23 September 2008

SEGERA LAKUKAN REFORMA AGRARIA SEJATI & PENINGKATAN STATUS KELEMBAGAAN PERTANAHAN



Memperingati Hari Tani Nasional, 24 September 2008.

Dalam rangka memperingati hari tani, tanggal 24 September 2004 ini, kita wajib mengingat pidato Presiden RI tanggal 31 Januari 2007, dalam rangka pidato kenegaraan membuka tahun yang baru, tahun 2007, yang biasanya dijadikan panduan bagi departemen, badan dan instansi lain di Pemerintahan RI untuk mendesain perencanaan strtegis dan rancangan program dan kegiatan lain. Pada pidato tersebut Presiden Soesilo Banbang Yudhoyono, lebih akrab dikenal dengan (SBY) sempat mengungkapkan strategi pemerintah dalam urusan tanah (reforma agrarian). Isi dari pidato tersebut antara lain; “Program Reforma Agraria… secara bertahap…akan dilaksanakan mulai tahun 2007 ini. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan kita boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Inilah yang saya sebut sebagai prinsip “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat… (yang) saya anggap mutlak untuk dilakukan”.

Tanah merupakan objek yang sangat penting bagi kehidupan manusia, dimana berbagai macam kebutuhan hidup sangat bergantung pada keberadaan tanah, baik sebagai media tanam maupun sebagai media ruang/tempat. Begitu urgennya tanah sehingga banyak sekali konflik yang berakibat sangat luas dan memakan banyak korban di dunia ini karena berebutan akan penguasaan pengelolaan tanah tersebut. Menurut catatan Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara paling sedikit ada 699 kasus konflik/sengketa tanah yang ada di Sumatera Utara.

UUD 1945, Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi “ir, udara, bumi dan seisinya dikuasai oleh Negara dan digunakan seluas-luasnya untuk kemakmuran rakyat”, UUD 45 ini telah cukup jelas amanatnya yang diberikan untuk kemakmuran rakya dan dibreakdown lagi oleh UUPA.

Sepanjang Orde Baru (1966-1998) politik agraria yang dianut dan diterapkan secara konsisten oleh pemerintah adalah politik agraria yang kapitalistik. Politik agraria semacam ini menjadikan tanah dan kekayaan alam lainnya sebagai komoditi serta objek eksplotasi dan akumulasi modal besar asing maupun domestik yang beroperasi di berbagai sektor. Berbagai peraturan perundang-undangan dan program-program pembangunan di lapangan agraria praktis diabdikan untuk memenuhi orientasi politik agraria yang kapitalistik itu. Sejak Orde Baru berkuasa (1966) pengkhianatan terhadap undang-undang pokok agraria (UUPA) No. 05 tahun 1960, mulai berlangsung. Hal ini tercermin dari orientasi dan praktek politik agraria yang ditopang oleh berbagai produk peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan dengan kekayaan alam kita. Misalnya undang-undangan yang mengatur Kehutanan; Pertambangan; Pertambangan Minyak dan Gas Bumi; Pengairan; Perikanan, dsb. Keseluruhan undang-undang sektoral ini mengandung semangat dan isi yang memfasilitasi modal besar ketimbang memenuhi hak-hak rakyat banyak.

Pantulan orientasi politik agraria Orde Baru jelas tergambar pada banyaknya penyerahan penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria ke tangan pemilik modal besar melalui berbagai ijin usaha. Dengan memegang prinsip Hak Menguasai Negara (Pasal 2 ayat 2 UUPA 1960), dengan mengatasnamakan negara, pemerintah pusat atau daerah telah mengeluarkan hak-hak baru seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai, Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), Kuasa Pertambangan, dan Kontrak Karya Pertambangan. Karena proses pengkhianatan yang berkepanjangan, maka posisi UUPA 1960 dengan sendirinya terpinggirkan secara berkelanjutan. Bahkan UUPA seakan-akan hanya mengatur soal administrasi pertanahan saja, yang kewenangannya hanya mencakup sekitar 30% saja dari luas seluruh daratan Indonesia. Selebihnya diatur lewat undang-undang UU Kehutanan (1967) yang diperbaharui menjadi UU No. 41/1999, dan UU sektoral lainnya.

Lembaga-lembaga penelitian sosial yang gencar meneliti masalah kemiskinan selalu mengungkapkan minimnya keter-aksesan masyarakat petani terhadap tanah menjadi suatu penyebab utama kemiskinan di Indonesia, Peduduk miskin yang ada di Indonesia sampai Juli 2007 adalah 37,17 juta orang atau 16,58 % (Data yang dikeluarkan oleh Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, TKPKRI) dari jumlah tersebut penduduk atau rumah tangga miskin sebagian besar (72%) ada di pedesaan dan berprofesi sebagai petani, yang sudah pasti akan membutuhkan tanah sebagai media tanam pertanian. Mereka adalah umumnya petani yang menggantungkan hidupnya pada lahan yang sangat kecil. Di seluruh Indonesia terdapat 13,253 juta rumah tangga pertanian yang hanya menguasai (dan belum tentu memiliki) luas tanah kurang dari 0,5 hektar, biasa disebut petani gurem. Jumlah rumah tangga petani gurem tidak hanya monopoli petani di pulau Jawa tetapi juga di luar Jawa. 74 dari 100 rumah tangga petani di Jawa adalah petani gurem, sedangkan di luar Jawa 1 diantara 3 petani adalah petani gurem.

Dalam satu acara seminar yang bertajuk “Mewujudkan Keadilan Melalui Kebujakan Agraria Nasional”, di Medan 4 September lalu terungkap, bahwa hanya 1 sampai 2 persen masyarakat menguasai asset, sumberdaya alam, terutama sumber daya agrarian, hanya 56 %. Sementara 98 % masyarakat lainnya yang kurang beruntung hanya menguasainya sebesar 44 %. Ini suatu hal yang sangat ironis dan harus diakhiri keberlanjutannya. Pengelolaan sumber daya yang adil seperti yang dinyatakan SBY dalam pidatinya harus segera diwujutjkan.

Dalam konsep hak pangan (hak masyarakat untuk memperoleh pangan yang sehat) ada 3 hal yang mestinya dipenuhi pemerintah, yakni; to respect, agar pemerintah memberikan tanggapan langsung atas persoalan kelaparan yang terjadi; to protect, agar pemerintah melindungi masyarakatnya dari kemungkinan kelaparan yang dihadapi, dan; to fulfill, agar pemerintah memenuhi kebutuhan-kebutuhan makan yang dibutuhkan rakyatnya. Dari konsep hak pangan ini juga jauh untuk terpenuhi jika masyarakat mayoritas sebagai petani tidak punya media tanam yang mestinya mereka miliki, bahkan seharusnya media tanam tersebut disediakan oleh pemerintah, karena ini juga bagian dari kewajiban negara untuk memenuhinya (to fulfill), istilah ini juga dapat dicari korelasinya dengan makna yang sama pada pasal 1 sampai 13, UUPA.

Carut-marutnya masalah agrarian nasional ini yang coba diperbaiki belakangan oleh negara, seperti apa yang diungkapkan dalam pidato SBY Januari 2007 lalu dan diterbitkannya Ketetapan MPR No.IX/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam. Tap MPR ini memberikan tugas dan mandat kepada pemerintah untuk melaksanakan; “penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia” (pasal 2). Lalu dilansir perencanaan pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang akan dipimpin langsung oleh presiden, dengan perencanaan distribusi tanah seluar 8,15 juta hektar untuk penduduk miskin yang tidak punya tanah. Kedua tonggak ini menjadi pembuka pintu bagi perbaikan kehidupan petani, revitalisasi sektor pertanian dan pembangunan pedesaan. Untuk itu, tak perlu terlalu lama buang waktu untuk memulai reforma agraria. Reforma agraria sejalan dengan amanat sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa. Ini juga cermin dari semua bangsa yang maju. Reforma agraria berguna memenuhi hak sipil-politik, ekonomi, sosial dan budaya bangsa.

Kini Tap MPR dan rencana pelunuran PPAN tersebut sangat ditunggu-tunggu masyarakat wujud dan kedatangannya, namun tidak kunjung tiba juga malah yang terdengar santer hanya gencarnya penyertifikatan tanah di mana-nama. Apakah ini merupakan wujud PPAN, resistensi yang sangat kuat dari pemilik modal yang sangat dominan menguasai sumber-sumber agraria belum terkalahkan. Perrubahan dan kekerpihakan BPN pada masyarakat bukan tidak terjadi, tapi hanya Kanwil-kanwil yang personal berani dan jujur tertentu saja yang melakukan reforma agraria dengan berpihak pada rakyat.

Untuk itu pada hari agraria nasional 24 September 2008 ini kami BITRA Indonesia dan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA Sumut) mendesak agar dilakukan:

1. Reforma agraria sejati
Sebaiknya reforma agraria di daerah disiapkan bersama antara pemerintah daerah dengan rakyatnya --khususnya kalangan petani dan masyarakat di pedesaan yang akan menerima manfaat reforma agraria. Untuk menyambut dan mengawal PPAN, maka berbagai langkah yang harus dipersiapkan oleh pemerintah daerah, organisasi rakyat dan para pendukung gerakan pembaruan agraria, adalah: Pertama, melakukan pendataan objek dan subjek secara lengkap dan akurat. Hal ini diperlukan untuk memastikan objek (tanah) dan subyek (orang) reforma agraria agar dapat diketahui secara tepat. Jenis, luas dan posisi objeknya harus dapat di tentukan dengan pasti. Kategori, identitas dan jumlah subyek penerima manfaat pun mesti diketahui. Pendataan ini, termasuk di dalamnya mengenai objek dan subjek konflik agraria. Kedua, mengambil peran aktif dalam pengembangan model-model pembaruan agraria. Para pelaku dan pendukung gerakan pembaruan agraria mesti terlibar aktif dalam pengembangan model-model pembaruan agraria. Pengembangan model pembaruan agraria (khususnya landreform) akan menentukan jalan yang tepat bagi perombakkan struktur penguasaan, pemilikan dan pengunaan tanah di masa depan. Pilihan-pilihan model pembaruan agraria akan sangat tergantung pada pengawalan dan kordinasi sinergis antara pemerintah, organisasi rakyat dan para pendukungnya. Ketiga, memperkuat dan mengkonsolidasikan organisasi rakyat. Serikat-serikat maupun kelompok-kelompok tani, nelayan, masyarakat adat, buruh dan kaum miskin kota mesti diperkuat dan dikonsolidasikan untuk mengawal program pembaruan agraria nasional. Melalui organisasi rakyat yang kuat (kesadaran, militansi, tertib organisasi, solidaritas, dan kepemimpinan yang bertanggung jawab) inilah, rakyat akan mempunyai posisi tawar yang kuat untuk menghadapi hal-hal yang merugikan mereka. Melalui konsolidasi dan penguatan organisasi rakyat pula, maka rakyat dapat berperan serta secara aktif dalam program pembaruan agraria nasional. Keempat, mendorong dialog agraria secara intensif. Diperlukan dialog intensif di berbagai level (nasional, daerah sampai kampung), yang membicarakan mengenai wacana, agenda dan program pembaruan agraria yang hendak dijalankan oleh pemerintah bersama rakyat. Hendaknya diskusi-diskusi ini melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap agenda pembaruan agraria agar ditemukan kesepahaman dan kesepakatan atas bentuk kongkrit dari pelaksanaan pembaruan agraria di lapangan. Kelima, membuat kebijakan nasional/daerah yang khusus untuk reforma agraria. Agar di lapangan reforma agraria dapat dilaksanakan dalam kerangka kebijakan yang jelas, maka diperlukan penetapan kebijakan nasional/daerah yang khusus untuk reforma agraria. Secara yuridis, di tingkat nasional reforma agraria idealnya diatur oleh UU khusus untuk reforma agraria, dengan tetap mengacu kepada UUPA 1960. Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sangat baik jika ada Peraturan Daerah khusus untuk reforma agraria. Selain perlunya alas yuridis, agenda ini juga harus mendapat sokongan politik penuh dari pemerintah dan parlemen pusat/daerah. Keenam, memasukan anggaran reforma agraria ke dalam APBN/APBD. Salah satu bentuk sokongan politik pemerintah dan parlemen adalah dimasukannya anggaran untuk pelaksanaan reforma agraria ke dalam APBN/APBD. Adanya pembiayaan yang memadai akan menentukan efektifnya pelaksanaan reforma agraria di lapangan. Karena reforma agraria agenda resmi Negara (pemerintah dan rakyat) maka sewajarnya jika seluruh pembiayaannya dialokasikan dari kantongnya Negara, baik di pusat maupun di daerah.

Banyak negara yang telah melakukan reforma agrarian sebagai tonggak utama pembangunan nasionalnya, misalnya Venezueela, Bolivia, Paraguay, Dll

2. Tingkatkan kualitas lembaga pertanahan negara

Perpres No. 10 Tahun 2006 (selanjutnya Perpres 10) menggariskan bahwa Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden (Pasal 1). Garis ini mengakhiri posisi dilematik BPN yang pernah berwujud Kementerian Agraria, lalu di bawah Departemen Dalam Negeri, bahkan nyaris dibubarkan. BPN kini langsung di bawah Presiden

Banyak kalangan menilai bahwa BPN kini tidak punya gigi, menjadi kekhawatiran bahwa hal ini adalah suatu hal yang dikondisikan atau boleh dikatakan by desain agar sumber daya agraria dapat dikuasai dan dikelola oleh segelintir orang atau kelompok kecil yang punya kekuasaan dan uang untuk meperbanyak uangnya.

Oleh karna itu, kembalikan atau tingkatkan kelembagaan BPN kepada Kementrian Agraria Nasional. Lebih baik lagi jika dapat ditingkatkan pada tingkat Menko, karena persialan agraria sangat terkait dengan kementrian yang lain, misaklnya Kementrian BUMN, Kehutanan, Pertanian, Perkebunan Dll. Selama ini dianggap ada masalah, ganjalan dan resistensi untuk melakukan reforma agraria bahwa BPN tidak punya daya dan wewenang koordinasi.

Iswan Kaputra
Ketua Forum Masyarakat Asal Labuhan Batu (FORMAL) di Medan.
Peneliti pada BITRA Indonesia.



No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah mengisi komentar untuk kemajuan blog ini.