27 October 2009

Radio Komunitas Mitra FM; Dari Suara Hati Sampai Aksi Peduli


Radio yang dikelola langsung oleh mayarakat ternyata mampu memberi dampak poitif perubahan yang begitu luas bagi pengembangan kapasitas dan kebersamaan kelompok mayarakat itu sendiri ............

Siang cukup panas, debu mengangkasa dari jalan yang sebahagian belum selesai di aspal. Para petani yang sudah selesai mengurus sawah ladangnya kemudian melanjutkan tugas mencari rumput untuk pakan ternak. Tetapi berbeda dengan pak Yatimin yang biasa dipanggil Iwan. Pria berusia 47 tahun ini memacu sepeda motornya menuju sebuah rumah dipinggir jalan. Rumah asri dengan halaman yang cukup luas. Didepannya berdiri Tiang yang cukup tinggi, Tiang Pemancar Radio rupanya.

“Saya mau siaran dulu, nanti sore setelah selesai siaran baru cari rumputnya” ujar Pak Iwan dengan senyumnya yang khas.

Di dusun Tanjung Anom, Desa Tandem Hilir II Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang inilah tempat stasiun radio Mitra didirikan. Sebuah radio komunitas yang telah aktif mengudara semenjak tahun 2006 yang lalu. Radio ini berdiri atas prakarsa masyarakat bersama dengan Yayasan Bitra Indonesia yang melihat komunikasi antar warga yang sebahagian besarnya petani sebagai sebuah media perubahan yang baik sekaligus media efektif penyalur informasi mengenai hal-hal perkembangan dan isu-isu terkini pertanian.

Sarana Pengembangan Diri

Lir ilir tandure wes semilir, Ijo royo royo tak sengguh penganten anyar (lir ilir tanamannya sudah mulai hidup, warnanya hijau menghampar). Lagu Ilir dan Shalawat Badar yang dinyanyikan dalam bahasa jawa langsung mengudara sampai ke radio-radio ketika Pak Iwan dengan piawai memulai aksinya sebagai penyiar. Ia terlihat tidak canggung lagi membawakan acara campur sari yang sudah tiga tahun lebih dibawakannya. Meskipun tidak memiliki latar belakang pendidikan penyiaran, tetapi Pak Iwan dan dua puluh lima orang penyiar aktif lainnya tak kalah piawainya jika dibandingkan dengan penyiar kawakan lainnya. Pengalaman memang guru yang paling baik.

“Tiga bulan setelah radio jalan, saya dipanggil kawan-kawan untuk ikut jadi penyiar di radio ini. Awalnya saya gugup tapi lama kelamaan saya terbiasa dan sangat menyenangi kegiatan ini”

Pak Iwan mengakui sangat bersyukur dengan kehadiran radio ini. Semenjak bergabung, ia merasakan perubahan positif dan kemajuan dalam dirinya. Tetapi yang lebih membuat dirinya mencintai kegiatan sebagai penyiar di radio komunitas ini adalah dirinya bisa ikut terlibat aktif dalam hal menyampaikan informasi-informasi yang berguna bagi petani. Pak Iwan mengaku sering mendengar dan menyampaikan keluhan petani mengenai pupuk yang semakin susah didapat dan harganya yang semakin tinggi lalu menjadikannya sebagai topik pembahasan untuk menemukan solusinya.

Bagi pak Iwan, menjadi penyiar di Radio bukanlah untuk mencari penghasilan tetapi lebih kepada bentuk pengabdiannya bagi perubahan masyarakat.

“Saya sehari-harinya bekerja sebagai buruh tani. Jadi untuk memenuhi kebutuhan dasar saya dan keluarga saya ya dari hasil sebagai buruh tani itu. Di radio Mitra ini, saya Cuma dapat pengganti transport saja yang uang nya berasal dari pembelian kupon. Tetapi saya tetap mencintai kegiatan saya sebagai penyiar radio di sini karena di Mitra ini saya dapat lebih mengembangkan diri saya selain saya jadi punya banyak kawan dan saudara serta bisa ikut menyebarkan informasi-informasi yang berguna bagi masyarakat” tutur pak Iwan, roman bahagia terpancar di wajahnya.

hal senada juga di utarakan Arum, salah seorang penyiar wanita yang ada di radio itu. Meskipun baru tiga bulan menjadi penyiar, Arum mengaku sangat senang dan telah merasakan manfaat positif atas kehadiran radio ini.

“Jadi penyiar itu gak ada sedihnya, senang terus. Semenjak jadi penyiar teman saya jadi makin banyak” ujar Arum yang semenjak menjadi penyiar di Mitra langsung di percaya untuk membawakan siaran di radio Pemda Stabat.


Radio untuk Bersama

Sambutan baik akan kehadiran radio ini tidak hanya datang dari penyiar saja, tetapi juga dari masyarakat pendengar. Hal ini terbukti dengan terus bertambahnya jumlah anggota dan fans yang tersebar di tujuh wilayah; langkat, stabat, secanggang, labuhan deli, wampu, hinai dan binjai utara. Saat ini jumlah anggota radio yang disebut dengan foker sudah mencapai tiga ratus orang lebih. Foker ini bukan saja sekedar anggota tetapi juga merupakan pemegang saham radio.

Menjadi anggota foker sekaligus pemegang saham radio ini pun tidak sulit, kita tinggal menggabungkan diri kedalam kelompok-kelompok foker yang sudah ada atau jika belum ada kelompok foker di daerah kita, kita bisa membentuknya lalu mendaftarkannya ke radio. Tabungan saham perbulannya yang menjadi kewajiban anggota foker pun tidak mahal, hanya seribu rupiah setiap bulannya.

Selain menjadi pemegang saham sekaligus pemilik radio, keuntungan lain yang didapat oleh anggota foker adalah pelatihan-pelatihan peningkatan kapasitas diri yang sering diselenggarakan oleh radio maupun Yayasan Bitra Indonesiapun bisa diikuti.

Pertemuan bulanan antara anggota foker dan fans lainnya yang sering disebut dengan kopi darat juga menjadi sebuah momen tersendiri. Pertemuan ini di adakan satu bulan sekali. pada kesempatan inilah antar anggota dan fans yang biasanya bertegur sapa lewat udara bisa bertatap muka langsung. Pada pertemuan ini juga dilakukan muyawarah untuk membahas perkembangan dan perencanaan mengenai radio kedepannya.

Saling Peduli Saling Berbagi

Berpadu dalam kata, bersatu dalam kerja bersama meraih cita. Kalimat yang terpampang di ruang siaran itu menggambarkan bahwa kehadiran radio komunitas ini tidak hanya untuk saling bertegur sapa dan bertukar informasi, tetapi juga untuk meningkatkan solidaritas terhadap persoalan-persoalan sosial di ruang lingkup masyarakat pendengarnya.

“Kita tidak hanya fokus pada penyiaran saja, tetapi kita juga aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial. Misalnya, waktu itu ada salah seorang fans kita yang rumahnya terbakar, kita langsung siarkan di radio dan langsung semua pendengar dan anggota foker menggalang bantuan dan datang membantu. Pernah juga ada kejadian angin ribut yang menghancurkan rumah fans, kita juga respon dengan cepat ” ungkap Tohir seorang pengurus radio.

Kini, Radio Komunitas Mitra telah memiliki program dompet peduli yang aktif untuk ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial. Penggalangan dompet peduli ini dilakukan setiap satu bulan sekali saat pertemuan bulanan seluruh masyarakat pendengar dilakukan. Dompet peduli ini kemudian dibagi kedalam lima peruntukan yaitu; bencana alam, sumbangan anak yatim, pembangunan rumah ibadah, tabungan kas dan untuk membantu swadaya pertemuan yang dikeluarkan oleh tuan rumah penyelenggara pertemuan. Tetapi biasanya menurut Tohir, Tuan rumah penyelenggara mengembalikan kembali uang itu untuk ditabung di kas, guna sumbangan sosial apabila ada anggota yang mendapat kemalangan, sakit maupun melahirkan.

Tidak hanya berhenti pada kegiatan-kegiatan sosial yang sudah rutin dilakukan, anggota kelompok radio ini juga aktif dalam kegiatan-kegiatan yang menitik beratkan pada perubahan pola pikir untuk ikut mencintai dan menjaga lingkungan. Berbekal pengalaman dan ilmu yang didapat dari pelatihan-pelatihan yang sering diadakan oleh Pengurus Radio maupun Yayasan Bitra Indonesia, anggota kelompok juga aktif dalam melakukan kampanye pengolahan lahan pertanian yang selaras dengan alam dan kesehatan alternatif yang menggunakan ramuan-ramuan tanaman obat tradisional.

Dalam waktu dekat ini, pengurus radio juga merencanaklan akan melakukan aksi penghijauan dengan menanam dua puluh ribu pohon mahoni dan tanaman obat. Untuk itu seluruh anggota dan masyarakat pendengar yang ikut berpartiipasi sudah mulai melakukan pembibitan yang kemudian akan disumbangkan untuk acara penghijauan nantinya.

Berpadu dalam kata, bersatu dalam kerja bersama meraih cita. semangat untuk menuju perubahan kearah yang lebih baik dari segala sisi menjadi deru nafas aktivitas radio yang dikelola langsung oleh kelompok mayarakat ini. Pengalaman memberikan mereka keahlian tersendiri untuk bisa mengembangkan sebuah radio sehingga bisa menghasilkan perubahan positif yang nyata. Tak hanya di desa Tandem Hilir II ini saja Yayasan Bitra Indonesia terlibat aktif dalam memberikan ruang dan kesempatan bagi kelompok masyarakat untuk bisa mengembangkan radio komunitas. Di beberapa desa lainpun Yayasan Bitra Indonesia telah berhasil menciptakan hal serupa.

Sore menjelang, Pak Iwan keluar dari ruang siaran. Dengan senyum bahagia ia langsung menuju sepeda motornya; “Saya mau ngarit rumput untuk pakan ternak dulu” ujarnya, suka cita tergambar jelas di raut wajahnya. Tak ada waktu yang terbuang sia-sia. Lantunan lagu masih terdengar dari dalam ruang siaran, mbak Arum melanjutkan siaran sambil membacakan pesan-pean yang masuk lewat kertas kupon dan isi pesan di ponselnya. Lir ilir tandure wes semilir, Ijo royo royo tak sengguh penganten anyar (lir ilir tanamannya sudah mulai hidup, warnanya hijau menghampar) lagu lir Ilir dan shalawat badar kembali mengudara di sore yang cerah itu.
(Teddy Wahyudi Pasaribu)
Selanjutnya ...

Pulau Gambar; Perseteruan Sunyi Model Pertanian


Revolusi hijau telah memperkenalkan model pertanian modern yang serba instant dan sarat dengan produk kimia yang pada akhrinya memenjarakan petani kedalam sebuah bentuk ketergantungan dan biaya produksi yang melangit, sementara semenjak dulu nenek moyang kita telah belajar dari alam tentang model pertanian yang menghargai dan selaras dengan alam.

Bertandanglah kepulau gambar. Nama dari sebuah desa yang terletak di wilayah administratif Kabupaten Serdang Bedagai. Lintasilah ruas jalan desanya yang kecil dan belum beraspal. Di kedua sisi jalan itu, ada lautan sawah yang sebahagian padinya mulai menguning dan rumah-rumah bersahaja di jaga pepohonan. Menegaskan secara kasat mata bahwa desa ini adalah desa yang masih berdamai dengan alam.
Sekilas memang desa ini tampak biasa; Petani yang kebanyakan lelaki menjerang keringat di ladang dan persawahan, truk hilir mudik mengangkat hasil panen dan anak-anak sibuk dengan sekolahnya. Tetapi jika diamati lebih dalam, akan terlihat nuansa perseteruan antara kearifan lokal model pertanian tradisional yang kini semakin memudar dengan menjamurnya modernitas pola pertanian akibat dari gempuran revolusi hijau.
“saya sudah hampir sepuluh tahun menanam cabai. Dan kendala yang paling saya rasakan kalau pupuk lagi langka di pasaran, apalagi sekarang pupuk makin mahal dan susah untuk mendapatkan yang bersubsidi.” Ungkap Ponijo, salah seorang petani di desa itu yang menggantungkan hidupnya dari hasil panen setengah hektar ladang cabainya.
Langka dan mahalnya pupuk di pasaran membuat para petani kalang kabut memikirkan nasib sawah ladangnya yang (menurut sebahagian besar petani) takkan mungkin bisa menuai panen apabila tanaman dan tanah mereka tak diberi makan pupuk pabrikan. Ini merupakan salah satu gambaran nyata akibat dari pola pertanian modern yang pada akhirnya membuat petani kehilangan kemampuannya untuk mengatasi persoalan pertaniannya dengan menggunakan potensi lokal yang ada. Akibatnya, biaya selama proses tanam yang harus dikeluarkan petani semakin besar dan meningkat setiap tahunnya. Seperti yang dialami oleh Ponijo
“Sekarang ini semakin sulit, untuk setengah hektar ladang cabe saya itu modalnya kalau lima juta saja masih kurang; untuk beli bibit unggulnya, buat bedengannya. Belum lagi untuk plastik pembungkusnya. Tapi yang paling banyak makan biaya itu ya beli pupuk untuk perawatannya semisal HCL, P 36, CSP, NPK nya.”
Persoalan lain yang kemudian mencuat adalah mengenai jatuhnya harga jual hasil panen, sehingga tak jarang petani mengalami kerugian. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini terjadi adalah pola pertanian modern yang menerapkan model kawasan monokultur, dimana petani-petani di musim yang sama menanam jenis tanaman yang sama sehingga ketika musim panen-yang biasa disebut dengan panen raya komoditas, jumlah produk hasil panen melimpah. Akhirnya harga jualnya pun terjun bebas.

Nenek Yang Masih Bertahan
Diantara hiruk pikuk keluh kesah mahalnya pupuk pabrikan, Nek Sarkinem, begitu biasanya perempuan usia 54 tahun ini disapa. Tanpa beban mengayunkan cangkul di bedengan tanaman ubi jalarnya. Nek Sarkinem mengaku semenjak kecil ia sudah tinggal di desa ini bersama dengan neneknya. Menurut pemaparan Nek Sarkinem, dulu di desa ini petaninya tidak kenal sama yang namanya pupuk-pupuk pabrikan. soalnya-masih menurut nek Sarkinem, tanah di desa ini dulu sangat subur sekali. Nek sarkinem semenjak kecil ikut kakek neneknya bercocok tanam di desa ini dan mereka tidak memakai “pupuk beli” istilah nek Sarkinem untuk pupuk kimia pabrikan. tetapi menurutnya, hasil panennya tak kalah bagusnya dengan hasil panen sekarang yang kebanyakan sudah memakai pupuk beli itu tadi.
“Dulu waktu baru pertama kali pindah ke kampung ini, tanahnya masih sangat subur sekali . kakek nenek saya dulu nggak pernah pakai pupuk-pupuk beli kayak sekarang. Hasil panennya bagus-bagus. Malah lebih bagus dari yang sekarang ini. dulu sawah kami itu nggak pakai di semprot-semprot racun kayak sekarang ini, tapi hasil panennya tetap bagus-bagus dan segar” tutur nek Sarkinem sambil sesekali menyeka keringat di keningnya yang berkerut.
Meski tubuhnya telah ditaklukkan usia, tetapi semangat bercocok tanam tak pernah hilang dari kehidupannya. Di usia senjanya ini ia menyulap lahan sempit perkarangan rumahnya menjadi kebun-kebun padat tanaman. Di halaman depan rumahnya ada tiga bedengan ubi jalar yang masing-masing panjang bedengannya sekitar tiga meter.
Beberapa senti dari bedengannya, pohon-pohon terung mulai tumbuh. Belum lagi jajaran pohon pisang banten sebagai batas halamannya dengan parit. Disamping rumahnya, Nek sarkinem membangun apotik hidup; temulawak hidup makmur dilahan sempit itu. Di belakang rumahnya, ia menanam ratusan batang bayam. Nek sarkinem mengaku ia tak pernah memakai pupuk beli untuk merawat tetanamannya itu. Ia bisa membuat pupuknya sendiri. Nek sarkinem menggunakan Sisa jerami padi yang diendapkannya di kolong kandang kambingnya. Jerami-jerami padi itu kemudian menyatu dengan kotoran kambing. Setelah beberapa hari campuran itu kembali berbentuk seperti tanah.
Nah inilah asupan nutrisi yang di suguhkan Nek Sarkinem untuk tanamannya. Hasilnya, tanamannya tumbuh subur. Pengetahuan tentang membuat kompos ini didapat nek Sarkinem dari kakek neneknya dulu. Menurut nek Sarkinem, petani dulu tidak membakar jerami padinya seperti yang sering dilakukan petani jaman sekarang. Mereka mengolah jerami padi itu menjadi kompos untuk meningkatkan kesuburan tanah mereka. Selain itu nek Sarkinem juga menerangkan kalau kebiasaan menanam beberapa jenis tanaman di satu lahan juga didapatnya dari kebiasaan kakek-neneknya dulu.
Orang-orang dulu sering menyebutnya dengan nama tumpang sari. Selain itu, ia bercerita kalau petani-petani dulu tidak menanam jenis tanaman secara seragam. Masing-masing petani menanam jenis tanaman yang berbeda sesuai dengan hasil musyawarah para petani di kampung itu. Sehingga setiap panen, jenis tanamannya beragam, jadi harganya tidak turun karena persaingan harga. Dan hasil panenpun tidak semuanya dijual, sebahagian disimpan di dalam lumbung untuk kebutuhan sehari-hari. Dan para petani dulu masih sering bertukar hasil panen.
Tapi kini semuanya berubah, ketika panen tiba para petani mulai dijalari rasa khawatir kalau-kalau hasil panennya tidak habis terjual sebab hasil panen sekarang ini lebih cepat busuk kalau tidak diberi pengawet. Akibatnya banyak petani yang hasil panennya seragam pasrah dengan harga yang ditentukan oleh para pemborong dan tengkulak..
Meskipun tak lagi bercocok tanam di lahan yang luas seperti dulu, Nek Sarkinem tetap saja menumpahkan hasrat bercocok tanamnya di lahan sempit perkarangan rumah dan tetap menjaga tatacara bertani yang diajarkan kakek-neneknya dulu. Sebab ia meyakini bahwa cara bertani model dulu lebih mudah, murah dan menghargai alam.
(Teddy Wahyudi Pasaribu)
Selanjutnya ...