28 January 2009

Menatap Masa Depan dari Warung Kopi di Sibolangit


Sekitar pukul 12.30 WIB, di sebuah warung kopi pinggiran jalan utama Desa Kuala, Sibolangit, Deliserdang—sekitar 40 km dari Medan—tak kurang dari 10 murid sekolah dasar tampak mengerubungi seorang perempuan yang tengah duduk sambil mengoret-oret di atas kertas lusuh. Tubuh mereka menyandang tas lusuh, sedangkan tangan mereka memegang beberapa buku bacaan.
Mereka bukan mau minum kopi, makan, ataupun main catur seperti kebiasaan masyarakat Karo. Mereka sedang antusias mencari dan meminjam buku, baik itu buku pelajaran, sastra, cerita legenda, maupun buku-buku lainnya.
Ya, tempat ini adalah sebuah perpustakaan yang dikelola langsung oleh rakyat. Perpustakaan yang dibuat di warung kopi ini disebut tambar (dalam bahasa Karo berarti ”obat”).

Setiap harinya, paling tidak 5–10 buku yang dipinjam para murid tersebut setiap harinya. Lain lagi para orang tua yang ada di kampung itu, mereka akan berebut bila ada buku mengenai tata cara menanam buah cokelat, cabai, dan legenda rakyat.
”Saya paling sering meminjam buku tentang resep makanan. Jadi kalau pulang dari sawah dan pekerjaan rumah telah selesai, kan bisa juga dicoba,” ujar Nuriati br Barus (42) kepada SH saat meminjam buku di Satelit Kotak Tambar (SKT) I Desa Kuala. Nuriati juga kerap meminjam beberapa buku pelajaran untuk 3 anaknya yang kini tengah menempuh pendidikan di SD dan SLTP.
Bagi Nuriati, keberadaan tambar sangat membantu menambah wawasan dan daya baca keluarganya. Untuk pengadaan buku-buku pelajaran anak-anaknya yang bersekolah, tambar menjadi salah satu tumpuan harapan mereka yang sehari-hari cuma meletakkan hidup atas hasil panen kebun cokelat.
Bayangkan saja, kata Nuriati, setiap kali kenaikan kelas, semester ataupun catur wulan pelajaran, dia dan suaminya harus menyediakan uang sebesar Rp 750.000 untuk membeli buku bagi anak-anaknya. Itu sangat memberatkan.
Tak heran bila tidak seluruh buku bisa disediakan oleh Nuriati, tapi kebutuhan buku jadi sangat prioritas bagi anak-anaknya. Makanya, tambar menjadi salah satu solusi atas masalah pengadaaan buku anak-anaknya.
Saat ini, setiap minggu sedikitnya ada 50 buku yang dipinjam dari tambar tersebut. Para peminjam biasanya cukup taat untuk mengembalikan buku yang mereka pinjam.
Selama 2 tahun tambar tersebut didirikan, perpustakaan ini telah mengoleksi sekitar 103 buku hingga Februari 2003 lalu. Buku yang dikoleksi juga beragam, mulai dari majalah, koran, buku cerita rakyat, pertanian, pelajaran sekolah, resep makanan, lingkungan, sosial politik, budaya, sampai ke filsafat.
”Buku-buku tersebut seluruhnya berasal dari BITRA Indonesia dan Yayasan Ekowisata Sumatera (YES),” terang Murniati br Bukit (42), perempuan Jawa bersuamikan Jacob Ginting yang mengelola SKT I di Desa Kuala, Sibolangit.
Meski buku-buku untuk di tambar itu terus bertambah setiap tahunnya, Murniati masih merasa sangat kekurangan. Setidaknya, soal ketersediaan atas pilihan buku yang beragam.
”Buku pelajaran anak-anak sekolah saja cuma ada 49 judul. Yang meminjam padahal cukup banyak. Jadi terpaksa kalau mau pinjam harus antri,” jelas Murniati lagi.
Minimnya ketersediaan buku itu dapat dimaklumi. Peminjam buku sebenarnya tak hanya berasal dari Desa Kuala saja, bahkan ada warga yang berasal Pancur Batu—sekitar 20 km dari Desa Kuala—yang meminjam buku ke SKT I.
Hal ini diperbolehkan karena si peminjam biasanya pernah tinggal di Desa Kuala, lalu pindah ke tempat lain dan datang ke Kuala lagi untuk pinjam buku. Syaratnya adalah kepercayaan. Buku dipinjam paling lama satu bulan. Setelah itu, buku harus dikembalikan.
”Hingga kini hanya 5 buku yang hilang. Sebagian buku yang hilang itu adalah buku cocok tanam cokelat, cabe, legenda rakyat maupun perobatan tradisional. Para peminjam yang menghilangkan buku itu telah berusaha menggantinya, tapi mereka belum menemukan jenis buku yang sama seperti yang telah dihilangkan,” ungkap Murniati.
Tambar serupa juga didirikan di 4 desa lainnya, yakni Desa Bengkurung, Desa Sayum Gugum, Desa Pasar Baru, dan Desa Sayum Sabah. Desa Sayum Sabah adalah Pusat Satelit Kotak Tambar (PSKT). PSKT ini dikelola langsung oleh BITRA Indonesia, sebuah LSM yang bergerak di bidang pertanian, ekonomi kecil, dan pemberdayaan masyarakat.
Menurut Ir Soekirman, salah seorang Badan Pendiri BITRA Indonesia yang juga penggagas tambar ini, ide tersebut berawal ketika mereka akan membentuk kelompok-kelompok binaan di masing-masing desa tersebut yang kemudian akan dibina menjadi kelompok-kelompok pembaca. Dan untuk melaksanakannya, mereka bekerja sama dengan LSM lainnya, yakni Yayasan Ekowisata Sumatera (YES).
Dari hasil penelitian kedua lembaga tersebut, kedai atau warung kopi adalah lokasi paling tepat untuk mendirikan tambar tersebut. Kebiasaaan masyarakat Karo selalu berkumpul di warung kopi, baik saat menghabiskan waktu, juga saat menunggu angkutan umum.
Tambar dianggap efektif digunakan masyarakat desa bila didirikan di warung kopi-warung kopi itu. Harapannya, tambar bisa menjadi obat bagi ”kerinduan” masyarakat desa atas kebutuhan membaca yang selama ini sulit mereka dapatkan.
Program ini juga didukung oleh perusahaan besar yang di berada Jakarta. Mereka menyumbang buku dalam jumlah yang lumayan besar.
”Saat ini saja ada sekitar 3.250 judul buku. Selain kalangan swasta, program pengadaan buku ini juga dibantu beberapa perguruan tinggi dan 4 konsulat di Medan,” kata Soekirman.
Di samping itu, sebuah industri minuman ringan juga menyediakan dana sebesar Rp 150.000 per bulan bagi setiap pengelola tambar selama setahun. Untuk penyebaran buku, biasanya buku yang telah dibaca oleh banyak warga di salah satu tambar, akan didistribusikan ke tambar lainnya.
Menurut Soekirman lagi, sebenarnya program ini membuktikan masyarakat desa itu sangat membutuhkan buku. Ketidaktersediaan buku dan harga buku yang tak terjangkau telah membuat rakyat Indonesia asing terhadap buku.
”Untuk pintar dan berdaya, masyarakat harus banyak membaca buku, tapi mimpi itu masih ada di puluhan tahun ke depan, di mana masyarakat secara menyeluruh bisa mendapatkan buku secara gampang dan murah. Bayangkan saja, di Sumut hanya ada beberapa perpustakaan yang jelas tak bisa memenuhi kebutuhan membaca rakyat yang memang rindu akan bacaan,” ujar Soekirman lagi.
Lain lagi halnya dengan Direktur Eksekutif YES Hamonangan Siringo-ringo. Berangkat dari tingginya niat baca masyarakat desa, lembaganya kini malah tengah mengkaji sebuah program pustaka di kawasan-kawasan industri di Medan. Harapannya tetap membuka cakrawala masyarakat dengan membaca buku.
”Dan kita telah survei lokasinya. Mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa terealisasi,” kata laki-laki yang akrab dipanggil dengan Monang ini.
Buku jadi demikian berharganya. Mungkin karena berharga, akhirnya ia jadi mahal. Pemerintahpun sangat antusias membuat buku menjadi sesuatu yang asing bagi masyarakat yang ingin pintar dan maju.
Mungkin inilah salah satu cara alternatif untuk merangkai impian masyarakat makmur sejahtera. Ketika pustaka yang berdiri di tengah hutan beton di tengah kota begitu jauh untuk dijamah.
Tambar dan warung-warung kopi jadi pengobatnya. Ya, obat merangkai masa depan Indonesia yang lebih baik.
(SH/darma lubis)
Tulisan ini dikutip dari: http://www.sinarharapan.co.id

No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah mengisi komentar untuk kemajuan blog ini.