11 July 2008

Pertanian Tradisional + Polikultur = Ekologis & Ekonomis


Di daerah dataran tinggi yang ada di pulau Sumatera kebanyakan masyarakat di perkampungan bertani tanaman keras dengan cara yang amat tradisional (yaitu bertani dengan pola sub sistem atau dengan kemurahan alam). Di Indonesia baik pulau Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan maupun Papua, pertanian tanaman keras yang diwariskan oleh generasi sebelumnya memiliki pola yang hampir sama, yaitu sub sistem.

Pola bertani ini biasanya menggunakan cara dengan menanam tanaman seperti durian, duku, kemiri, aren (secara alami, tumbuh sendiri, dibiakkan oleh hewan liar seperti musang), pinang, pisang, asam gelugur, manggis dll. Diantara tanaman tersebut, banyak juga tanaman yang sudah ada di lahan karena diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Khusus untuk daerah Sibolangit, sekitar 30 KM sebelah Selatan dari kota Medan, masyarakatnya juga melakukan pertanian yang sama. Daerah yang dihuni oleh mayoritas suku Batak Karo ini rata-rata kepala keluarga memiliki 4 hektar lahan akan tetapi lahan tersebut tidak digarap secara maksimal, masyarakat hanya mengurus ladang atau kebun mereka ketika musim durian atau buah yang lain yang ada dikebun mereka menjelang (sudah mendekati masa musim buah), bila sudah begini baru mereka sibuk membabat semak belukar di kebunnya agar ketika buah durian jatuh bisa terlihat dan dapat segera diambil untuk dijual, karena jika tidak terlihat dan lama diambil maka buah akan busuk.

Sementara jika tidak ada musim buah maka kebun akan ditinggalkan, para petani biasanya akan beralih professi untuk sementara waktu menjadi pedagang pengumpul, sopir angkot atau taxi di kota Medan atau merantau sementara untuk menjadi buruh harian di daerah lain.


Tradisional yang Arif, Ekologis & Ekonomis

Pola bertani secara tradisional tersebut sesungguhnya sangat bersahabat dengan alam, arif dan mendukung ekosistem, sebab dengan dengan tanaman yang berbagai jenis di kebun petani akan memelihara berbagai macam hewan tetap hidup karena ketersediaan rantai makanan untuk flora dan fauna yang hidup didalamnya terjaga. Sangat berbeda dengan kebun pola monokultur !

Akan tetapi jika hanya arif bagi alam dan lingkungan hidup, bagaimana dengan manusia yang tinggal di sekitarnya ? Pertanyaan inilah yang memicu Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia, Medan, untuk mengembangkan kebun rakyat dengan pola polikultur pada tahun 1997 yang lalu. Konsep polikultur ini, dimana masyarakat tetap menjaga kebiasaannya dengan berkebun secara tradisional akan tetapi melakukan intensifikasi agar lahan yang ada bisa produktif dan berdaya ekonomis tinggi terhadap hasil lahan. Disisi lain petani tidak lagi menjadi buruh harian di tempat lain atau sopir karena bisa mengurusi dan mengerjakan kebunnya yang menuntut kotinuitas aktifitas harian yang cukup tinggi. Dalam konsep polikultur petani disarankan menanam lebih dari 4 jenis tanaman dalam satu hamparan kebun. Disamping itu petani lain di sekitar juga harus ada yang menanam padi untuk memenuhi kebutuhan pokok agar tidak tergantung dengan ketersediaan beras dari daerah lain.

Kini para petani mengatakan, dengan bertani polikultur ini mereka merasa lebih aman dan giat untuk bekerja mengurus kebunnya. Yang mereka maksud aman adalah secara ekonomi, karena mereka hampir setiap hari kini dapat memanen hasil kebunnya. Yaitu, aren disadap niranya setian hari, pisang barangan dan kakao setiap minggu ada buah yang menguning, pinang & asam gelugur setiap bulan ada yang bisa diturunkan dari pohon, padi mulai menguning emas setiap 6 bulan, durian, manggis dan duku panen raya setiap satu setahun.

Begitu juga ketika harga salah satu produksi pertanian murah karena permainan para pedagang, bagi petani polikultur ini tiada masalah, karena harga komoditi yang lain pasti tinggi.


Mengapa Polikultur?

Kawasan Sibolangit ini menjanjikan banyak harapan untuk masyarakat luas untuk hasil produksi kebunnya juga menjanjikan harapan bagi masyarakat disekitarnya untuk memproduksi dan mendapatkan hasil untuk kemakmuran. Daerah slope and hill (lembah, landai sampai berbukit) dengan ketinggian 300 – 600 dari permukaan laut (dpl) memberikan iklim yang sejuk dan curah hujan yang baik. Disekitar kawasan selain ada cagar alam juga dilewati oleh 2 aliran sungai, sungai Petani dan sungai Betimus. Dari situasi ini mengajak masyarakat tetap melestarikan alam dengan pengelolaan lahan secara polikultur. Mereka juga punya organisasi pelestari sungai yang diberi nama Forum Masyarakat Perduli Sungai (FMPS) yang membangun sistem penjagaan sungai dan pemanenan ikannya secara kolektif dengan jangka waktu yang sudah ditentukan. Selain menjaga FMPS juga membuat aturan dan larangan-larangan pengambilan ikan secara merusak, seperti menggunakan bom ikan, setrum dan racun (tuba) tetapi memancing, menjala dan menjaring tetap dibenarkan, apabila ada penduduk desanya atau desa lain yang tetap melanggar larangan maka sanksi-sanksi moral dan sosial dikenakan. Mereka mengistilahkan konservasi sungai dan biotanya ini dengan istilah Lubuk Larangan. Mereka juga melakukan kerja bersih sungai (dari sampah non organic) setiap 1 tahun sekali.

Sebenarnya hal diatas merupakan konsep yang lebih tinggi dari polikultur, yaitu yang dinamakan mix farming atau pertanian dengan menggabungkan antara tanaman, hewan ternak, peikanan dan ekowisata, tapi kami belum berani mengklaim bahwa pertanian yang kami terapkan adalah mix farming karena untuk ternak dan perikanannya belum dilakukan secara maksimal, artinya belum semua petani menerapkan ada ternak dan ikan di kebunnya, hanya sebahagian petani saja. Itu makanya kami masih menyebutnya polikultur.

Polikultur adalah sebuah sistem pertanian atau model pertanian yang ekonomis, ekologis, berbudaya, mampu diadaptasi dan manusiawi. Model pertanian ini disebut juga dengan model pertanian yang berkelanjutan. Model pertanian polikultur merupakan koreksi total terhadap model pertanian monokultur.

Polikultur berasal dari kata poly yang artinya banyak dan culture artinya tanaman. Secara harfiah polikultur berarti model pertanian dengan banyak jenis tanaman pada lahan yang sama. Polikultur bukan berarti model pertanian gado-gado atau juga bukan merupakan tumpang sari, karena model tumpang sari hanya dikenal pada pertanian tanaman semusim. Model pertanian polikultur berbasis pada tahapan dari tahun ke tahun kondisi ekosistem akan lebih baik. Tanaman yang dikembangkan dan kondisi alamnya akan lebih sempurna dan stabil. Selain itu apabila tanaman kerasnya sudah mencapai usia maksimal dan tidak produktif lagi, diameter batangnya sudah sangat besar maka akan menguntungkan petani untuk menebang dan menjual kayunya yang tentunya bernilai ekonomis sangat tinggi.

Polikultur akan memadukan berbagai teknologi budidaya yang diselaraskan dengan penology tanaman yang ada dan aspek lokal dan kelestarian sumberdaya alam yang ada.


Bagaimana Memulai Polikultur?

Masyarakat yang bertani secara tradisional seperti yang kita sebut-sebut diatas pasti sudah punya lahan dan tanaman asal. Setelah ada musyawarah awal antar petani dalam satu hamparan besar kebun, kita harus memulai pemetaan kebun dengan sistem participatory rural appraisal (PRA). Setelah didapatkan gambar kebun dengan berbagai jenis tanaman di dalamnya maka harus diputuskan tanaman besar mana yang paling rapat jarak tumbuhnya harus ditebang untuk penataan guna memberikan sinar matahari masuk, dimana sinar matahari ini dibutuhkan oleh tumbuhan baru atau tanaman yang lebih rendah dalam proses fotosinthesis. Jadi jika tanaman yang hendak dikembangkan adalah tanaman kakao dan pisang barangan (dalam rangka memaksimalkan lahan dan hasil) maka polikultur adalah konsep yang sangat tepat karena tanaman tua yang tinggi bisa menjadi pelindung dan penyaring sinar matahari agar tidak menerpa tanaman yang tidak membutuhkan sinar matahari secara penuh (50-70 %).

Penataan jarak tanaman ini juga penting agar tidak terjadi persaingan makanan yang dibutuhkan tumbuhan, setiap tumbuhan tentunya membutuhkan unsur makanan utama yang sama dibutuhkan, seperti unsur hara, akan tetapi juga ada yang berbeda, kebutuhan makanannya jika tanaman yang ada sangat berjenis ini akan lebih menstabilkan kondisi tanah dan alam.

Jenis tanaman lokal yang sesuai dengan model kebun polikultur adalah petai, durian, pinang, sirsak, langsat, duku dll. Alasan-alasan yang dipertimbangkan yakni; 1). Tanaman petai daunnya tidak rimbun, mudah busuk, menyuburkan tanah dan ada musim gugur serta menghasilkan. 2). Durian pohonnya tinggi, buahnya bernilai ekonimis dan daun mudah busuk. 3). Pinang & kelapa pohon tinggi tidak rimbun (menaungi tumbuhan di bawahnya dari sinar matahari), bernilai ekonomis dan mengundang semut. 4). Sirsak menghasilkan dan mengundang semut yang berfungsi untuk mengendalikan hama dan penyakit. 5). langsat & duku menghasilkan dan tidak terlalu rimbun.

Ternak yang sesuai dijadikan sebagai salah satu komponen polikultur adalah ayam, kambing, lembu & kerbau karena selain menghasilkan kotorannya bisa dijadikan pupuk, tapi khusus untuk kambing harus diawasi agar tidak memakan tanaman baru. Lebah membantu perkawinan bunga tanaman lain serta menghasilkan madu.

Sedangkan ikan. Sebenarnya ikan apa saja sesuai untuk dipelihara di aliran sungai yang membelah kebun polikultur, akan tetapi jenis ikan harus disesuaikan dengan kondisi air (arus deras, sedang atau tenang) dan ketersediaan makanan yang ada di aliran sungai tersebut, juga suhu dan kemurnian air. Untuk ikan, jika disekitar lahan tidak ada aliran sungai maka bisa dibuat kolam atau rawa alami yang sudah ada

Perbedaan kebun polikultur dan monokultur ditinjau dari hama atau penyakit, ternyata pada polikultur hama atau penyakit jauh sangat berkurang karena hama mendapatkan makanan dari tanaman lain yang tumbuh di lahan tapi tidak memiliki nilai produksi ekonomis akan tetapi juga tidak mengganggu tanaman yang produktif, contohnya seperti rumput dan tanaman perdu (semak belukar).

Model polikultur juga dapat menghindari erosi pada tebing sungai atau dari aliran air hujan yang mengalir di permukaan tanah.

Untuk memperbaiki kesuburan tanah, hal-hal yang perlu dikembangkan pada kebun polikultur adalah menjaga ekosistem, membuat kompos, tidak melakukan pembasmian hama dengan pestisida kimia, memelihara ternak dan mempertahankan buah khas yang dihasilkan satu daerah tertentu.


Kendala Hama atau Penyakit & Solusinya

Dari perjalanan kehidupan bertani sejak mengembangkan pola atau model polikultur petani di dataran tinggi Sibolangit memaksimalkan lahan dan produksinya dengan pengembangan tanaman kakao (tanaman ini baru bagi masyarakat) di tengah perjalanan ketika kakao mulai panen masalah perawatan tanaman dan hama mulai muncul, hama penyakit tidak bisa ditanggulangi terutama hama penggerek buah kakao (PBK). Maka dalam mengatasi masalah dilakukan Sekolah Lapangan Kakao model Polikultur (SL-Polikultur) di desa Sayum Sabah yang merupakan gabungan petani dari 6 desa di kecamatan Sibolangit, dengan lahan kebun polikultur lebih kurang 500 hektar.

Dalam SL-Polikultur petani mempelajari hal-hal teknis seperti; 1). Pengendalian secara hayati untuk hama Penggerek Buah Kakao (PBK). 2). Perbanyakan Semut Hitam di tanaman untuk mengendalikan hama Helopeltis sp dan Penggerek Buah Kakao (PBK). 3). Teknik pembuatan pupuk bokashi (bokasi jerami padi & kulit biah kakao). 4). Pembuatan kompos dengan menggunakan pembusuk sampah bokhasi (PSB). 5). Perbanyakan Trichoderma Sp sebagai jamur antagonis (jamur yang mengendalikan penyakit jamur akar tetapi tidak merusak tanaman). Dan berbagai macam pestisida nabati (dari bahan alam dan tidak mengandung racun kimia), pupuk alami & teknik-teknik perawatan, pemangkasan dll. Untuk mendapatkan daftar bahan baku, cara membuat dan cara mengaplikasikannya pada tanaman pembaca dapat kontak ke Divisi Pertanian, BITRA Indonesia.

Iswan Kaputra, Pekerja Sosial pada BITRA Indonesia, Medan dan Ketua Forum Masyarakat Asal Labuhan Batu (FORMAL).

No comments:

Post a Comment

Terimakasih telah mengisi komentar untuk kemajuan blog ini.