27 October 2009

Pulau Gambar; Perseteruan Sunyi Model Pertanian


Revolusi hijau telah memperkenalkan model pertanian modern yang serba instant dan sarat dengan produk kimia yang pada akhrinya memenjarakan petani kedalam sebuah bentuk ketergantungan dan biaya produksi yang melangit, sementara semenjak dulu nenek moyang kita telah belajar dari alam tentang model pertanian yang menghargai dan selaras dengan alam.

Bertandanglah kepulau gambar. Nama dari sebuah desa yang terletak di wilayah administratif Kabupaten Serdang Bedagai. Lintasilah ruas jalan desanya yang kecil dan belum beraspal. Di kedua sisi jalan itu, ada lautan sawah yang sebahagian padinya mulai menguning dan rumah-rumah bersahaja di jaga pepohonan. Menegaskan secara kasat mata bahwa desa ini adalah desa yang masih berdamai dengan alam.
Sekilas memang desa ini tampak biasa; Petani yang kebanyakan lelaki menjerang keringat di ladang dan persawahan, truk hilir mudik mengangkat hasil panen dan anak-anak sibuk dengan sekolahnya. Tetapi jika diamati lebih dalam, akan terlihat nuansa perseteruan antara kearifan lokal model pertanian tradisional yang kini semakin memudar dengan menjamurnya modernitas pola pertanian akibat dari gempuran revolusi hijau.
“saya sudah hampir sepuluh tahun menanam cabai. Dan kendala yang paling saya rasakan kalau pupuk lagi langka di pasaran, apalagi sekarang pupuk makin mahal dan susah untuk mendapatkan yang bersubsidi.” Ungkap Ponijo, salah seorang petani di desa itu yang menggantungkan hidupnya dari hasil panen setengah hektar ladang cabainya.
Langka dan mahalnya pupuk di pasaran membuat para petani kalang kabut memikirkan nasib sawah ladangnya yang (menurut sebahagian besar petani) takkan mungkin bisa menuai panen apabila tanaman dan tanah mereka tak diberi makan pupuk pabrikan. Ini merupakan salah satu gambaran nyata akibat dari pola pertanian modern yang pada akhirnya membuat petani kehilangan kemampuannya untuk mengatasi persoalan pertaniannya dengan menggunakan potensi lokal yang ada. Akibatnya, biaya selama proses tanam yang harus dikeluarkan petani semakin besar dan meningkat setiap tahunnya. Seperti yang dialami oleh Ponijo
“Sekarang ini semakin sulit, untuk setengah hektar ladang cabe saya itu modalnya kalau lima juta saja masih kurang; untuk beli bibit unggulnya, buat bedengannya. Belum lagi untuk plastik pembungkusnya. Tapi yang paling banyak makan biaya itu ya beli pupuk untuk perawatannya semisal HCL, P 36, CSP, NPK nya.”
Persoalan lain yang kemudian mencuat adalah mengenai jatuhnya harga jual hasil panen, sehingga tak jarang petani mengalami kerugian. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini terjadi adalah pola pertanian modern yang menerapkan model kawasan monokultur, dimana petani-petani di musim yang sama menanam jenis tanaman yang sama sehingga ketika musim panen-yang biasa disebut dengan panen raya komoditas, jumlah produk hasil panen melimpah. Akhirnya harga jualnya pun terjun bebas.

Nenek Yang Masih Bertahan
Diantara hiruk pikuk keluh kesah mahalnya pupuk pabrikan, Nek Sarkinem, begitu biasanya perempuan usia 54 tahun ini disapa. Tanpa beban mengayunkan cangkul di bedengan tanaman ubi jalarnya. Nek Sarkinem mengaku semenjak kecil ia sudah tinggal di desa ini bersama dengan neneknya. Menurut pemaparan Nek Sarkinem, dulu di desa ini petaninya tidak kenal sama yang namanya pupuk-pupuk pabrikan. soalnya-masih menurut nek Sarkinem, tanah di desa ini dulu sangat subur sekali. Nek sarkinem semenjak kecil ikut kakek neneknya bercocok tanam di desa ini dan mereka tidak memakai “pupuk beli” istilah nek Sarkinem untuk pupuk kimia pabrikan. tetapi menurutnya, hasil panennya tak kalah bagusnya dengan hasil panen sekarang yang kebanyakan sudah memakai pupuk beli itu tadi.
“Dulu waktu baru pertama kali pindah ke kampung ini, tanahnya masih sangat subur sekali . kakek nenek saya dulu nggak pernah pakai pupuk-pupuk beli kayak sekarang. Hasil panennya bagus-bagus. Malah lebih bagus dari yang sekarang ini. dulu sawah kami itu nggak pakai di semprot-semprot racun kayak sekarang ini, tapi hasil panennya tetap bagus-bagus dan segar” tutur nek Sarkinem sambil sesekali menyeka keringat di keningnya yang berkerut.
Meski tubuhnya telah ditaklukkan usia, tetapi semangat bercocok tanam tak pernah hilang dari kehidupannya. Di usia senjanya ini ia menyulap lahan sempit perkarangan rumahnya menjadi kebun-kebun padat tanaman. Di halaman depan rumahnya ada tiga bedengan ubi jalar yang masing-masing panjang bedengannya sekitar tiga meter.
Beberapa senti dari bedengannya, pohon-pohon terung mulai tumbuh. Belum lagi jajaran pohon pisang banten sebagai batas halamannya dengan parit. Disamping rumahnya, Nek sarkinem membangun apotik hidup; temulawak hidup makmur dilahan sempit itu. Di belakang rumahnya, ia menanam ratusan batang bayam. Nek sarkinem mengaku ia tak pernah memakai pupuk beli untuk merawat tetanamannya itu. Ia bisa membuat pupuknya sendiri. Nek sarkinem menggunakan Sisa jerami padi yang diendapkannya di kolong kandang kambingnya. Jerami-jerami padi itu kemudian menyatu dengan kotoran kambing. Setelah beberapa hari campuran itu kembali berbentuk seperti tanah.
Nah inilah asupan nutrisi yang di suguhkan Nek Sarkinem untuk tanamannya. Hasilnya, tanamannya tumbuh subur. Pengetahuan tentang membuat kompos ini didapat nek Sarkinem dari kakek neneknya dulu. Menurut nek Sarkinem, petani dulu tidak membakar jerami padinya seperti yang sering dilakukan petani jaman sekarang. Mereka mengolah jerami padi itu menjadi kompos untuk meningkatkan kesuburan tanah mereka. Selain itu nek Sarkinem juga menerangkan kalau kebiasaan menanam beberapa jenis tanaman di satu lahan juga didapatnya dari kebiasaan kakek-neneknya dulu.
Orang-orang dulu sering menyebutnya dengan nama tumpang sari. Selain itu, ia bercerita kalau petani-petani dulu tidak menanam jenis tanaman secara seragam. Masing-masing petani menanam jenis tanaman yang berbeda sesuai dengan hasil musyawarah para petani di kampung itu. Sehingga setiap panen, jenis tanamannya beragam, jadi harganya tidak turun karena persaingan harga. Dan hasil panenpun tidak semuanya dijual, sebahagian disimpan di dalam lumbung untuk kebutuhan sehari-hari. Dan para petani dulu masih sering bertukar hasil panen.
Tapi kini semuanya berubah, ketika panen tiba para petani mulai dijalari rasa khawatir kalau-kalau hasil panennya tidak habis terjual sebab hasil panen sekarang ini lebih cepat busuk kalau tidak diberi pengawet. Akibatnya banyak petani yang hasil panennya seragam pasrah dengan harga yang ditentukan oleh para pemborong dan tengkulak..
Meskipun tak lagi bercocok tanam di lahan yang luas seperti dulu, Nek Sarkinem tetap saja menumpahkan hasrat bercocok tanamnya di lahan sempit perkarangan rumah dan tetap menjaga tatacara bertani yang diajarkan kakek-neneknya dulu. Sebab ia meyakini bahwa cara bertani model dulu lebih mudah, murah dan menghargai alam.
(Teddy Wahyudi Pasaribu)

No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah mengisi komentar untuk kemajuan blog ini.