28 January 2009

Menatap Masa Depan dari Warung Kopi di Sibolangit


Sekitar pukul 12.30 WIB, di sebuah warung kopi pinggiran jalan utama Desa Kuala, Sibolangit, Deliserdang—sekitar 40 km dari Medan—tak kurang dari 10 murid sekolah dasar tampak mengerubungi seorang perempuan yang tengah duduk sambil mengoret-oret di atas kertas lusuh. Tubuh mereka menyandang tas lusuh, sedangkan tangan mereka memegang beberapa buku bacaan.
Mereka bukan mau minum kopi, makan, ataupun main catur seperti kebiasaan masyarakat Karo. Mereka sedang antusias mencari dan meminjam buku, baik itu buku pelajaran, sastra, cerita legenda, maupun buku-buku lainnya.
Ya, tempat ini adalah sebuah perpustakaan yang dikelola langsung oleh rakyat. Perpustakaan yang dibuat di warung kopi ini disebut tambar (dalam bahasa Karo berarti ”obat”).

Setiap harinya, paling tidak 5–10 buku yang dipinjam para murid tersebut setiap harinya. Lain lagi para orang tua yang ada di kampung itu, mereka akan berebut bila ada buku mengenai tata cara menanam buah cokelat, cabai, dan legenda rakyat.
”Saya paling sering meminjam buku tentang resep makanan. Jadi kalau pulang dari sawah dan pekerjaan rumah telah selesai, kan bisa juga dicoba,” ujar Nuriati br Barus (42) kepada SH saat meminjam buku di Satelit Kotak Tambar (SKT) I Desa Kuala. Nuriati juga kerap meminjam beberapa buku pelajaran untuk 3 anaknya yang kini tengah menempuh pendidikan di SD dan SLTP.
Bagi Nuriati, keberadaan tambar sangat membantu menambah wawasan dan daya baca keluarganya. Untuk pengadaan buku-buku pelajaran anak-anaknya yang bersekolah, tambar menjadi salah satu tumpuan harapan mereka yang sehari-hari cuma meletakkan hidup atas hasil panen kebun cokelat.
Bayangkan saja, kata Nuriati, setiap kali kenaikan kelas, semester ataupun catur wulan pelajaran, dia dan suaminya harus menyediakan uang sebesar Rp 750.000 untuk membeli buku bagi anak-anaknya. Itu sangat memberatkan.
Tak heran bila tidak seluruh buku bisa disediakan oleh Nuriati, tapi kebutuhan buku jadi sangat prioritas bagi anak-anaknya. Makanya, tambar menjadi salah satu solusi atas masalah pengadaaan buku anak-anaknya.
Saat ini, setiap minggu sedikitnya ada 50 buku yang dipinjam dari tambar tersebut. Para peminjam biasanya cukup taat untuk mengembalikan buku yang mereka pinjam.
Selama 2 tahun tambar tersebut didirikan, perpustakaan ini telah mengoleksi sekitar 103 buku hingga Februari 2003 lalu. Buku yang dikoleksi juga beragam, mulai dari majalah, koran, buku cerita rakyat, pertanian, pelajaran sekolah, resep makanan, lingkungan, sosial politik, budaya, sampai ke filsafat.
”Buku-buku tersebut seluruhnya berasal dari BITRA Indonesia dan Yayasan Ekowisata Sumatera (YES),” terang Murniati br Bukit (42), perempuan Jawa bersuamikan Jacob Ginting yang mengelola SKT I di Desa Kuala, Sibolangit.
Meski buku-buku untuk di tambar itu terus bertambah setiap tahunnya, Murniati masih merasa sangat kekurangan. Setidaknya, soal ketersediaan atas pilihan buku yang beragam.
”Buku pelajaran anak-anak sekolah saja cuma ada 49 judul. Yang meminjam padahal cukup banyak. Jadi terpaksa kalau mau pinjam harus antri,” jelas Murniati lagi.
Minimnya ketersediaan buku itu dapat dimaklumi. Peminjam buku sebenarnya tak hanya berasal dari Desa Kuala saja, bahkan ada warga yang berasal Pancur Batu—sekitar 20 km dari Desa Kuala—yang meminjam buku ke SKT I.
Hal ini diperbolehkan karena si peminjam biasanya pernah tinggal di Desa Kuala, lalu pindah ke tempat lain dan datang ke Kuala lagi untuk pinjam buku. Syaratnya adalah kepercayaan. Buku dipinjam paling lama satu bulan. Setelah itu, buku harus dikembalikan.
”Hingga kini hanya 5 buku yang hilang. Sebagian buku yang hilang itu adalah buku cocok tanam cokelat, cabe, legenda rakyat maupun perobatan tradisional. Para peminjam yang menghilangkan buku itu telah berusaha menggantinya, tapi mereka belum menemukan jenis buku yang sama seperti yang telah dihilangkan,” ungkap Murniati.
Tambar serupa juga didirikan di 4 desa lainnya, yakni Desa Bengkurung, Desa Sayum Gugum, Desa Pasar Baru, dan Desa Sayum Sabah. Desa Sayum Sabah adalah Pusat Satelit Kotak Tambar (PSKT). PSKT ini dikelola langsung oleh BITRA Indonesia, sebuah LSM yang bergerak di bidang pertanian, ekonomi kecil, dan pemberdayaan masyarakat.
Menurut Ir Soekirman, salah seorang Badan Pendiri BITRA Indonesia yang juga penggagas tambar ini, ide tersebut berawal ketika mereka akan membentuk kelompok-kelompok binaan di masing-masing desa tersebut yang kemudian akan dibina menjadi kelompok-kelompok pembaca. Dan untuk melaksanakannya, mereka bekerja sama dengan LSM lainnya, yakni Yayasan Ekowisata Sumatera (YES).
Dari hasil penelitian kedua lembaga tersebut, kedai atau warung kopi adalah lokasi paling tepat untuk mendirikan tambar tersebut. Kebiasaaan masyarakat Karo selalu berkumpul di warung kopi, baik saat menghabiskan waktu, juga saat menunggu angkutan umum.
Tambar dianggap efektif digunakan masyarakat desa bila didirikan di warung kopi-warung kopi itu. Harapannya, tambar bisa menjadi obat bagi ”kerinduan” masyarakat desa atas kebutuhan membaca yang selama ini sulit mereka dapatkan.
Program ini juga didukung oleh perusahaan besar yang di berada Jakarta. Mereka menyumbang buku dalam jumlah yang lumayan besar.
”Saat ini saja ada sekitar 3.250 judul buku. Selain kalangan swasta, program pengadaan buku ini juga dibantu beberapa perguruan tinggi dan 4 konsulat di Medan,” kata Soekirman.
Di samping itu, sebuah industri minuman ringan juga menyediakan dana sebesar Rp 150.000 per bulan bagi setiap pengelola tambar selama setahun. Untuk penyebaran buku, biasanya buku yang telah dibaca oleh banyak warga di salah satu tambar, akan didistribusikan ke tambar lainnya.
Menurut Soekirman lagi, sebenarnya program ini membuktikan masyarakat desa itu sangat membutuhkan buku. Ketidaktersediaan buku dan harga buku yang tak terjangkau telah membuat rakyat Indonesia asing terhadap buku.
”Untuk pintar dan berdaya, masyarakat harus banyak membaca buku, tapi mimpi itu masih ada di puluhan tahun ke depan, di mana masyarakat secara menyeluruh bisa mendapatkan buku secara gampang dan murah. Bayangkan saja, di Sumut hanya ada beberapa perpustakaan yang jelas tak bisa memenuhi kebutuhan membaca rakyat yang memang rindu akan bacaan,” ujar Soekirman lagi.
Lain lagi halnya dengan Direktur Eksekutif YES Hamonangan Siringo-ringo. Berangkat dari tingginya niat baca masyarakat desa, lembaganya kini malah tengah mengkaji sebuah program pustaka di kawasan-kawasan industri di Medan. Harapannya tetap membuka cakrawala masyarakat dengan membaca buku.
”Dan kita telah survei lokasinya. Mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa terealisasi,” kata laki-laki yang akrab dipanggil dengan Monang ini.
Buku jadi demikian berharganya. Mungkin karena berharga, akhirnya ia jadi mahal. Pemerintahpun sangat antusias membuat buku menjadi sesuatu yang asing bagi masyarakat yang ingin pintar dan maju.
Mungkin inilah salah satu cara alternatif untuk merangkai impian masyarakat makmur sejahtera. Ketika pustaka yang berdiri di tengah hutan beton di tengah kota begitu jauh untuk dijamah.
Tambar dan warung-warung kopi jadi pengobatnya. Ya, obat merangkai masa depan Indonesia yang lebih baik.
(SH/darma lubis)
Tulisan ini dikutip dari: http://www.sinarharapan.co.id

Selanjutnya ...

08 January 2009

PEMBANGUNAN PRO-POOR ... ???



Mempertanyakan Konsep Rancangan RTRW Kota Medan 2006 – 2016, Revisi 2008 - 2028

Sekedar mengingatkan bahwa suatu pemerintahan dapat beroperasi dengan baik atas dukungan utama dari pajak yang dibayar oleh masyarakat, baik pajak langsung – pajak yang tertera dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah (Perda) untuk menarik kontribusi material dari masyarakat melalui berbagai macam ketentuan pajak dan restribusi – maupun pajak yang tidak langsung – yang dibayarkan oleh masyarakat melalui pembelian barang-barang konsumsi, dimana di dalam harga barang-barang yang dibeli tersebut telah masuk (include) item komponen pajak yang harus dibayar oleh perusahaan pada negara. Artinya bahwa perusahaan memasukkan item komponen pajak dalam setiap satuan barang produksinya, kemudian akan ditentukan harganya untuk dilepas pada pasar, dijual ke konsumen. Otomatis konsumen yang menanggung beban pajak dalam barang.
Bukan hanya itu, konsumen (dalam hal ini, baca: masyarakat) juga menanggung berbagai beban seperti biaya distribusi dan iklan (jadi jangan kira bahwa acara di televisi yang bagus-bagus sekarang ini dapat kita nikmati dengan gratis, sama sekali tidak karena perusahaan telah menentukan biaya iklan – termasuk iklan tv – yang dibebankan pada harga jual suatu barang, yang artinya harus dibayar oleh konsumen, masyarakat.


Mengenai hal konsumen (masyarakat) yang menanggung item pajak dalam produksi suatu barang ini sangat perlu diketahui karena anggapan umum dan kalangan pemerintah selama ini bahwa perusahaan, pabrik dan investasi akan membawa keuntungan yang sangat besar bagi pemerintah karena akan membayar pajak pada negara. Ini pandangan yang sangat keliru dan tidak analitis, apalagi substansi. Jika dipetakan alurnya secara matang menggunakan logika ekonomi dengan menghitung beban produksi dan cara menetapkan suatu harga barang dimana pajak termasuk dari salah satu faktor beban yang harus dihitung untuk menentukan harga, maka anggapan perusahaan yang membayar pajak pada negara adalah, sekali lagi keliru. Konsumen (masyarakat pembelilah) yang membayarnya.
Hal di atas berakibat buruk pada pemahaman berbagai kalangan untuk perencanaan pembangunan yang akhirnya arus utama perencanaan pembangunan jelas sangat berpihak pada pemodal, bukan pro-poor.
Untuk perusahaan-perusahaan yang sifatnya memproduksi barang, terutama yang produksinya dipasarkan untuk pasar lokal dan dalam negeri, dalam konteks ini dapat kita pahami bahwa bukan perusahaan yang menanggung, atau membayar pajak pada pemerintah – lebih jauh dan ironis lagi, banyak pula perusahaan yang mengemplang (tidak bayar) pajak, ini berarti pajak yang dititipkan masyarakat lewat pembelian barang-barang konsumtif ditelap oleh perusahaan – karena secara kasat mata kelihatannya perusahaanlah yang menyerahkan pajak tersebut pada pemerintah, namun masyarakat (konsumen)-lah yang membayar.
Untuk itu, harapan dari masyarakat tentulah dilakukan pula apa yang diamanatkan masyarakat untuk dijalankan dengan baik oleh negara secara benar dan ideal. Sesuai dengan cita-cita luhur dalam pendirian dan berjalannya sebuah negara. Yakni, karena negara beroperasi dibiayai oleh rakyatnya maka sangat wajar jika harapan rakyat pada negara juga adalah bagaimana rakyat difasilitasi dalam hidupnya. Fasilitas tersebut berupa sokongan secara moral dan fisik agar rakyat dapat mencapai kesejahteraan dalam kehidupannya. Yakni sisi ekonomi, sosial, budaya, perlindungan hak-hak dan berbagai macam jaminan yang lainnya.
Melihat kondisi pemerintahan sekarang dan pemerataan kesejahteraan masyarakat saat ini harapan di atas terlalu jauh dari kenyataan yang ada, utopis kelihatannya. Masyarakat berkontribusi memberikan pajak dan restribusi pada negara lalu negara melaksanakan tugasnya dengan melalakukan imbal balik dengan memberikan fasilitas dan menjamin terpenuhinya kebutuhan dan hajat hidup masyarakat untuk mencapai kesejahteraan dalam bentuk pembangunan yang benar-benar diperuntukkan kepentingan masyarakat.
Pembangunan yang benar-benar diperuntukkan pada kepentingan masyarakat dan pro-poor (berpihak pada rakyat miskin)…??? Hal tersebut sungguh menjadi pertanyaan yang sangat besar saat ini. Mungkin hanya ada di buku-buku komik atau film bolywood yang sangat dramatis, fantastis dan romantisme keberpihakan pada rakyat miskin. Meskipun dalam pijakan prinsip pembangunan di Sumatera Utara, visi-missi propinsi Sumatera Utara, dan hal ini juga biasanya tercantum dalam visi-missi propinsi maupun daerah lain, salah satu visi-missi tersebut adalah pembangunan yang berpihak pada orang miskin pro-poor. Namun hampir semua pakar perencana pembangunan tahu, biarkanlah itu hanya ada dalam buku dan catatan-catatan yang memperindah dan mempermanis kata-kata, juga untuk kepentingan kampanye pencitraan diri pemimpin tertentu atau kepala daerah tertentu. Toh… tidak ada gugatan secara massal dari rakyat mengenai kebohongan ini... !!!
Sudah sangat biasa kita temui bagaimana orang-orang yang menjalankan amanah rakyat menikmati berbagai fasilitas kemewahan dari fasilitas kantor, rumah dinas, kendaraan dinas, sampai hal-hal yang sifatnya bepergian dengan tujuan belajar (studi banding) sekalian plesiran, bahkah tidak sedikit kejadian studi banding disalah gunakan hanya untuk menikmati daerah-daerah wisata dan memenuhi syarat untuk menghabiskan anggaran dari pada tidak tercapai karena sudah direncanakan dalam rancangan anggran, yang jika tidak menjadi pejabat belum tentu hal tersebut bisa dilakukan. Semuanya menggunakan fasilitas negara yang notabene dibiayai oleh rakyat. Berbagai macam kenyamanan yang disediakan tersebut sedianya dimaksudkan agar pemimpin suatu daerah dapat bekerja maksimal untuk memikirkan dan merancang secara maksimal pula apa yang terbaik bagi rakyatnya. Namun hal ini seperti dikhianati dengan logika rakyat menyediakan fasilitas (termasuk gaji) melalui pembayaran pajak dan restribusi (langsung dan tidak langsung) namun para pemodal (investasi lokal maupun internasional) yang difikirkan secara maksimal oleh birokrat kita untuk masuk dan mendapatkan fasilitas terbaiknya. Jika hal ini yang sungguh terjadi maka birokrat kita tak ubahnya menjadi gerbang pintu masuk pemodal (compradors) asing.
Padahal dalam prinsip hak azasi manusia, tentunya dalam konteks tulisan ini adalah ecosoc right (economy social cultural right) yang di Indonesiakan menjadi hak ekosob (hak ekonomi sosial budaya) ada 3 prinsip yang harus (wajib) dilakukan pemerintah terhadap rakyatnya, yakni; pemerintah wajib memenuhi hak-hak dasar masyarakat dengan menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhinya (to fulfill).

Apa Tujuan RTRW?
Pada lingkup yang lebih kecil, kita yang tinggal di kota Medan, tahukah bagaimana konteks di atas dilakukan.... ??? Coba kita bahas pada perencanaan pembangunan jangka panjang kota Medan, atau yang biasa disebut master plan. Dalam peraturan yang baru disebut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2006 sampai 2016 (menurut UU No. 24/1992, selama 10 tahun) yang direvisi dengan rancangan RTRW Kota Medan 2008 sampai 2028 (menurut UU No. 26/2007, Selama 20 tahun), otomatis jika telah disyahkan RTRW Kota Medan ini akan diimplementasikan selama 10 – 20 tahun ke depan.
Beradasarkan Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) Nomor 327/KPTS/M/2002 tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang Penataan Ruang, sebagai berikut: (1) Tujuan pemanfaatan ruang Wilayah Kota/Kawasan Perkotaan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan; (2) Rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang Wilayah Kota/Kawasan Perkotaan, meliputi: (a) Struktur pemanfaatan ruang yang meliputi distribusi penduduk, sistem kegiatan pembangunan dan sistem pusat-pusat pelayanan permukiman perkotaan termasuk pusat pelayanan koleksi dan distribusi; sistem prasarana transportasi; sistem telekomunikasi, sistem energi, sistem prasarana pengelolaan lingkungan termasuk sistem pengairan; (b) Pola pemanfaatan ruang yang meliputi kawasan lindung, kawasan permukiman, kawasan jasa (perniagaan, pemerintahan, transportasi, pariwisata, dll), kawasan perindustrian; (3) Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kota/Kawasan Perkotaan mencakup upaya: (a) pengelolaan kawasan lindung dan budidaya; (b) pengelolaan kawasan fungsional perkotaan, dan kawasan tertentu; (c) pengembangan kawasan yang diprioritaskan dalam jangka waktu perencanaan, termasuk kawasan tertentu; (d) penatagunaan tanah, air, udara dan sumber daya lainnya dengan memperhatikan keterpaduan sumber daya alam dengan sumber daya buatan; (d) pengembangan sistem kegiatan pembangunan dan sistem pusat-pusat pelayanan permukiman perkotaan; sistem prasarana transportasi; sistem telekomunikasi, sistem energi, sistem prasarana pengelolaan lingkungan termasuk sistem pengairan (penanganan, pentahapan dan prioritas pengembangan yang ditujukan untuk perwujudan struktur pemanfatan ruang wilayah kota); (4) Pedoman pengendalian pembangunan wilayah kota/kawasan perkotaan, meliputi: (a) Pedoman perijinan pemanfaatan ruang/pengembangan Wilayah Kota/Kawasan Perkotaan bagi kegiatan pembangunan di Wilayah Kota/Kawasan Perkotaan (pedoman pemberian ijin lokasi); (b) Pedoman pemberian kompensasi, serta pemberian insentif dan pengenaan disinsentif di Wilayah Kota/Kawasan Perkotaan; (c) Pedoman pengawasan (pelaporan, pemantauan, dan evaluasi) dan penertiban (termasuk pengenaan sanksi) pemanfaatan ruang di Wilayah Kota/Kawasan Perkotaan.
Sementara dari segi azas penataan ruang, untuk mencapai suatu kota yang menerapkan prinsip good urban governance, maka RTRW Kota disusun berdasarkan atas azas: (1) Pemanfaatan ruang untuk semua kepentingan secara terpadu, berdaya dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan. Dalam hal ini dimaksud dengan: (a) Semua kepentingan adalah bahwa penataan ruang yang dapat menjamin sebesar-besarnya seluruh kepentingan, yaitu kepentingan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat adil dengan tetap memperhatikan golongan ekonomi lemah; (b) Terpadu adalah bahwa unsure-unsur dalam penataan ruang dianalisis dan dirumuskan menjadi sebagai satu kesatuan antar sektor, antara bagian wilayah kota, dan antar pelaku dari berbagai kegiatan pemanfaatan ruang, baik oleh pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat. Penataan ruang dilakukan secara terpadu dan menyeluruh mencakup antara lain pertimbangan aspek waktu, modal, optimasi, daya dukung lingkungan, dan daya tampung lingkungan. Dalam mempertimbangkan aspek waktu, suatu perencanaan tata ruang memperhatikan adanya aspek prakiraan, ruang lingkup wilayah yang direncanakan, persepsi yang mengungkapkan berbagai keinginan serta kebutuhan dan tujuan penataan ruang.
Unsur-unsur keterpaduan dalam RTRW ini antara lain meliputi keterpaduan struktur ruang, pola pemanfaatan ruang, tahapan pembangunan, pembiayaan pembangunan, dan pelaku pembangunan; (c) Berdaya guna dan berhasil guna adalah bahwa penataan ruang yang dapat mewujudkan kualitas ruang yang sesuai dengan potensi dan fungsi ruangnya, dan dengan biaya yang pantas; (d) Yang dimaksud dengan serasi, selaras dan seimbang adalah bahwa penataan ruang dapat menjamin terwujudnya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan struktur dan pola pemanfaatan ruang bagi persebaran penduduk antar wilayah, pertumbuhan dan perkembangan antar-sektor dan antar pelaku pembangunan; (e) Berkelanjutan adalah bahwa penataan ruang menjamin kelestarian kemampuan daya dukung sumber daya alam dengan memperhatikan kepentingan lahir dan batin antar generasi; (2) Persamaan, keadilan dan perlindungan hukum. Yang dimaksud dengan persamaan di sini adalah bahwa seluruh lapisan masyarakat mendapat hak dan kewajiban yang sama dalam kegiatan pemanfaatan ruang, sedangkan yang dimaksud dengan keadilan adalah bahwa seluruh lapisan masyarakat dapat mengambil manfaat dari kegiatan penataan ruang sesuai dengan kepentingannya.
Adapun yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah bahwa dalam pelaksanaannya penataan ruang dilindungi oleh hukum; (3) Keterbukaan, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat yang memiliki pengertian sebagai berikut: (a) Keterbukaan adalah bahwa penataan ruang dalam pelaksanaannya berhak diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat dan terbuka untuk menampung masukan dari seluruh lapisan masyarakat; (b) Akuntabilitas adalah bahwa pelaksanaan penataan ruang dapat dipertanggung-jawabkan oleh penyelenggara-nya pemerintahan dan pembangunan kepada semua pelaku pembangunan dan masyarakat umumnya; (c) Partisipasi masyarakat adalah bahwa penyelenggaraan penataan ruang yang dilakukan oleh pemerintah harus pula melibatkan masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan ruang, maupun pengendalian pemanfaatan ruang sesuai dengan hak dan kewajibannya yang ditetapkan.
Partisipasi masyarakat sangat penting dalam penataan ruang karena hasil penataan ruang adalah untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat.
Tujuan dari penataan ruang itu sendiri secara umum: (1) Terselenggara-nya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional; (2) Terselenggaranya pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya; (3) Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk: (a) Mewujudkan kehidupan berbangsa yang cerdas berbudi luhur, dan sejahtera; (b) Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; (c) Meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan secara berdaya-guna, berhasil-guna, dan tepat-guna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia; (d) Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan; (e) Mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan.
Adapun tujuan pemanfaatan ruang kota adalah: (1) Mencapai optimasi dan sinergi pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan ketahanan nasional; (2) Menciptakan keserasian dan keseimbangan antara lingkungan dan sebaran kegiatan; (3) Meningkatkan daya guna dan hasil guna pelayanan atas pengembangan dan pengelolaan ruang; (4) Mewujudkan keseimbangan dan keserasian perkembangan antar bagian wilayah kota serta antar-sektor dalam rangka mendorong pelaksanaan otonomi daerah; (5) Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Adapun kedudukan dan fungsi tata ruang adalah: (1) Sebagai dasar bagi kebijakan pemanfaatan ruang kota; (2) Sebagai penyelaras strategi serta arahan kebijakan penataan ruang wilayah propinsi dengan kebijakan penataan ruang wilayah kota ke dalam struktur dan pola tata ruang wilayah kota; (3) Penyelaras bagi kebijakan penataan ruang wilayah pengembangan; (4) Pedoman bagi pelaksanaan perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang; (5) Dasar pertimbangan dalam penyelarasan penataan ruang dengan kabupaten/kota lain yang berbatasan. Untuk Kota Medan yakni dengan wilayah Binjai dan Deli Serdang (Mebidang) dan akhir-akhir ini wilayah Karo juga mulai sering dikaitkan dengan pengembangan Kota Medan (Mebidangro) oleh karena ada empat jalur utama komuter yang merupakan jalur masuk dan keluar wilayah Kota Medan yakni Kota Binjai, Kabupaten Deli Serdang dan wilayah Kabupaten Karo.
RTRW Kota berfungsi sebagai pedoman untuk: (1) Perumusan kebijakan pokok pembangunan dan pemanfaatan ruang; (2) Pengarahan dan penetapan lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintah dan/atau masyarakat; (3) Penyusunan rencana detail tata ruang kota pada skala 1 : 5000, rencana teknis ruang kota pada skala 1 : 1000, rencana tata bangunan dan lingkungan pada skala 1 : 1000, dan/atau rencana teknis lainnya pada skala 1 : 1000 atau lebih besar; (4) Penerbitan perizinan pembangunan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang untuk wilayah yang belum diatur dalam rencana yang lebih rinci; (5) Pelaksanaan pembangunan dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan pembangunan; (6) Penyusunan indikasi program pembangunan yang lebih rinci.
Beberapa hal di atas disampaikan oleh Ir. Filiyanti Bangun, Grad.Dipl.PM, M.Eng, sebagai pemerhati masyarakat perkotaan dan peneliti masalah transportasi, dalam beberapa kali kesempatan diskusi.

RTRW Kota Medan
Dalam Kepmen Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002, tersebut jelas pengarus-utamaan perencanaan pembangunan perkotaan bahwa keberpihakan pada kaum lemah (orang miskin) atau pro-poor menjadi hal yang sangat penting untuk dijadikan landasan dalam penyusunan RTRW.
Melihat rancangan RTRW Kota Medan untuk tahun 2006 – 2016 yang kemudian direvisi menjadi RTRW 2008 – 2028 (kini masih dalam proses legislasi) menunggu ketok palu (persetujuan) DPRD Kota Medan (Dewan Kota). Proses tarik menarik untuk persetujuan dari RTRW ini masih terus berlanjut mengingat banyaknya kalangan masyarakat sipil di kota Medan yang mempertanyakan berbagai proses RTRW yang ditengarai tidak melalui proses yang ditetapkan dalam Kepmen Kimpraswil tersebut.
Lebih jauh lagi rancangan RTRW Kota Medan tersebut dianggap sarat masalah, wajar saja jika banyak kalangan yang mempersoalkan rancangan RTRW ini, mengingat ini merupakan master plan kota yang akan diimplementasikan 20 tahun ke depan, tentunya hampir semua penduduk kota Medan yang tahu mempunyai kepentingan terhadap RTRW ini, lebih jauh lagi yang bukan penduduk kota Medan-pun sangat banyak yang punya kepentingan terhadapnya, apalagi orang atau perusahaan yang ber-investasi di kota kita ini.
Beberapa persoalan tersisa yang masih menjadi ganjalan antara lain: (1) Pengerjaan penyusunan RTRW ini menghabiskan begitu besar dana, yakni 4 milyar rupiah (kini jadi persoalan hukum, karena dicurigai ada indikasi penyimpangan); (2) Pengerjaan hanya 3 bulan oleh ahli dari luar Sumatera Utara (Bandung) yang dianggap kurang begitu memahami persoalan spesifik yang bersifat lokal Medan; (3) Data yang digunakan hanya mengadopsi data sekunder (terutama pada bidang transportasi) yang dikeluarkan oleh Wahana Tata Nugraha (WTN), Dishub Medan tanpa melakukan penelitian dan survey data-data primer pada bidang masing-masing; (4) Proses-proses yang harus dilalui dalam penyusunan RTRW seperti yang disebutkan Kepmen Kimpraswil yang berbunyi keterbukaan, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat diduga tidak dilakukan.
Keterbukaan, sebahagian besar masyaraakat kota Medan malah belum mengetahui sedang berlangsung proses penyusunan RTRW kota Mereka, bahkan pemberitaan media juga sangat minim. Apa dan bagaimana? Tahapannya sudah sampai dimana? Dll.
Soal akuntabilitas, masyarakat juga tidak mendapatkan informasi yang jelas, berapa dana dan untuk apa saja biaya yang digunakan untuk menyusun RTRW tersebut? Mengapa tim penyusun tidak sebagian besar ahli lokal untuk memberi input dan jalan keluar tentang masalah-masalah yang sangat spesifik lokal Medan? Dll.
Soal partisipasi masyarakat, jangankan keterlibatan masyarakat dapat diakomodir dalam proses penyusunan RTRW ini, beberapa kali audiensi masyarakat sipil untuk menolak rancangan RTRW kota Medan ini kepada berbagai pihak (termasuk Dewan Kota) belum ditanggapi secara serius. Malah beberapa pihak curiga RTRW ini akan disyahkan oleh Dewan Kota saat masyarakat lengah, yakni musim libur akhir tahun (akhir Desember 2008) ini. Jika kecurigaan masyarakat ini benar terjadi, maka ini merupakan bencara besar bagi rancangan master plan yang akan diimplementasikan hingga 20 tahun ke epan tersebut. Sudah selayaknya Dewan Kota mendengarkan apa yang menjadi keberatan masyarakat, jangan main kapan lengah langsung ketok palu. Karena masalah ini juga sedang menjadi masalah hukum yang sedang diproses. Bagaimana mungkin rancangan peraturan daerah yang prosesnya masih menyisakan persoalan hukum dan belum selesai ditangani sudah akan dijadikan produk hukum pula di tingkat daerah (baca: Perda)? Semoga ini tidak terjadi...!!!

Iswan Kaputra
Peneliti & Pekerja Sosial pada BITRA Indonesia
Koalisi Masyarakat Sipil Peduli RTRW



Selanjutnya ...