09 September 2008

Mempersoalkan Kenaikan BBM ???


Kenaikan BBM sungguh perlu dikaji ulang dengan seksama. Gejolak yang muncul, saat Pemerintah berencana menaikkan BBM merupakan representasi penolakan masyarakat yang mestinya dipandang Pemerintah sebagai konstituen negara, lebih-lebih lagi bagi pimpinan nasional karena Presiden sejak pemilihan umum tahun 2004 lalu adalah Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat.

Seperti Ladang Jagung
Sejak tahun 1997 saat gelombang besar kenaikan BBM mulai terus memanjat, sejalan dengan kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan meluasnya krisis ekonomi di Asia Tenggara, yang berkembang menjadi krisis multi dimensi di Indonesia, setiap berdiskusi saya selalu mengibaratkan bahwa persoalan harga BBM ini sama dengan seorang Kepala Desa yang menanam jagung di kampungnya dengan hamparan lahan 2 hektar. Sang Kepala Desa akan mengeluarkan modal awal yang cukup besar karena harus membeli lahan, membersihkannya dari belukar (land clearing), membeli bibit lalu mungkin juga mengupahkannya untuk menanam dan merawat hingga jagung panen.
Kebetulan di desanya jagung merupakan komponen penting bagi ketahanan pangan rakyat desa, karena rakyat desanya mengkonsumsi jagung sebanyak 20 ton setiap bulan, dihitung dari kebutuhan penduduk, sebagai campuran nasi untuk makanan pokok. Setelah Kepala Desa panen dengan hasil 20 ton jagung, sang Kepala Desa harus menentukan pilihan; 1. Jagung tersebut dijual kepada penduduk desanya dengan harga Rp 200,-/kilogram dengan konsekwensi Kepala Desa hanya mendapatkan untung Rp 100,-/kilogram karena biaya produksinya Rp 100,-/kilogram. Namun penduduk desanya mengalami ketahanan dan kecukupan pangan, plus sang Kepala Desa mendapatkan citra dan sanjungan yang terpuji dari penduduk desanya, karena memenuhi kebutuhan pangan memang merupakan salah satu tanggung-jawab Kepala Desa. 2. Kepala Desa menjual 10 ton jagung hasil panennya kepada rakyatnya dan menjual 10 ton yang lain ke pasar Kecamatan dengan harga Rp 400,-/kilogram, jelas Kepala desa akan lebih untung, namun sebagian rakyatnya akan membeli jagung di pasar Kecamatan dengan harga tinggi untuk dikonsumsi. Kepala Desa juga mulai kehilangan sebahagian citra baiknya di mata rakyatnya. 3. Kepala Desa menjual semua atau sebahagian besar jagung hasil panennya ke pasar Kecamatan, untung yang diperoleh jauh lebih besar, Kepala Desa-pun dapat menyumbangkan sebahagian uangnya untuk rakyat termiskin di desanya, akan tetap hal ini hanya sebagai polesan, bukan menyelesaikan masalah mendasar untuk memenuhi kebutuhan pangan, jelas citra sang Kepala Desa akan jauh lebih pudar, bahkan bisa hilang di mata rakyatnya.
Begitu juga produksi minyak negara, apakah mau di jual ke pasar internasional yang harganya akan jauh lebih mahal dibandingkan hanya dijual pada rakyatnya sendiri dengan harga yang tentunya jauh bisa dimurahkan? Menjual harga yang murah pada rakyatnya sebenarnya negara juga sudah untung meskipun tidak seperti keuntungan ketika dijual ke pasar internasional atau disesuaikan dengan harga internasional. Akan tetapi citra baik pemerintah akan terkikis bahkan bisa hilang di mata rakyat, bahkan BLT-pun tidak terlalu berpengaruh sama sekali, untuk memulihkan citra tersebut.
Menyelenggarakan proses penambangan minyak hanya butuh modal besar di awal, dimana proses, dari mulai; pembebasan lahan, berbagai macam proses administrasi awal (termasuk izin dan kontrak karya), penelitian, pengadaan alat berat Dll. Semuanya hanya butuh modal yang besar di awal. Setelah itu minyak dapat dikatakan akan mengalir seperti air, hanya butuh sedikit sentuhan proses operasional dan pengeluaran rutin yang tak seberapa jika dinbandingkan dengan hasil yang diperoleh. Namun mengapa BBM bisa mahal?
Pemerintah menyedot minyak sebagai kekayaan perut bumi kita dengan biaya 10 sampai 15 USD per-barel, namun harga internasional sekarang telah melebihi 100 USD per-barel. Ini yang dianggap jika dijual untuk digunakan rakyatnya sendiri dengan harga yang murah akan merugikan dibandingkan dengan dijual ke pasar internasional. Selama ini opini publik yang dibangun memaksakan logika subsidi dengan alasan bahwa pemerintah inport untuk kebutuhan BBM dalam negeri, asumsi tersebut tidak terlalu kuat, karena kebutuhan BBM Indonesia 1,2 juta bph, produksi 1 juta bph, kekurangan kebutuhan BBM yang diimpor sekarang hanya 0,2 juta bph.
Pernyataan bahwa Pemerintah rugi 123 triliun menggunakan logika dan asumsi subsidi yang harus dihapuskan, harga BBM sekarang dalam negeri dibandingkan dengan harga internasional, patut dipertanyakan karena jika dikaji menggunakan logika lain, Jika harga minyak Internasional US$ 125/barrel dan biaya produksi US$ 15/barrel dilakukan impor 200 ribu bph maka pemerintah Indonesia dengan harga premium Rp 4.500/liter (US$ 77/brl) masih untung US$ 49,4 juta per-hari atau Rp 165,8 Trilyun dalam setahun (asumsi nilai tukar 1 USD = Rp 9.200,-).
Di dalam perhitungan di atas ada pemaksaan logika harga BBM internasional yang harus disamakan untuk perusahaan pertambangan internasional meraih keuntungan yang sangat tinggi. Dari jaman ke jaman memang perusahaan tambang dikenal sebagai perusahaan yang dapat berbuat apa saja demi memperoleh minyak, baik dari cara yang paling halus hingga cara yang paling kasar, bahkan memerangi suatu negara untuk mendapatkan komoditi migas yang tidak terbarukan dan cadangannya di perut bumi makin lama makin menipis dan pasti akan habis, tersebut. Ini tentunya akan menjadi penyebab konflik yang cukup dominan di muka bumi ini, hingga energi alternatif pengganti migas yang efektif ditemukan, di sisi lain sumber energi alternatif dari nabati akan menimbulkan masalah baru, yakni menggeser posisi bahan baku pangan sehingga menimbulkan krisis pangan dunia yang kini mulai kelihatan tanda-tandanya. Masalah lain yang muncul adalah semakin menurunnya produksi bahan pangan karena perubahan iklim ekstrem dan keterbatasan lahan petani.

Perbandingan Harga
Pernyataan Pemerintah bahwa harga minyak Indonesia termurah di Asia Tenggara. Pernyataan ini juga dipaksakan untuk memberikan pembenaran kenaikan BBM. Jika kita lihat perbandingan harga minyak (premium) dalam negeri negara-negara lain, masih banyak yang dibawah harga Indonesia. Lihat tabel beikut:
Harga di Indonesia: Premium Rp 4.500/liter, Pertamax Rp 8.700/liter

Mengapa negara-negara seperti Venezuela, Turkmenistan, Iran, Nigeria, Bolivia (belum diperoleh datanya) dan yang lain bisa menjual harga minyak jauh dibawah harga pasar internasional pada rakyatnya? Negara-negara tersebut memandirikan dengan kata lain melakukan pengelolaan minyaknya dengan berdaulat. Sehingga dapat mematok harga murah dan menjadi negara yang paling murah harga BBM-nya karena tidak bergantung dan tidak tertarik untuk menyamakan harga minyaknya dengan harga internasional demi melindungi rakyatnya.
Jika rakyat Indonesia dikatakan sebagai sebagai rakyat yang boros BBM? Ternyata juga tidak. Dengan logika jumlah penduduk yang 220 juta jiwa Indonesia menempati urutan/rangking ke 116 sebagai pengguna BBM. Jauh dibawah Malaysia yang jumlah penduduknya hanya 24 juta jiwa, namun menempati rangking 47 sebagai pengguna BBM.
Alasan lain “penghapusan subsidi” dengan menaikkan BBM adalah pengguna BBM (jika bersubsidi/tidak disesuaikan dengan harga internasional), juga kurang berasalan, karena pemilik mobil mewah di Indonesia kurang dari 5% atau kurang dari 10 juta aorang. Pengguna BBM dengan persentase tinggi jelas ditempati oleh masyarakat pengguna kendaraan sepeda motor, supir-supir angkutan umum, kendaraan pengangkutan baran, nelayan, ibu rumah tangga dll. Penumpang angkot jika BBM naik pasti akan lebih menderita, karena ongkos pasti juga akan naik. Beban pengeluaran rumah tangga juga pasti akan meningkat tajam karena harga-harga juga akan naik, karna biaya angkut (mobilitas) barang juga akan naik.
Dikhawatirkan ada tangan-tangan tersembunyi yang memaksakan kehendak agar harga-harga BBM di Indonesia disamakan persis seperti harga internasional karena perusahaan tambang kini telah diizinkan menjadi pengecer (mendirikan pomp bensin) di Indonesia. Logikanya jika harga yang mereka jual mengikuti harga nasional seperti yang diecer oleh Pertamina maka keuntungan yang diperoleh akan tidak maksimal. Sementara sekarang kita lihat di pomp bensin asing yang ada di Indonesia dengan harga yang sedikit saja lebih tinggi, sepi pelanggan. Dugaannya ini merupakan salah satu penyebab Pemerintah ditekan oleh perusahaan multi nasional untuk menyamakan harga minyak Indonesia dengan harga minyak internasional. Jika asumsi ini benar, maka memang Pemerintah kita belum berdaulat dalam banyak hal.
Banyak sumber lain yang bisa digali untuk menutupi kebutuhan anggaran negara yang kurang. Hal itu tergantung kreatifitas Pemerintah melindungi dan memakmurkan rakyatnya. Jadi kenapa harus menaikkan BBM? Yang merupakan suatu tindakan yang tidak populer dan tidak melindungi rakyatnya sendiri? Kini dengan harga minyak internasional turun Pemerintah telah sangat layak meninjau kembali harga kenaikan BBM.

Iswan Kaputra
Pekerja Sosial pada BITRA Indonesia, Medan &
Ketua Forum Masyarakat Asal Labuhan Batu di Medan (FORMAL)

No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah mengisi komentar untuk kemajuan blog ini.