13 December 2008

Produk Pertanian Bakal Kena PPN


Kontradiktif dengan Pembangunan Pedesaan
KOMPAS. Sabtu, 13 Desember 2008 | 01:48 WIB
Jakarta, Kompas - Direktorat Jenderal Pajak menawarkan opsi tarif baru Pajak Pertambahan Nilai bagi produk primer pertanian yang diproduksi perusahaan besar dan PPN bagi petani atau penghasil produk pertanian dalam jumlah kecil.
Opsi ini membebankan kembali Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas produk primer pertanian. Langkah ini dinilai akan menguntungkan petani dan pelaku agroindustri.
”Aturan tarif PPN yang ada saat ini membebaskan produk pertanian primer dari PPN. Ini membuat mata rantai pembayaran PPN terputus. Ini akan membuat komplikasi dan masalah. Atas dasar itu, kami berpandangan, produk pertanian harus menjadi BKP (barang kena pajak),” papar Dirjen Pajak Darmin Nasution, Jumat (12/12) di Jakarta.


Menurut Darmin, dalam kebijakan PPN yang baru itu, pemerintah memisahkan antara petani dan produk pertanian. Pemerintah juga menetapkan produk pertanian menjadi BKP.
Sebagai BKP, semua produk primer pertanian kena PPN. Keuntungannya, perusahaan yang memproduksi produk pertanian bisa menyampaikan permohonan restitusi atau pembayaran kembali pajak lebih bayar dari Ditjen Pajak kepada wajib pajak.
Dengan mekanisme ini, perusahaan agroindustri bisa mengajukan restitusi PPN atas alat-alat modal, seperti traktor, atau bahan baku, seperti bibit, pestisida, dan pupuk, yang mereka beli. Restitusi bisa dilakukan saat produk pertanian diekspor atau dijual ke pasar domestik.
Jika produk itu diekspor, perusahaan bisa langsung memohon restitusi. Namun, jika dijual ke pasar domestik, perusahaan bisa mengurangkan PPN yang telah dibayar pada penghasilan kena pajak.
”Maka, jika perusahaan itu membeli alat modal senilai Rp 10 miliar, saat itu dia harus membayar PPN Rp 1 miliar karena tarif PPN adalah 10 persen. Jika produk pertanian yang dijualnya merupakan BKP, perusahaan bisa mengajukan restitusi PPN senilai Rp 1 miliar. Jika statusnya bukan BKP, perusahaan harus menanggung biaya PPN senilai Rp 1 miliar,” tutur Darmin.
Untuk petani yang memproduksi produk pertanian dalam jumlah kecil, Ditjen Pajak mengusulkan dua pilihan kepada Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Amandemen PPN. Pertama, pemerintah menerapkan sistem batas atas. Petani yang beromzet Rp 600 juta per tahun dibebaskan dari pungutan PPN, sedangkan perusahaan beromzet besar di atas Rp 600 juta per tahun kena PPN 10 persen.
Kedua, pemerintah menerapkan tarif PPN khusus bagi petani sebesar 1 persen atau dianggap 1 persen. Dengan mekanisme ini, petani mendapatkan diskon PPN senilai 9 persen. Namun, produk yang diperjualbelikannya tetap dikenai PPN.
Tidak manusiawi
Menanggapi rencana pengenaan PPN terhadap produk pertanian, Ketua Umum Wahana Masyarakat Tani Indonesia Agusdin Pulungan menyatakan, hal itu tidak manusiawi dan kontradiktif terhadap pembangunan pedesaan. Mengingat kemiskinan terutama melekat pada diri petani yang tinggal di desa.
Selain itu, daya beli masyarakat juga menurun akibat pelambatan pertumbuhan ekonomi. ”Belum lagi margin usaha tani rendah, selain kenaikan biaya produksi. Kalau pajak produk pertanian dikenakan, petani yang sudah miskin tambah menderita,” katanya.
Senada dengan Agusdin, Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Siswono Yudo Husodo menyesalkan pemerintah yang masih belum optimal mengembangkan pertanian. Saat harga produk pertanian melemah, pemerintah malah ingin menerapkan kembali PPN.
”Mestinya pemerintah memberi insentif yang mendorong industri pertanian agar sumber gizi dan protein bangsa terpenuhi. Bukan malah menjadikannya sebagai obyek pungutan,” kata Siswono. (OIN/MAS/ham)
Sumber Harian KOMPAS, 13 Des 2008
====================================================
Menyedihkan sekali nasib para saudara tani yang memberi makan kita dibuat para birokrat kita. Kita harus berbuat/bertindak untuk ini !!!
Selanjutnya ...