11 July 2008

Negara Bangkrut Dibuat Lembaga Keuangan Internasional Rakyat Jadi Tumbal


Munculnya kecenderungan baru bahwa lembaga keungan dunia seperti IMF, World Bank, ADB, dan lembaga perdagangan internasional seperti WTO, AFTA dll. Yang menjadi perpanjangan tangannya kapitalisme internasional, telah mempermainkan moneter yang cenderung merusak bisnis fisik (non moneter), mengeksploitasi negara-negara berkembang yang fundamen ekonomi dan moneternya belum kuat, dan membuat beberapa negara di Asia terpuruk karena permainan moneter yang mereka lakukan.

Salah satu negara yang menanggung akibat terburuk dari permainan ini adalah Indonesia yang sampai kini (sudah 3 tahun lebih) belum dapat bangkit dari keterpurukannya. Ekonomi Indonesia yang dibangun oleh rezim Orde Baru ternyata hanya sebuah bangunan yang pondasinya keropos sehingga ketika terterpa badai bangunan tersebut roboh dan rata dengan tanah. Berbeda dengan negara tetangganya (Malaysia dan Singapura) yang sejak 2 tahun lalu sudah mulai merangkak bangkit kembali karena pondasi ekonomi yang dibangun cukup kuat sehingga ketika terterpa badai hanya atapnya saja yang terbang dan tidak memakan waktu yang lama dan tenaga yang banyak untuk memasang atap yang baru. Sedang Indonesia mesti mendirikan bangunan tersebut dari nol lagi.

Ketika masa krisis berteman akrab dengan negara-negara korban permainan moneter tersebut maka lembaga keuangan internasional dan lembaga perdagangan dunia tersebut mulai memasukkan agenda-agendanya untuk dipatuhi oleh negara-negara yang sedang jatuh, bahkan dalam bentuk kebijakan negara sekalipun, contohnya beberapa RUU sedang digodok di DPR RI dan bahkan ada yang sudah lahir menjadi produk UU karena desakan IMF, misalnya.

Longgena Ginting, seorang penggiat lingkungan dan pengamat ekonomi, dalam bulettin Akar mengatakan bahwan ada 5 akibat dari kehadiran IMF dan Bank Dunia di Indonesia;

1. Hancurnya perekonomian. IMF mulai interpensi di Indonesia saat bisnis minyak mengalamai kebangkrutan di tahun 1980. Beberapa paket IMF dari tahun ke tahun adalah untuk program penyesuaian struktur ekonomi pada bidang industri, tata niaga perdagangan, pertambangan dan kehutanan, otomotif dan tekstil. Akan tetapi di tingkat implementasi hal-hal yang disebut diatas tidak dilakukan malahan pinjaman digunakan untuk membangun lapangan golf, industri turis, perumahan mewah dan industri-industri berat yang tidak berhubungan dengan masyarakat banyak seperti IPTN. Akibatnya kas negara menjadi anjlok sehingga pembangunan IPTN harus meminjam dana reboisasi sebesar 3 juta dollar AS, tahun 1996.

2. Besarnya jumlah pengangguran. Sejak program penyesuaian yang dititipkan oleh paket IMF diimplementasikan, pengangguran semakin banyak akibat dari PHK perusahaan-perusahaan konstruksi secara besar-besaran karena berhentinya pembangunan/proyek-proyek fisik. Biro Pusat Statistik (BPS) memperkirakan sampai tengah tahu 1999 ada 39 juta orang korban PHK. Untuk mencegah terjadinya gejolak maka Bank Dunia dan Bappenas menyelenggarakan program Jaring Pengaman Sosial (JPS).

3. Tingginya pajak yang harus dibayar rakyat. Akibat kebangkrutan ekonomi tersebut rakyat dibebani pajak dan kutipan-kutipan restribusi dari segala sisi kehidupannya untuk menutupi operasional negara dan hutang.

4. Pendidikan hanya untuk kelas menengah. Program perbaikan struktur ekonomi ini berusaha mereformasi pendidikan publik, pemerintah melalui Depdiknas memberikan kapling-kapling pada modal asing untuk mengelola pendidikan, sehingga dimasa datang diperkirakan seorang mahasiswa harus membayar uang kuliahnya 5 juta rupiah pertahun.

5. Ketidak adilan. IMF akan mengorganisir perusahaan-perusaan untuk mengeluarkan jutaan dollar AS agar dapat menalangi hutang-hutang petinggi Indonesia dengan jaminan sumberdaya alan, menghapus subsidi kesehatan, pendidikan dan mempercayai modal asing untuk investasi di dunia perbankkan, media massa dan kebudayaan. Penghapusan subsidi sekarang sudah mulai dilakukan secara bertahap, seperti yang dilakukan pada bahan bakar minyak (BBM) dan Listrik.

Patuhnya negara-negara korban tersebut karena kondisi kas negara yang semakin sangat mengurus sehingga biaya operasional penyelenggaraan kegiatan negara harus menghutang kembali pada lembaga keuangan internasional tersebut, padahal uang yang dipinjamnya juga dapat dikatakan dari hasil eksploitasi (dalam berbagai bentuk, termasuk permainan moneter) negara yang kini meminjamnya kembali. Lihat saja pengemisan kita pada sidang CGI di Tokyo, Jepang.

Konon khabar para ahli ekonomi, pada tahun 2001 sampai 2009 adalah masa jatuh tempo hutang-hutang luar negeri Indonesia yangberjumlah lebih kurang 150 Milyar Dollar AS dan harus segera dibayar atau direscedulling. Disaat itu kita sedang galak-galaknya melakukan otonomi daerah. Ahirnya yang akan terjadi adalah daerah-daerah tingkat II akan menggenjot PAD yang sebesar-besarnya melalui pengutipan pajak dan restribusi daerah, sehingga apapun cara baik itu halal atau haram (hal-hal yang sifatnya destruktif bagi lingkungan, sosial maupun budaya) akan dilakukan oleh pemerintahan kabupaten & kota.

Bagi dunia usaha tentunya ini akan sangat merugikan karena lembaga keuangan/ pelaku-pelaku kapitalis melalui tangan-tangan lembaga keuangan internasioanal dan lembaga perdagangan dunia melakukan aksi beli saham dengan tekanan yang sistematis, dan konstitusional sifatnya (ikuti saja aksi pembelian saham PT. Bentoel 75% oleh Soros) dengan jargon globalisasi ekonomi dan penyerahan perdagangan pada pasar bebas, sehingga tidak ada lagi batas-batas State (negara). Hal ini pasti juga akan berimbas dan merugikan usaha kecil dan menengah tentunya.

Imperium bisnis Asia yang kepemilikan sahamnya dimiliki oleh ras Asia (kulit berwarna) perlu ekstra hati-hati karena perusahaan yang sexsi (prospeknya kedepan bagus) pasti akan dilirik dan dipelintir sedemikian rupa sehingga sahamnya dapat dimiliki oleh pelaku kapitalisme internasional tersebut.


Kebangkrutan & Otonomi

Bahwa dengan permainan yang sangat rumit dan membingungkan pelaku dan tokoh dalam lembaga keuangan internasional berhasil mengacak-acak keuangan dan perekonomian Indonesia dengan berbagai macam cara dan institusi jaringan mafia internasional yang rapi dan mereka menggunakan organisasi/lembaga keuangan internasional legal sebagai alat dalam permainan mereka untuk menghacurkan negara target seperti apa yang terjadi pada negara-negara Asia Tenggara, akan tetapi negara lain sudah menampakkan kebangkitannya dari keterpurukan sedang Indonesia yang disusul dengan kompleksitas multi krisis justru menampakkan kecenderungan kearah ancaman kebangkrutan, karena hutang sebanyak-banyaknya yang dibuat oleh pemerintahan Orde Baru (yang fundamental ekonominya ternyata sangat rapuh) harus dutanggung oleh pemerintahan selanjutnya, dimana pada tahun 2001 – 2009 (seperti yang diungkap diatas) adalah masa-masa jatuh tempo-nya hutang-hutang luar negeri. Dari mana kita akan membayarnya ? Menjadi suatu pertanyaan besar bagi kita semua.

Akan tetapi Otonomi akan menjadi senjata pamungkas atau alat yang sangat bagus untuk pemerintah berkilah dari kesalahan dan ketidakmampuan menyelesaikan lingkaran setan yang sangat kusut ini.

Penggenjotan PAD merupakan bentuk manifestasi yang sangat efektif untuk hal ini, khabarnya beberapa daerah di Jawa Timur telah menaikkan pajak bumi dan bangunan 5 sampai 7 kali lipat dan masing-masing daerah tingkat kabupaten dan kota sudah membuat banyak Perda untuk menterjemahkan UU No. 22 & 25 1999 tentang Otonomi daerah. Akan tetapi Perda-perda tersebut sebahagian besar adalah Perda untuk menggenjot PAD dengan bentuk pengutipan pajak dan restribusi daerah sebesar-besarnya.

Untuk membuktikan apakah benar asumsi diatas mari kita lihat Perda-perda yang dibuat beberapa Pemerintah Kabupaten dan kota yang ada di Sumatera Utara. DPRD Deli Serdang sudah engesyahkan 45 Perda yang diajukan oleh Pemkab Deli Serdang, dari 45 Perda yang sudah disyahkan tersebut 27 Perda adalah mengatur tentang bagaimana pajak dan restribusi daerah harus dikutip. Pada Pemkab. Langkat dari 59 Perda yang sudah disyahkan ada 19 Perda tentang pajak dan restribusi.

Rakyat (Pecundang yang Baik Hati)


Ironis sekali memang bahwa hutang negara yang implementasi penggunaannya untuk membangun negara dan rakyat terjadi kebocoran di sana sini dengan suatu system (tidak tertulis dalam lembaran negara, hanya dengan kesepakatan tau sama tau) yang dijalankan yang belakangan dinamai KKN (kolusi, korupsi & nepotisme) harus dibayar oleh rakyat yang dicekek lehernya untuk mengeluarkan pajak dan restribusi-restribusi dari banyak segi kehidupannya untuk pendapatan asli daearah (PAD), sebagai contoh ada daerah yang sudah merancang penerimaan restribusi dari kremasi (pembakaran jenazah bagi ummat Budha dan Hindu) dan akan bakal muncul Perda-perda yang aneh-aneh dan tidak dapat diterima akal bahwa hal tersebut harus dikenakan restribusi atau pajak, hal ini dilakukan hanya karena untuk mengenjot PAD sebesar-besarnya.

Daerah akan membangun wilayahnya sendiri sementara Jakarta konsentrasi mengumpulkan uang dari sector pertambangan minyak bumi (85 % pusat dan 15 % daerah), gas alam (70 % pusat dan 30 % daerah), perkebunan dll. Pendapatan daerah yang diambil oleh pusat untuk membayar hutang luar negeri dan operasional kegiatan negara. Ini bentuk lain bahwa rakyatlah yang membayar hutang-hutang negara dimana relatif rakyat sangat sedikit menggunakan atau menerima manfatnya dimasa lalu, ketika hutang tersebut dibuat.

Di sisi lain kita melihat hutang beberapa perusahaan besar yang kini namanya sedang nongkrong di BPPN dan sebagai obligornya, sekurang-kurangnya ada 144,5 triliun rupiah yang dikucurkan oleh BLBI untuk penyehatan perbankan yang konon khabarnya hal ini dilakukan untuk menghempang kepemilikan asing (agar perusahaan besar dan prospektif milik dalam negeri tidak dikuasai oleh perusahaan asing).

Begitu juga BUMN seperti PLN yang pada satu hal kita sebagai rakyat telah membayar secara proporsional bahkan cenderung relatif mahal untuk mengkonsumsi energi yang diproduksi oleh PLN berupa listrik tersebut, akan tetapi karena KKN dan manajemen yang tidak baik didalamnya PLN merugi, sehingga PLN berhutang 133,5 milyar Dollar AS (setara dengan 1,170 triliun rupiah, senilai 4 kali APBN) kembali rakyat –melalui pajak dan berbagai restribusi yang dipungut negara—harus menangung kerugian dan hutang tersebut. Yang lain juga tidak mahu kalah dalam ikut serta menghisap rakyat melalui berbagai macam cara. Kita lihat contohnya Pertamina melalui monopolinya dalam penjualan minyak dan gas (elpiji), yang paling ahir kita dengan adalah naiknya harga gas dengan persentase yang sangat besar hanya karena kesalahan dan kebobrokan manajemen di dalam Pertamina sendiri. Lagi-lagi mesti rakyat, dalam hal ini sebagai konsumen, yang harus menanggung deritanya.

Ancaman kebangkrutan Indonesia ini tidak direspon dengan baik oleg pemerintahan Gusdur yang katanya pemerintahan transisi ke zaman yang reformis, demokratis dan melangkah pada perwujutan masyarakat sipil. Para elit politik bukannya sibuk memikirkan permasalahan bangsa ini ditambah dengan permasalahan disintegrasi dan multi krisis akan tetapi mereka malah sibuk saling sikut dan saling alasan untuk memperebutkan singgasana politik dan kekuasaan.

Frustasi melihat konsisi inilah mungkin yang membuat Sahrir menyarankan revolusi sosial untuk memutihkan/menghapus semua hutang kita dari negara/lembaga keuangan internasional pemberi hutang dan memulai hidup dan ekonomi yang lebih baru dari nol kembali.

Memang jika para elit politik dan pemimpin bangsa tidak secepatnya melakukan tindakan agresif akan persoalan krisis multi dimensi yang kita hadapi ini bukan tidak mungkin apa yang dianjurkan sahrir akan terjadi. Karena saat ini saja telah kita lihat gejala pembangkangan sosial yang telah terjadi di masyarakat. Sudah mulai merosotnya solidaritas nasionalisme masyarakat, terbukti dengan ketidak perdulian masyarakat akan apapun yang terjadi dan sedang berlangsung pada negara ini. Menurunnya rasa keprihatinan tentang pertikaian antar daerah dan SARA yang terjadi. Minimnya uluran tangan dan bantuan masyarakat terhadap korban bencana alam.

Lalu apatisme ini telah meningkat pada gejala pembangkangan sosial dengan tanda-tanda kecil; tidak mengindahkan lagi lampu merah, dijalanan. Tidak perduli dan tidak mahu membayar pajak-pajak yang dikenakan dengan lasan yang salah kaprah, ini zaman reformasi – selain itu dinas pendapatan juga tidak kondusif untuk memfasilitasi pendaftar NPWP yang malah dimintai uang sogokan ada yang mencapai ratusan ribu rupiah - dan banyak contoh lain yang kecil-kecil yang telah mengindikasikan langkah awal pembangkangan sosial terjadi.

Iswan Kaputra, Pekerja Sosial pada BITRA Indonesia, Medan dan Ketua Forum Masyarakat Asal Labuhan Batu (FORMAL)

No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah mengisi komentar untuk kemajuan blog ini.