangkan skenario itu dengan melakukan perubahan mendasar dalam pemerintahan dan masyarakatnya dengan bertopang pada nilai-nilai masyarakatnya sendiri.

Kedua, kredibilitas. Ini menyangkut komitmen, integritas, kejujuran, konsistensi dan keberanian seorang pemimpin untuk bertanggung jawab atas pilihannya. Bukan jenis pemimpin dengan mental tempe, selalu ragu-ragu dan serba lambat mengambil keputusan di antara sekian banyak pilihan yang memang mustahil sempurna. Pemimpin yang kredibilitasnya mumpuni, sejak semula berkuasa siap mem-pertanggung-jawabkan kegagalan tanpa mencari kambing belang. Ia lebih suka mencari apa yang keliru untuk diperbaiki ketimbang mencari siapa yang patut disalahkan. Kredibilitas juga mengandung pengertian adanya ketenangan batin seorang pemimpin untuk memberikan reaksi yang tepat terutama dalam kedaaan kritis. Selain tentu saja kredibilitas juga menyangkut aspek kecakapan dan ketrampilan tehnis memimpin.

Ketiga, inspirasi keteladanan. Boleh jadi ini aspek kepemimpinan yang terpenting dan sekaligus teramat sulit untuk kita temukan kini. Banyak pemimpin di negeri ini yang gagal menjadi sumber inspirasi keteladanan. Mereka tidak sanggup berdiri di barisan terdepan dalam memberi teladan dari dirinya dan lingkungan kekuasan-nya yang terdekat. Pemimpin yang inspiratif, semestinya sanggup secara otentik menunjukkan ketulusan satunya ucapan dengan tindakan, satunya seruan dengan pelaksanaan, satunya tekad dengan perbuatan. Orang Jepang menyebut sikap otentik ini dengan istilah makoto, artinya sungguh-sungguh, tanpa kepura-puraan. Nurcholis Madjid menyebut pemimpin seperti ini sebagai lambang harapan bersama, sumber kesadaran arah (sense of direction) dan sumber kesadaran tujuan (sense of purpose).

Keempat, menumbuhkan harapan. Kita tahu tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemerintah kini begitu rendah. Pemerintah seperti bebek lumpuh yang kehilangan daya. Alih-alih mampu menggugah dan mengerakkan rakyatnya, bahkan niat baik pemerintah-pun acapkali disalah-pahami oleh rakyatnya sendiri. Pemimpin yang memberi harapan adalah pemimpin mampu menjadikan harapan rakyatnya sebagai roh kepemimpinannya. Tidak sebaliknya, secara egois menjadikan harapannya seolah-olah sebagai harapan rakyatnya. Dalam Islam ada adagium yang menyangkut soal ini: Kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang dipimpin, haruslah terkait langsung dengan kesejahteraan mereka (Tasharruf al-imam ala ar-raiyyah manutun bi al-maslahah). Jelaslah sudah, dalam Islam seorang pemimpin yang melalaikan kewajibannya mensejahterakan rakyatnya teramat dicela, sebab ia gagal menumbuhkan harapan bagi rakyatnya.

Moving the People
Titik sentral perubahan di Labuhanbatu ada pada kepemimpinan. Carut-marut keadaan ini kian tidak menentu ujung-pangkalnya lantaran daerah ini sedang krisis kepemimpinan. Kita tidak pernah kekurangan penguasa. Buktinya, setiap musim pemilihan tiba, stok calon penguasa berlimpah adanya. Tetapi kita jelas sedang dihantam paceklik panjang kepemimpinan. Apa buah dari paceklik ini? Taruhan terbesarnya ada pada kesinambungan pembangunan. Selama ini, kegagalan kita membangun bukan karena kita gagal membangun, tetapi lebih karena kita gagal mempertahankan kesinambungan pembangunan.

Para penguasa yang datang silih berganti, seperti tidak punya benang merah yang mem-pertautkan mereka. Inilah buah dari cara penguasa mengelola pembangunan yang hampir sepenuhnya memaknai sebagai struggle for power belaka. Pembangunan katanya, adalah urusan politik lima tahunan masa berkuasa. Pandangannya sebagai penguasa begitu terbatas karena sekat politik yang ia buat sendiri. Cara pandang yang terlalu politik dalam melihat pembangunan jelas berdampak destruktif. Pertama, membuat banyak penguasa berfikir dengan cara apapun ia harus kembali berkuasa. Kedua, penguasa baru biasanya akan menumbang-rubuhkan bangunan yang diwariskan dari penguasa lama. Apa yang sudah baik tidak dilanjutkan. Apa yang buruk, tidak jadi pelajaran. Di sini ada semangat tumpas kelor yang mematikan kesinambungan pembangunan.

Dalam konteks pemimpin yang visioner, jelas cara pandang mengelola pembangunan harus diubah. Pembangunan harus dimaknai sebagai isu manajemen. Yakni, bagaimana seorang pemimpin melakukan proses value creation yang berkesinambungan. Apapun alasannya, siapapun yang memerintah dan apapun tantangannya, isu utama seorang pemimpin bukan lagi struggle for power, melainkan bagaimana ia mengoptimalkan aset yang ada untuk menciptakan kontinuitas kemajuan. Ini penting sekali, agar arah pembangunan dalam skala apapun tidak kehilangan visinya.

Pemimpin yang visioner tidak boleh membuat rakyatnya galau, gelisah, lalu bertanya-tanya dengan hati gundah: mau dibawa kemana gerangan kami ini?

Mengapa kita perlu pemimpin yang visioner? Pemimpin yang mengelola pembangunan sebagai proses pembentukan nilai yang berkesinambungan, bukan hanya sekadar berkuasa untuk lima tahunan? Sederhana saja jawabannya, tanpa semua itu pemimpin akan gagal mengajak rakyatnya untuk bergerak (moving the people) mengatasi carut-marut keadaan. Rakyat yang engan diajak bergerak menjemput perubahan adalah pertanda gagalnya kepemimpinan. Di sana tidak muncul pemimpin berkarakter kuat, punya kredibilitas terjaga, sanggup menjadi inspirasi keteladanan dan mampu menumbuhkan harapan.

Dalam carut-marut keadaan kita terus bermimpi datangnya pemimpin yang membawa perubahan. Pemimpin yang punya kerendahan hati, seperti Abu Bakar Ash-Siddik yang berkata menjelang pelantikan dirinya sebagai khalifah pertama: lastu bi khoirikum in roaatumuuni showaaban fai nuuni wa in roaitumuuni wijaajan fa qowwimuuni (Saya bukanlah yang terbaik di antara kalian, maka jika kalian ketahui saya benar, bantulah saya. Dan jika kalian ketahui saya menyeleweng, luruskan saya).

Selanjutnya ...